Dalam kajian ilmiyah masalah hukum berbuka shoum bagi wanita hamil, menyusui dan kafarohnya ini. Marilah kita mencoba melirik dan menengok para salafus sholih dalam memutuskan hukum di atas, kita kaji materi ini sesuai dengan kaidah salafus sholih (ahlus sunnah wal jama’ah) dalam membahasnya dan kita merujuk kepada keputusan yang telah mereka putuskan, karena mereka adalah ahlul wasath, mu’tadil (proporsional) dalam bersikap dan menentukan hukum, tidak ifrod (berlebih-lebihan) dan juga tidak tafrid (loyo), sehingga kita dapat terbebas dari pemikiran ghullatut thowaif (klompok-klompok yang berlebih-lebihan), seperti Rofidhoh, Khowarij, Mu’tazilah dan Murjiah serta thoifah-thoifah sesat lainnya.
Dalam kajian ini, kita ingin kembalikan masalah ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah atas dasar pemahaman salafus sholih, sehingga keputusan yang kita ambil tidak kelihatan kaku dan atau terlalu memudahkan masalah. Maka untuk melihat masalah tersebut dengan jelas dan proporsional akan kami hadirkan pendapat para ulama imam madzhab.
Pendahuluan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shoum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya shoum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak shoum) membayar fidyah, (yaitu) : Memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan shoum lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui”. (QS. Al Baqoroh : 183-184).
Adapun tafsir ayat (Artinya : “.....Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, (jika mereka tidak shoum) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin ..... ”). Hadits dikelurkan dari Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhum, beliau berkata tentang ayat ini : “Barangsiapa yang tidak mampu shoum kecuali dengan kesungguhan (susah payah), maka baginya boleh berbuka dan memberi makan satu orang setiap hari, dan perempuan hamil, menyusui serta orang tua yang lanjut usia (tua renta) dan orang-orang yang sakit terus menerus”. (Tafsir Addurrul Mantsur Fittafsiril Ma’tsur : 1/433. Oleh Imam Abdurrohman Jalaluddien Assyuyuti).
HUKUM BAGI WANITA HAMIL , MENYUSUI DAN KAFAROHNYA
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat :
1. Pendapat madzhab Maliki (Al Malikiyyah) :
Boleh tidak shoum (berbuka) bagi wanita yang hamil dan wanita yang menyusui manakala ia takut jika dengan shoum ia dan anaknya atau ia saja atau anaknya saja menjadi sakit atau tambah sakit atau timbul kerusakan dan mara bahaya.
a) Bagi wanita yang hamil ia harus mengqodho (mengganti shoum yang ditinggalkan) tanpa fidyah
b) Bagi yang menyusui ia harus mengqodho’ dan fidyah
2. Pendapat madzhab Hanafi (Al Hanafiyyah)
Boleh berbuka bagi wanita hamil dan yang menyusui jika shoumnya dirasa dapat membahayakan dirinya dan anaknya, atau atas ia saja dan atau anaknya saja.
Ia (wanita hamil dan yang menyusui) wajib mengqodlo’ tanpa fidyah
3. Pendapat madzhab Hambali (Al Hanabilah)
Boleh berbuka bagi wanita hamil dan yang menyusui jika ia takut terjadi mara bahaya bagi dirinya dan anaknya atau bagi dirinya saja.
a) Ia wajib mengqodlo’ jika takut terjadi mara bahaya baginya dan anaknya atau bagi dirinya sendiri.
b) Ia wajib mengqodlo’ dan fidyah jika ia takut terjadi mara bahaya atas anaknya saja.
4. Pendapat madzhab Syafi’I (As Syafi’iyyah)
Boleh berbuka bagi wanita hamil dan yang menyusui jika ia takut timbul mara bahaya bagi dirinya dan anaknya, atau dirinya sendiri atau anaknya saja
a) Ia wajib mengqodlo’ jika ia takut timbul mara bahaya yang timbul bagi dirinya sendiri
b) Ia wajib menqodlo’ dan fidyah jika ia takut timbul mara bahaya yang bagi anaknya saja. (Dalam kitabul Fiqhi ‘Alal Madzahibil Arba’ah : 1/520-521. Oleh Syaikh Abdurrohman Al Jaziri. Disebutkan juga dalam kitab Manarus Sabil Fie Syarhiddalil : 1/287-288. Oleh Assyaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salam bin Dlowiyyan. Disebutkan juga dala kitab Syarhus Sunnah. Imam Baghowi : 1/315-316. Disebutkan juga dalam kitab Al Mughni Ibnu Qudamah : 3/139).
FATWA-FATWA ULAMA MU’ASHIRIN (MASA KINI)
Untuk melengkapi hujjah yang ada, maka disini saya tampilkan beberapa fatwa ulama untuk memperkuat pembahasan diatas :
1. Soal :
Saya seorang wanita yang lagi hamil di bulan romadhon, kemudian saya berbuka dan saya shoum sebulan penuh untuk mengganti shoum romadhon (pada bulan yagn lain) dan saya juga bershodaqoh. Kemudian saya hamil lagi yang kedua kalinya pada bulan romadhon juga, lalu saya berbuka dan saya shoum dari hari ke hari (tidak urut tiap hari) selama dua bulan dan saya tidak bershodaqoh. Apakah dalam masalah ini saya harus bershodaqoh ?
Jawab :
Jika seorang yang hamil takut pada dirinya atau janinnya jika ia shoum maka ia boleh berbuka dan ia wajib mengqodlo’ saja. Keadaan dia pada saat itu seperti keadaan seorang yang sakit yang tidak kuat shoum, atau ia takut atas dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman :
(Artinya : “..... Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan maka (wajiblah baginya shoum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu .....”).
2. Soal :
Seorang wanita yang hamil dan yang menyusui apabila ia takut atas dirinya atau anaknya di bulan romadhon, lalu ia berbuka, maka apa (hukum) atas keduanya. Apakah ia boleh berbuka dan ia harus memberi makan dan mengqodlo’ atau ia boleh berbuka dan mengqhodlo’ tanpa memberi makan, atau ia boleh berbuka dan memberi makan tapi tidak mengqodlo’ ? Mana yang paling benar diantara ketiganya ?
Jawab :
Jika seorang yang hamil itu takut atas dirinya atau janinnya dari shoum romadhon (maka ia boleh) berbuka dan hanya menqodlo’. Keadaan ia pada saat itu seperti keadan orang yang sakit yang tidak kuat shoum atau takut timbul mara bahaya atas janinnya. Allah Ta’ala berfirman :
(Artinya : “..... Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan maka (wajiblah baginya shoum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu .....”).
Begitu juga orang yang menyusui, apabila ia takut atas dirinya jika ia menyusia anaknya di bulan romadhon, atau takut atas anaknya jika ia shoum di bulan romadhon dan tidak menyusuinya maka boleh berbuka dan ia hanya mengqodlo’ (tidak fidyah). (Dalam kitab Fatawa Allajnah Addaimah Lilbuhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’. Dikumpulkan oleh Syaikh Ahmad bin Abdurrozaq Adduwaisy. Para Mufti tersebut : Syaikh Abdullah Ghodyan. Syaikh Abdurrozaq ‘Afifi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz).
UKURAN FIDYAH
Fidyah adalah memberi makan seorang miskin setiap hari dari hari-hari qodlo’, (ukurannya) sesuai makanan yang diberikan pada kafaroh orang miskin. (Dalam Kitabul Fiqhi ‘Alal Madzahibil Arba’ah : 1/521)
Dalam ukuran fidyah ini ulama berbeda pendapat :
1. Pendapat imam Malik dan Syafi’I :
Ukuran fidyah itu satu mud dengan mudnya nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam, diberikan setiap hari pada hari ia berbuka (tidak shoum)
2. Pendapat Abu Hanifah :
Memberi makan setiap hari satu sho’ kurma atau setengah sho’ gandum. (Dalam kitab Tafsir Al Jami’ Liahkamil Qur’an : 2/ 289. Oleh Abi Abdillah Muhammad Al Anshori Al Qurtubi).
Alhamdulillah. Demikianlah sekilas kajian ilmiyah tentang hukum wanita hamil dan yang menyusui. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin pada umumnya dan khususnya bagi kaum muslimat. Saya yakin dalam kajian ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan saya dan sedikitnya buku yang saya telaah. Jika ada kesalahan itu datangnya dari saya dan dari syetan, dan jika ada kebenaran itu datangnya dari Allah yang harus kita ikuti. Wallahu a’lam bisshowab.
Atas perhatian, saran dan kritiknya saya ucapkan Jazakumullah khoiron.
Referensi :
1. Al Qur’an dan Terjemahnya
2. Tafsir addurrul Mantsur Fittafsiril Ma’tsur
3. Tafsir Al Jami’ Liahkamil Qur’an
4. Kitabul Fiqhi ‘Alal Madzahibil Arba’ah
5. Manarus Sabil Fie Syarhiddalil
6. Al Mughni Ibnu Qudamah
7. Syarhus Sunnah Imam Baghowi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar