Umat kaget Bible masuk pesantren. Padalah, misi Kristen pada umat Islam adalah ajaran pokok Gereja, karenanya misi berbagai cara tetap ada. Baca CAP Adian Husaini ke-129
Harian Republika, Kamis (5/1/2005) memberitakan aktivitas sebuah kelompok Kristen (Gideon) dalam mengirimkan Bible ke sekolah-sekolah dan universitas Islam serta pondok pesantren di daerah Ponorogo. Juga, diberitakan respon dari pemerintah (Dirjen Bimas Kristen Depag) dan kalangan tokoh Islam yang mengecam tindakan pengiriman Bible tersebut.
Berita itu lagi-lagi menunjukkan adanya masalah laten dalam hubungan antar umat beragama di
Dari kalangan Protestan, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Dr. AA Yewangoe, menegaskan: “Setiap agama mengklaim diri sebagai yang mempunyai misi dari Tuhan, yang mesti diteruskan kepada manusia. Klaim ini adalah klaim imaniah yang tidak dapat diganggu gugat. Memang, tidak dapat dibayangkan sebuah agama tanpa misi, sebab dengan demikian, tidak mungkin agama itu eksis. Agama tanpa misi bukanlah agama… Tanpa misi, gereja bukan lagi gereja.” (Suara Pembaruan, 5/12/2005).
Tetapi, Yewangoe menekankan, agar misi Kristen dilakukan cara-cara yang santun. Ia tidak setuju dengan penggunaan cara-cara misi Kristen, misalnya, melalui cara-cara mendatangi rumah orang Islam dan menyebarkan Bible ke rumah-rumah orang Islam itu. Cara-cara kelompok Gideon dalam menyebarkan Bible kepada orang Muslim secama itu juga banyak ditentang kalangan Kristen sendiri.
Tetapi, misi Kristen harus tetap dijalankan. Caranya, disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Bagi kelompok Kristen seperti Gideon, cara seperti itu, dipandang sebagai pemahaman literal dari Markus, 16 :15 : ‘’Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk.’’ Sebagian kalangan Kristen memahami, ayat Bible itu tidak harus dipahami secara literal, dengan cara membagi-bagikan Injil ke semua orang.
Apa yang dilakukan Gideon dengan cara membagi-bagikan Bible kepada kaum non-Kristen telah lama dilakukan di
“Boleh kita simpulkan, bahwa
"Pelaksanaan tugas raksasa itu selajaknya djangan hanya didjalankan dengan perkataan sadja tetapi djuga dengan perbuatan. Segala usaha Pekabaran Indjil jang sudah dimulai pada masa lalu, hendaknya dilandjutkan, bahkan harus ditambah. Penerbitan dan penjiaran kitab2 kini mendapat perhatian istimewa. Penterdjemahan Alkitab kedalam bahasa daerah oleh ahli2 bahasa Lembaga Alkitab, yang sudah mendjadi suatu berkat rohani jang tak terkatakan besarnya, harus terus diusahakan dengan radjin. Perawatan orang sakit tetap mendjadi suatu djalan jang indah untuk menjatakan belas-kasihan dan pertolongan Tuhan Jesus terhadap segala jang tjatjat tubuhnya. Pengadjaran dan pendidikan Kristen pun sekali2 tak boleh diabaikan oleh Geredja… Dengan segala djalan dan daja upaja ini Geredja Jesus Kristus hendak bergumul untuk merebut djiwa-raga bangsa
Di kalangan Katolik, misi Kristen juga sangat ditekankan, meskipun, pasca Konsili Vatikan II, Gereja Katolik mengubah sikap eksklusifnya terhadap agama-agama non-Katolik. Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan 8 Desember 1975. Di katakan dalam dokumen ini:
“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen. Gereja menghormati dan menghargai agama-agama non-kristen sebab merupakan ungkapan hidup dari jiwa kelompok besar umat manusia. Agama-agama tadi mengandung gema usaha mencari Allah selama ribuan tahun, suatu usaha mencari yang tidak pernah lengkap tapi kerap kali dilakukan dengan ketulusan yang besar dan kelurusan hati… Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”
Jadi, misi Kristen untuk mewartakan Bible kepada umat Islam dan agama-agama lain, adalah ajaran pokok dalam Gereja, sebab itu tidak mungkin umat Islam meminta mereka untuk meniadakan ajaran tersebut. Dengan berbagai cara dan bentuk, misi itu tetap dijalankan.
Fakta Bible
Sebelum menolak Bible masuk pesantren atau sekolah-sekolah Islam, umat Islam, khususnya para kyai, mubalig, dan guru-guru Muslim, baiknya memahami dengan cermat, fakta dan realitas Bible itu sendiri. Kalangan Kristen hingga kini juga tiada henti memperdebatkan masalah Bible.
Bagi kaum Kristen, Bible sering disebut juga sebagai “sabda Tuhan” atau “firman Tuhan”. Tetapi, makna “sabda” atau “firman” dalam Bible sangat berbeda maknana dengan “firman Allah” dalam Al-Qur'an. Bagi kaum Muslim, Al-Qur'an adalah – lafdhan wa ma’nan – dari Allah SWT. Teks al-Quran adalah wahyu, sehingga terjemahan Al-Quran dalam bahasa apa pun, tidak dipandang sebagai Al-Qur'an itu sendiri.
Sedangkan Bible Perjanjian Baru (The New Testament) ditulis antara tahun 60-90 M, atau sekitar 30-60 tahun setelah masa Jesus. John Young, dalam Christianity, menyebut bahwa Gospel Markus adalah yang tertua dan selesai ditulis sekitar tahun
Dalam bukunya, Groenen menjelaskan perbedaan antara Konsep Al-Qur'an sebagai ‘firman Allah’ dan Bible sebagai ‘firman Allah’. Dia menulis, bahwa di kalangan Kristen, Bible juga disebut ‘firman Allah yang tertulis’. Tetapi, beda dengan Al-Qur'an, Bible adalah “Kitab suci yang diinspirasikan oleh Allah.” Tetapi, perdebatan di kalangan Kristen tentang makna “inspirasi”, hingga kini belum berakhir.
Groenen menulis: “Kadang kadang “inspirasi” itu diartikan seolah-olah Allah “berbisik-bisik” kepada penulis. Seolah-olah Allah mendiktekan apa yang harus ditulis…. Adakalanya orang sampai menyebut Kitab Suci sebagai “
Masalah “inspirasi” ini mendapat kajian luas dalam studi Bible. Stefen Leks, dalam bukunya, Inspirasi dan Kanon Kitab Suci, menulis sejarah panjang perdebatan dan pemahaman di kalangan Kristen tentang makna “inspirasi” itu. Akhirnya, setelah mengoleksi sejumlah pendapat tokoh-tokoh Gereja tentang makna “inspirasi”, penulis buku ini menulis satu sub bab berjudul: “Inspirasi: Masalah Yang Belum Tuntas”. Ditulis dalam buku ini:
“Dalam “The Catholic Biblical Quarterly” 1982, No. 44, Thomas A. Hoffman SJ (Inspiration, Normativeness, Canonicity and the Unique Sacred Character of the Bible) menulis bahwa ajaran tentang inspirasi biblis telah memasuki masa yang sulit. Pada tahun 50-an dan awal 60-an, beberapa ahli Katolik ternama (K. Rahner, JL Mckenzie, P. Benoit, LA Schoekel) bukan hanya menyibukkan diri dengan masalah inspirasi, melainkan juga mencetuskan sejumlah gagasan baru. Tetapi kini, sejmlah besar teolog berpendapat bahwa masalah itu sesungguhnya tak terpecahkan. (“there is no solution to this problem”).”
Dalam bukunya ini, Laks juga mengutip ungkapan C. Groenen: “Apa itu inspirasi dan bagaimana jadinya, kurang jelas!”… “Konsili Vatikan II membiarkan halnya kabur dan hanya berkata tentang beberapa akibat inspirasi yang menyangkut hasilnya. Antara lain, secara tradisional, Allah dikatakan “author” (=pengarang) Kitab Suci, tetapi entahlah bagaimana kata itu mesti dipahami.” Selain itu, “Vatikan II menggarisbawahi bahwa inspirasi tidak mematikan aktivitas pribadi para penulis, sehingga betapa suci pun Alkitab, ia tetap manusiawi (bdk. DV, No. 13).”
Masalah otentisitas Bible selalu menjadi perdebatan di kalangan Kristen. Masalahnya, saat ini tidak ada lagi teks Bible yang asli dan dijadikan rujukan terjemahan. Karena teks Bible bukan dipandang sebagai wahyu Tuhan, maka semua terjemahan dikatakan sebagai Bible atau Alkitab, meskipun satu sama lain berbeda-beda. Menurut Prof. Bruce M. Metzger, dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya. (A Textual Commentary on the Greek New Testament”, United Bible Societies, 1975).
I.J. Satyabudi, dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah (2004), mengungkapkan, bahwa penemuan arkeologi biblika sejak tahun 1890 M, sampai 1976 M, telah menghasilkan 5366 temuan naskah-naskah purba kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani yang berasal dari tahun 135 M sampai tahun 1700 M yang terdiri dari 3157 manuskrip yang bervariasi ukurannya... Dari 5366 salinan naskah itu, beberapa sarjana Perjanjian Baru menyebutkan adanya 50.000 perbedaan kata-kata. Bahkan ada beberapa sarjana yang menyebutkan angka 200.000-300.000 perbedaan kata-kata.
Karena ini, kaum Kristen tidak punya Kitab induk dalam bahasa aslinya (Yunani Kuno) yang menjadi rujukan terjemahan Bible seluruh dunia.
Karena itu, wajar jika dijumpai perbedaan dan perubahan yang ‘sangat dinamis’ dalam teks Bible itu sendiri. Sebagai contoh, ambillah, sejumlah versi Bible dalam bahasa Indonesia dengan penerbit yang sama (Lembaga Alkitab Indonesia/LAI). Kitab Imamat 11:7-8 versi LAI tahun 1971 adalah: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.”
Tetapi ayat yang sama versi LAI tahun 2004, sudah mengganti kata ‘babi’ menjadi ‘babi hutan’: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”
Kondisi teks Bible semacam ini jauh berbeda dengan kondisi Al-Qur'an, yang tetap dipegang teguh umat Islam, dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Dengan fakta-fakta semacam itu, umat Islam tidak perlu terlalu risau dengan penyebaran Bible oleh kelompok Kristen tertentu ke lembaga-lembaga Islam. Cara-cara kaum Kristen itu memang tidak etis. Tetapi, kaum Muslim jangan sampai terkesan ‘ketakutan’ atau ‘khawatir’ dengan masuknya Bible ke pesantren atau sekolah-sekolah Islam. Yang penting, para kyai atau guru-guru Muslim memahami, apa sebenarnya Bible dan apa bedanya dengan al-Quran. Wallahu a’lam. (
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta FM dan www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar