Secara bahasa, menurut Abu Muhammad bin Qutaibah, kata “الزكاة” dari kata “الزكاء, النماء dan الزيادة” (suci, tumbuh, tambah) hal itu dikarenakan ia bertambah dan tumbuhnya harta seseorang. Maka bila dikatakan Zakat tanaman, bila banyak penghasilannya. Dan Zakat Nafkah, bila bertambah barokah di dalamnya, ia dalam syari’ah merupakan hak harta yang wajib ditunaikan. Maka dalam syari’at, kata zakat bila disebutkan dikembalikan kepada makna di atas. (Al-Mugni:2/572)
Adapun secara syar’i, bisa dipandang dari dua sisi; pertama, karena dengan dikeluarkannya itu akan menyebabkan bertambahnya harta, artinya pahala yang ia dapat tumbuh banyak dikarenakan zakat tadi, atau juga harta tadi memiliki tabi’at akan bertambah, seperti perniagaan dan tanaman-tanaman. Sebagaimana hadits bahwa,’tidak akan berkurang harta dikarenakan bersedekah’. Karena juga ia akan berlipat pahalanya, sebagaimana firman-Nya:
"يمحق الله الرباء و يربي الصدقة"
Artinya: “Allah menghapus riba dan melipat gandakan sedekah.” (Al-Baqoroh: 276)
Kedua, karena ia dapat menjadi pembersih diri dari keburukan kikir dan dari noktah-noktah dosa. Maka zakat dalam definisi syar’i adalah memberikan harta yang sampai nisob kepada para fakir miskin dan yang lainnya yang tidak ada penghalang syar’i untuk memberinya. (Nailul Autor:4/169-170)
ZAKAT PENGHASILAN
Dalam hal ini ada dua macam pekerjaan manusia yang dapat menghasilkan harta; pertama, suatu pekerjaan yang dilakukan sendiri tanpa ada ikatan langsung dengan orang lain, yaitu termasuk dalam kategori profesi seperti dokter, arsitek, pelukis, penjahit, tukang kayu dan yang semisalnya.
Kedua, suatu pekerjaan yang berhubungan erat dengan orang lain, bisa pemerintahan, koperasi, atau individu, dengan dibarengi suatu perjanjian untuk bekerja pada suatu pekerjaan tertentu, mungkin berkaitan dengan anggota badan, akal atau keduanya. Maka dari situlah dapat tumbuh penghasilan berupa gaji atau upah.
Dari dua macam penghasilan di atas, apakah keduanya wajib dizakatkan, atau salah satunya saja. Kalau benar, berapa jumlah nishobnya??
Syaikh Abdurohman Hasan, Muhammad Abu Zahroh dan Abdul Wahab Kholaf telah memaparkan mengenai jenis zakat ini ketika di
Di sini, ada istilah “Maal Mustafadz” (harta yang diperoleh) yaitu semua harta yang diperoleh dan atau dimiliki seorang muslim dengan kepemilikan baru, dengan cara apa pun ia memilikinya asalkan masyru’. Dalam hal ini tidak masuk kategori bila “maal mustafadz” tadi memiliki keuntungan sebelumnya, seperti harta perdagangan dan peternakan. Ia akan kembali kepada hukum asal yaitu jika telah sampai haul.
Adapun yang menjadi kategori “maal mustafaadz” di sini, yaitu jenis harta yang tidak memiliki keuntungan sebelumnya, akan tetapi digunakan karena adanya penyebab di waktu yang akan datang, seperti; mendapatkan upah dari sebuah pekerjaan, penghasilan dari suatu modal, hibah atau yang mirip dengannya. Maka untuk harta yang seperti ini masih diperselisihkan, apakah harus disyaratkan sampai haul atau tidak?.
DR. Yusup Qordhowy dalam mensikapi perselisihan tersebut lebih cenderung memegang pendapat yang tidak mensyaratkan haul. Lalu beliau memberikan point-point penting;
Pertama, bahwa persyaratan adanya haul atas semua harta - termasuk di dalamnya maal mustafadz – tidak ada nash yang shohih atau hasan yang dapat menguatkan hukum syar’i tersebut. Dan yang benar, itu bersumber dari para sahabat.
Kedua, para sahabat dan tabi’in ra mereka berselisih pendapat dalam hal Maal Mustafazd, diantara mereka ada yang mensyaratkan haul dan ada yang tidak mensyaratkannya. Dan yang jelas, harta itu wajib dizakati ketika seorang muslim menggunakannya. Maka bila antara sahabat itu saling berselisih pendapat, tidak bisa perkataan satu sahabat lebih diutamakan atas sahabat yang lain. Akan tetapi urusannya dikembalikan kepada nash-nash yang lain dan qaidah umum dalam islam, Allah berfirman:
" فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ..."
Artinya: ’…bila kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah urusannya kepada Allah dan RosulNya’. (Q.S. An-Nisa:59)
Ketiga, bahwa tidak ada nash atau ijma’ dalam menghukumi “maal mustafaadz”, menjadikan para ulama madzhab berselisih pendapat, hal itu menjadikan Ibnu Hazm menolak semua pendapat ulama madzhab –karena semua hanya pengakuan dan pembagian-pembagian yang bathil, dan tidak ada satu dalil pun yang menguatkannya; tidak dari Qur’an, sunah yang shohih juga yang tidak shohih, tidak juga ijma’, qiyas dan tidak juga dari pendapat yang memiliki alasan-.
Keempat, bahwa pendapat yang mengatakan tidak wajibnya haul atas “maal mustafaadz” lebih dekat pada keumuman dan kemutlakan nash daripada yang mensyaratkan haul. Dan karena nash-nash Qur’an yang telah mewajibkan zakat itu berbunyi umum dan mutlak yang tidak ada di dalamnya pensyaratan haul, seperti dalam sabdanya, ”Berikanlah 4/10 dari harta kalian”, hal itu dikuatkan juga dengan firman-Nya,”wahai orang-orang yang beriman infaqkanlah harta terbaik yang telah kalian usahakan.” (An-Nisa: 59)
Kelima, jika keumuman dan kemutlakan nash-nash saja telah menguatkan tidak adanya syarat haul dalam “maal mustafaadz”, maka qiyas pun sudah seharusnya menguatkan nash-nash tadi. Andaikan saja kita ambil dari seorang petani itu 1/10 dari tanamannya atau 5/10 darinya, maka kenapa kita tidak ambil dari seorang pengusaha atau dokter 4/10 dari hartanya. Padahal Allah telah mensejajarkan antara apa-apa yang telah didapat oleh seorang muslim dengan apa-apa yang telah Allah keluarkan dari hasil bumi. Ia berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ"
Artinya: ”wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah harta yang terbaik dari hasi usahamu, dan dari apa-apa yang telah Allah berikan pada kalian dari hasil bumi”.
Keenam, bahwa persyaratan haul pada ‘maal mustafaadz’ telah memberi keleluasaan pada kebanyakan dari para pengusaha dari kewajiban zakat. Artinya telah membatasi kewajiban zakat hanya pada kalangan menengah ke bawah.
kiranya cukup dengan enam alasan dari DR. Yusup Qordhowy dapat membantah pendapat yang mengatakan adanya haul bagi zakat ‘maal mustafaadz’ yang termasuk di dalamnya zakat profesi.
BATASAN NISHOB
Telah kita ketahui bersama bahwa Islam tidak mewajibkan zakat pada semua harta baik sedikit atau banyak. Akan tetapi telah diwajibkan zakat bila telah mencapai nishob setelah selesai dari urusan hutang dan terlepas dari kebutuhan asli bagi si pemilik harta. Hal itu agar terealisasinya kewajiban zakat bagi si kaya. Juga sebagai realisasi dari makna “Al-‘afwu” yang terdapat dalam Qur’an, yaitu suatu kelebihan yang Allah berikan. Allah telah berfirman:
" وَيَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ"
Artinya: “Dan mereka bertanya kepada kamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:”yang lebih dari keperluanmu”. (Qs. Al-Baqoroh: 219)
Adapun mengenai nishobnya, menurut Ustadz Gozali, yaitu disamakan dengan nishob tanaman dan buah-buahan, terhitung lima wasak (50 kg Mesir) atau 653 kg timbangan kurma kering. Dalam hal ini diperbolehkan juga dengan uang, yaitu 85 jaroman dari emas atau sama dengan 20 mitsqol sebagaimana disebutkan dalam atsar.
Adapun cara menzakatkannya, para salaf telah memberikan contoh, yaitu ada dua jalan; Pertama, sebagaimana pendapat Imam az-Zuhuri, “Jika seseorang itu memperoleh harta, lalu dia hendak menunaikan zakatnya sebelum datang bulan esok, maka tunaikanlah di waktu itu juga. Dan jika ia tidak bermaksud menzakatinya maka hendaknya dizakati bersama harta yang lainnya.”
Kedua, sebagaimana pendapatnya Makhul.
Dan ada yang perlu diperhatikan, bila seorang muslim telah mengeluarkan zakat profesinya atau yang sejenis dengannya dari setiap harta yang ia peroleh, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengeluarkannya pada kedua kalinya ketika sampai setahun –jika ada haul baginya- sehingga dia tidak diwajibkan dua zakat pada satu harta dalam satu tahun. Waallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar