Jumat, 16 Januari 2009

"Somasi untuk Menteri Agama"

Menang Maftuh Basyuni, disomai oleh Dawam Rahardjo dan kelompoknya karena dianggap ‘mendzalimi’ Ahmadiyah dan Lia Eden. Baca (CAP) Adian Husaini ke-144

Oleh: Adian Husaini

Pada tanggal 17 April 2006, Menteri Agama RI, Maftuh Basyuni, didemo oleh Dawam Rahardjo dan kawan-kawannya yang mengatasnamakan “Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”. Ada tiga tuntutan yang disampaikan kelompok ini kepada Menteri Agama, yaitu:

Pertama, menyatakan bahwa kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan adalah hak dasar dan hak konstitusi setiap warga negara RI. Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama RI mengakui, menghormati, menghargai, dan menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warga negara secara murni dan tanpa diskriminasi dalam bentuk dan dengan cara apapun juga dengan melayani seluruh kelompok, golongan, agama, keyakinan, dan komunitas dan dengan menetapkan kebijakan yang non-diskriminatif dalam semua aspek kehidupan beragama di seluruh Indonesia.

Kedua, dalam waktu sesingkat-singkatnya mencabut pernyataan Menteri Agama RI yang menetapkan dan menyatakan bahwa komunitas Ahmadiyah adalah suatu ajaran sesat dan menyesatkan dan sesegera mungkin mengambil langkah-langkah untuk memulihkan seluruh hak-hak dasar dan hak-hak konstitusi warga Ahmadiyah dan komunitas lainnya termasuk Komunitas Eden serta kelompok atau keyakinan atau agama lainnya secara sejajar dan setara dengan agama-agama lainnya yang selama ini diakui dan dilayani oleh pemerintah.

Ketiga, meminta maaf secara terbuka melalui media cetak dan elektronik berskala nasional dan internasional maisng-masing 2 media, kepada seluruh kelompok agama yang selama ini telah mengalami keresahan, kekerasan, pengrusakan, penyerangan, pembakaran dan penjarahan yang terjadi sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari kebijakan Menteri Agama RI selama ini.

Kelompok pembela Ahmadiyah, Lia Eden, dan sejenisnya ini memberi waktu selama tujuh hari kepada Menteri Agama RI untuk memberikan tanggapan tertulis. Jika Menteri Agama tidak menanggapi, maka mereka akan menempuh jalur hukum kepada Menteri Agama.

Jika kita pikirkan dengan akal yang jernih, tuntutan kelompok ini terhadap Menteri Agama RI, adalah hal yang tidak masuk akal, bodoh, dan sangat keterlaluan. Pikiran dan tindakan seperti bisa dimengerti jika dilakukan oleh Dawam Rahardjo yang diusia tuanya semakin kehilangan nalar cerdasnya, tampak linglung, pemarah, labil, kehilangan pegangan, dan berusaha mencari panggung baru setelah terlempar dari kepengurusan Muhammadiyah. Mestinya, orang-orang seperti Dawam ini sibuk berzikir dan beribadah kepada Allah SWT, menyiapkan masa depan kematiannya; bukannya malah membuat hal-hal yang aneh, lucu, dan bathil. Betapa tidak, di negara mana pun, tidak ada pemerintah yang tidak melakukan diskriminasi apa pun terhadap kelompok-kelompok agama atau kepercayaan yang ada.

Di Indonesia sendiri, paham komunisme tetap dilarang oleh MPR. Artinya, negara tidak memberikan kesempatan kepada kaum komunis untuk menjalankan dan menyebarkan paham mereka. Di Jerman, paham Naziisme dilarang disebarkan. Di AS, Inggris, dan sebagainya, kaum Muslim jelas mendapatkan perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan kaum Kristen. Kaum Muslim, misalnya, tidak mendapatkan hak untuk hari libur pada saat hari besar Islam. Hak-hak politik kaum Muslim juga dibatasi.

Lihatlah negara AS. Hingga kini, mereka tetap menegaskan jati dirinya sebagai “bangsa Kristen dan masyarakat Kristen” (Keputusan Mahkamah Agung AS tahun 1811 dan 1892). Bahkan, kini di Gedung Putih, setiap minggu diadakan kajian Bible yang diikuti oleh separuh lebih staf Gedung Putih.

Di Departemen Kehakiman, setiap hari dibacakan ayat-ayat Bible. Menguatnya arus fundamentalisme Kristen di AS saat ini digambarkan dengan cukup gamblang oleh Esther Kaplan dalam bukunya, With God on Their Side: How Christian Fundamentalists Trampled Science, Policy, and Democracy in George W. Bush’s White House, (New York: The New Press, 2004).

Tuntutan kelompok ini agar Menteri Agama mencabut ucapannya bahwa Ahmadiyah adalah sesat juga sangat aneh. Sebab, keputusan dan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sesat sudah ditegaskan oleh berbagai lembaga Islam Internasional dan negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam. Karena itu Ahmadiyah dilarang di Malaysia, Brunei, dan sebagainya.

Tahun 1985, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) sudah menerbitkan satu buku kecil yang berisi dokumen-dokumen resmi tentang kesesatan Ahmadiyah, yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional dan dunia Islam.

Dalam makalahnya yang disampaikan di satu acara Halaqah Nasional PBNU tahun 2005 lalu, Ahmad Hariadi -- mantan tokoh Ahmadiyah yang sudah bertobat – mengutip salah satu ucapan Khalifah Ahmadiyah yang kedua, yaitu Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, yang menyatakan:

“Semua orang Islam yang tidak baiat kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa Almasih yang dijanjikan, baik mereka mendengar namanya atau tidak, maka mereka berarti sudah keluar dari wilayah Islam.” (dari Kitab ‘Ainah Shadaqat, hal. 35).

Mulai tahun 1983, Ahmadiyah mempunyai moto “Tiada Hari Tanpa Dakwah/Tabligh”. Moto ini berasal dari 27 instruksi khalifah Ahmadiyah yang keempat, Tahir Ahmad, yang ditujukan kepada pengikut Ahmadiyah seluruh dunia. Diantara instruksi Khalifah tersebut

berbunyi (Insitruksi No 15):

“Harus dicari pendekatan secara langsung dalam pertabligan, hendaknya diberitahukan dengan tegas dan jelas, bahwa sekarang dunia tidak dapat selamat tanpa menerima Ahmadiyah. Dunia terpaksa akan menerima pimpinan Ahmadiyah (khalifah Ahmadiyah). Tanpa Ahmadiyah dunia akan tetap dihimpit oleh musibah dna kesusahan. Dan jika tidak mau juga menerima Ahmadiyah tentu akan mengalami kehancuran.”

Jadi, itulah sikap Ahmadiyah terhadap kaum Muslim, yang secara tegas menyatakan, bahwa orang di luar Ahmadiyah yang tidak mengimani Mirza Ghulam Ahad sebagai nabi, Isa, atau Almahdi, adalah berada di luar Islam. Jadi mereka pun menyatakan, orang non-Ahmadiyah adalah sesat, dan wajib dibaiat masuk Ahmadiyah.

Itulah sesungguhnya ajaran Ahmadiyah, yang jelas-jelas memang memenuhi syarat sebagai agama baru. Di Pakistan, Ahmadiyah juga dimasukkan ke dalam kategori minoritas non-Muslim.

Maka, kita sungguh-sungguh tidak habis pikir, jika saat ini masih ada orang-orang yang membela Ahmadiyah atas nama kebebasan beragama. Orang-orang yang membela Ahmadiyah itu tampak gelap mata, tidak memahami masalah, dan baru menikmati kebebasan dalam taraf primitif yang menginginkan kebebasan apa saja, tanpa memandang salah atau benar. Orang-orang ini adalah orang-orang yang identitas pribadinya terbelah.

Pada satu sisi, mereka mengaku Islam, tetapi mereka enggan mengikuti ajaran Islam, tetapi mereka benci dengan Islam. Di dalam hati mereka ada penyakit dan akan semakin bertambah-tambah penyakitnya itu, karena kedengkian terhadap kebenaran. Lebih aneh lagi, ada beberapa tokoh Kristen ikut-ikutan membela Ahmadiyah dan Lia Eden. Mungkin mereka memanfaatkan situasi untuk merusak Islam, dengan menempatkan Islam sebagai musuh bersama.

Cobalah kita renungkan, betapa naifnya pembelaan aliansi ini terhadap agama Salamullah-nya Lia Eden. Ajaran Lia Eden sangat jelas ngawur. Cobalah simak salah satu tulisan yang disebut oleh Lia Eden sebagai wahyu, yang diterbitkan dalam bukunya, Ruhul Kudus (2003). Dalam satu sub judul ‘’Seks di sorga’’, diceritakan kisah pacaran dan perkawinan antara Jibril dengan Lia Eden.

“Lia kini telah mengubah namanya atas seizin Tuhannya, yaitu Lia Eden. Berkah atas namanya yang baru itu. Karena dialah simbol kebahagiaan surga Eden. Berkasih-kasihan dengan Malaikat Jibril secara nyata di hadapan semua orang. Semua orang akan melihat wajahnya yang merona karena rayuanku padanya. Aku membuatkannya lagu cinta dan puisi yang menawan. Surga suami istri pun dinikmatinya.’’

Bagi orang sekular-liberal yang tidak percaya kepada kebenaran Islam, maka kepercayaan model Lia Eden itu tidak menjadi masalah, dan harus dibiarkan. Sebab, bagi orang-orang jenis ini, agama atau aliran apa saja adalah sama.

Sebab, agama, bagi mereka adalah asesoris belaka. Itulah yang mereka tuntut dalam somasi kepada Menteri Agama. Mereka ingin, agar Menteri Agama dan pemerintah RI memberikan kebebasan kepada agama atau aliran apa saja, tanpa diskriminasi. Jadi agama Islam disamakan posisinya dengan agamanya Lia Eden, Gatoloco, Darmogandhul, komunisme, sekularisme, liberalisme, dan sebagainya. Padahal, dalam Kitab Darmogandhul, jelas-jelas terdapat ungkapan-ungkapan yang menghina Islam dan Nabi Muhammad. Seperti ungkapan:

“Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”

Sedangkan dalam buku Gatoloco terdapat ungkapan-ungkapan yang melecehkan ajaran Islam, seperti:

“Allah, artinya olo yakni jelek, karena kemaluan lelaki atau perempuan itu jelek rupanya. Kalimat syahadat: “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah artinya “Aku menyaksikan bahwa hidupku dan cahaya Tuhan serta Rasa Nabi adalah karena bersetubuhnya bapa dan ibu. Karena itu saya juga ingin melakukan (bersetubuh) itu. Mekah artinya bersetubuh, yakni perempuan yang memegang kemaluan lelaki, kemudian ia mekakah berposisi untuk bersetubuh.” (Tentang ajaran-ajaran aliran kebatinan di Indonesia, bisa dibaca buku Rahnip M.BA, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).

Bagi orang Muslim yang masih memiliki setitik keimanan, tentulah tidak dapat menerima jika agamanya disejajarkan dengan Ahmadiyah, agama Lie Eden, Darmogandhul, atau Gatoloco. Apakah semua kelompok dan aliran itu akan diberi kebebasan dan hak yang sama dengan kaum Muslim? Jelas sangat tidak masuk akal.

Negara-negara Barat yang menjadi kiblat dan panutan kaum liberal di Indonesia pun tidak melakukan seperti itu.

Bagi orang Muslim, pelecehan terhadap Allah, Nabi Muhammad, al-Quran, dan sebagainya adalah tindakan serius. Sebab, orang Muslim sejati, masih mencintai agamanya, lebih daripada hartanya, keluarganya atau hal lain (QS 9:24). Karena itu dalam pandangan Islam, masalah pelecehan terhadap Nabi Muhammad dipandang lebih serius ketimbang pelecehan terhadap Presiden.

Tentu saja, pandangan dan keyakinan semacam ini tidak dipunyai kaum sekular-liberal, yang memandang urusan dunia, materi, dan hawa nafsu, adalah segala-galanya dalam hidup mereka.

Bagi kaum Muslim, ajaran Ahmadiyah yang mengangkat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi baru adalah bathil dan sesat. Begitu juga ajaran Lia Eden, Darmogandhul dan Gatoloco. Semuanya bathil dan sesat. Kaum sekular-liberal sering melarang kita melakukan ‘klaim kebenaran’ (truth claim). Padahal, klaim kebenaran semacam ini akan selalu terjadi, sebagaimana kaum liberal juga mengklaim kebenaran dari sudut pandangan hidup mereka dan menyalahkan orang yang berbeda dengan mereka.

Bahkan, lebih dari itu, dibantu oleh tuan-tuannya di Barat, mereka pun memaksakan pandangan hidup dan nilai-nilai mereka melalui berbagai cara untuk merusak Islam. Adalah tipu daya dan kebohongan belaka, jika mereka mengaku diri mereka bertoleran dan menghargai keberagaman, sebab mereka sangat agresif memaksakan pandangan dan nilai mereka kepada umat Islam. Mereka tidak ridha umat Islam memeluk aqidah Islam dan menjalankan syariat agamanya. Mereka tidak henti-hentinya berusaha memadamkan ‘Cahaya Allah’ dan memerangi kaum Muslim agar keluar dari agamanya, dengan berbagai cara. Wallahu a'lam. (Jakarta, 21 April 2006/hidayatullah.com).

Tidak ada komentar: