Jumat, 16 Januari 2009

"Menangisi Muhammadiyah"

Sejumlah tokoh Muhammadiyah menyuarakan seriusnya penyebaran virus liberalisme di tubuh Muhammadiyah. Namun banyak tokohnya yang justru ikut terkena. Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-105

Tanggal 3-8 Juli 2005 mendatang, Muhammadiyah akan mengadakan Muktamarnya yang ke-45 di Malang, Jawa Timur. Puluhan ribu warga Muhammadiyah diperkirakan akan ikut merayakan acara besar ini. Suasana ceria dan kesibukan terasa di berbagai cabang dan daerah Muhammadiyah. Beberapa kali saya menghadiri ceramah dan diskusi yang diadakan warga Muhammadiyah.

Terakhir, pada 19 Juni 2005, saya menghadiri seminar yang diadakan Pengurus Cabang Muhammadiyah Rawamangun, Jakarta, yang membahas tema “Tajdid Gerakan Muhammadiyah Dalam Menyikapi Pemikiran Liberal”. Seminggu sebelumnya, saya juga diminta menjelaskan masalah Liberalisasi Islam kepada warga Muhammadiyah di Masjid al-Huda Tebet Jakarta.

Sejauh pencermatan saya dari dekat, banyak tokoh, pimpinan, dan warga Muhammadiyah yang mengaggap remeh masalah liberalisasi Islam. Padahal, masalah liberalisasi keagamaan adalah salah satu masalah paling serius yang dihadapi semua agama yang ada.

Sejumlah tokoh Muhammadiyah sudah menyuarakan seriusnya penyebaran virus liberalisme di tubuh Muhammadiyah. Di Majalah Hidayatullah edisi Juni 2005, misalnya, tokoh Muhammadiyah, Adaby Darban, menyuarakan bahaya liberalisasi di tubuh Muhammadiyah.

Setahun lalu, bulan Maret 2005, saya juga menghadiri seminar tentang “Respon Muhammadiyah terhadap liberalisasi Islam” di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam seminar itu, sejumlah tokoh Muhammadiyah menceritakan dengan nada prihatin kondisi merebaknya pemikiran liberal di tubuh Muhammadiyah, khususnya di kalangan pimpinannya.

Berbeda dengan NU yang pada Muktamar di Boyolali lalu sudah secara resmi menetapkan liberalisme keagamaan sebagai barang haram di tubuh NU, pimpinan Muhammadiyah tidak terlalu mudah akan mengikuti jejak NU. Tampaknya, masalah yang paling mendasar, adalah masalah pemahaman. Yakni, banyak yang tidak memandang masalah liberalisasi Islam sebagai masalah penting. Padahal, masalah ini berkaitan langsung dengan aqidah Islam yang dijunjung tinggi oleh persyarikatan Muhammadiyah.

Jika kita tengok sejarahnya, Muhammadiyah dibentuk pada 12 November 1912, oleh KH Ahmad Dahlan, di Yogyakarta. Maksud didiririkannya ialah: “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Sekarang, sesuai Anggaran Dasarnya (pasal 2), Muhammadiyah menegaskan tujuannya: “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”

Sebagai organisasi dakwah Islam, maka seyogyanya, Muhammadiyah menjadikan masalah keimanan atau aqidah Islam sebagai perhatian utamanya, lebih daripada masalah politik, ekonomi, pendidikan, dan masalah sosial lainnya. Sebab, aqidah Islam adalah fondasi bagi tegaknya semua amal salih. Tidak ada amal salih tanpa landasan iman yang benar.

Al-Quran menegaskan, bahwa amal perbuatan orang-orang kafir itu laksana fatamorgana. “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS an-Nuur:39).

Siapa yang muslim, mukmin, dan siapa yang kafir sudah dijelaskan dalam banyak ayat Al-Quran. Bahkan, dalam buku “Tanya Jawab Agama IV”, yang diterbitkan oleh PP Muhammadiyah, juga disebutkan, bagaimana cara menjawab salam kepada kaum non-muslim, dengan contoh kasus kaum Yahudi dan Nasrani.

Disebutkan sebuah hadits Nabi saw: “Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan kepada orang-orang Nasrani.” Dan jika kaum non-Muslim itu memberi salam, maka jawablah “wa’alaikum” atau “wa’alaika”.

Ini menunjukkan, bahwa secara resmi PP Muhammadiyah sebenarnya masih berpegang kepada aqidah Islam yang membedakan dengan jelas, mana Islam, dan mana Yahudi, Kristen, dan non-Muslim lainnya. Akan tetapi, menurut akal sehat, kita tentu sulit memahami, jika dari tubuh Muhammadiyah juga keluar pernyataan dari tokoh-tokohnya yang aktif menghancurkan aqidah Islam, dengan menyebarkan paham pluralisme agama dan berbagai pemikiran yang meruntuhkan fondasi Islam.

Fenomena aneh bin ajaib di tubuh Muhammadiyah ini sebenarnya sudah lama terlihat. Berbagai kasus berikut ini bisa kita simak. Dalam sebuah buku “Himpunan Keputusan Majlis Tarjih” disebutkan, orang yang mendustakan ayat al-Quran dan hadits Nabi yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir, maka “kafirlah dia”. Dalam buku ini, kata “kafirlah” dicetak tebal. Artinya, Muhammadiyah jelas menentang keras paham Ahmadiyah.

Tapi, ajaibnya, dalam website www.islamlib.com muncul pernyataan anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dawam Rahardjo yang justru membela Ahmadiyah: “Ahmadiyah sama dengan kita....Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu. Kita menyangka, akidah mereka menyimpang. Misalnya, mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah menjadi kepercayaan mereka, mau apa? Itu 'kan soal kerpercayaan. Itu 'kan sama saja dengan kita percaya pada Nabi Muhammad saw.”

Hingga kini, Muhammadiyah, misalnya, belum mempunyai sikap resmi terhadap paham pluralisme agama. Padahal, banyak tokoh dan aktivisnya sudah secara terbuka menyebarkan paham ini. Dari Markasnya di Jalan Menteng Raya 62, keluar sebuah Jurnal bernama TANWIR, terbitan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah.

Pada edisi 2, Vol 1, Juli 2003, Jurnal yang dicukongi oleh The Asia Foundation ini menerbitkan laporan utama tentang pluralisme agama. Di tulis di dalamnya ungkapan-ungkapan yang mengecilkan perbedaan fundamental antar-agama.

Dikutip, misalnya, ungkapan seorang dosen agama di Universitas Muhammadiyah Malang: “Perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing agama pada dasarnya bersifat instrumental. Sementara di balik perbedaan itu, terkandung pesan dasar yang sama yakni, ketuhanan dan kemanusiaan, yang memungkinkan masing-masing agama dapat melakukan perjumpaan sejati.”

Bahkan, direktur eksekutif PSAP suatu ketika menulis artikel di koran Jawa Pos (11 Januari 2004), yang isinya menyerukan agar kaum Muslim menerima paham pluralisme agama. Katanya: “Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum Tuhan.”

Menurut aktivis Muhammadiyah ini, memang ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran.

Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama, entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya-adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One).

Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama.”Jadi, si aktivis ini tidak mengakui bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam. Ia beriman kepada Nietzsche dan Gandhi, dan menafikan begitu banyak ayat al-Quran dan sunnah Rasul yang menegaskan,

bahwa hanya Islam-lah agama yang diterima oleh Allah SWT (QS 3:19, 85). Begitu banyak ayat Al-Quran yang menyebutkan tentang kesesatan ajaran dan perilaku kaum Yahudi dan Kristen.

Jika ada diantara orang Muhammadiyah mengakui kebenaran semua agama, maka apa lagi yang akan didakwahkan oleh orang-orang ini. Meskipun orang-orang ini menyebarkan paham pluralisme agama tidak secara resmi atas nama Muhammadiyah, tetapi mereka selalu membawa nama Muhammadiyah.

Anehnya, para pimpinan Muhammadiyah mentolerir penyebaran paham ini kepada umat Islam. Pada catatan lalu kita membahas buku “Islam tanpa Syariat” yang diterbitkan oleh PP Pemuda Muhammadiyah.

Lebih aneh lagi adalah adanya tokoh Muhammadiyah yang mendukung penerbitan buku yang melecehkan Al-Quran, seperti yang dilakukan oleh Dr. Moeslim Abdurrahman terhadap buku “Lobang Hitam Agama”.

Di tulis sebagai “cendekiawan Muhammadiyah”, Moeslim menyatakan bahwa buku itu, “perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin ber-taqarrub untuk mencari kebenaran.” Padahal, seperti yang sudah kita bahas dalam catatan lalu, buku ini jelas-jelas melecehkan al-Quran, Nabi Muhammad saw, dan para sahabat Nabi yang mulia.

Di tengah usianya yang semakin tua, dan merebaknya ribuan amal usaha Muhammadiyah, sebagai sesama Muslim, kita wajib memberikan taushiyah, saran, dan kritik terhadap organisasi Islam yang memiliki jutaan pengikut dan simpatisan ini. Kebesaran Muhammadiyah tidak diragukan lagi. Berbagai prestasi dakwah sudah dicapainya. Kini, tugas besar Muhammadiyah adalah melakukan introspeksi dan memperbaiki kondisi internalnya.

Adalah ironi, jika warga Muhamamdiyah begitu aktif membangun dan merawat amal usaha, dalam rangka menegakkan dakwah Islam, justru sebagian tokoh Muhammadiyah mengotori aktivitas dakwah dengan menyebarkan paham-paham yang menyesatkan umat Islam.

Kondisi seperti ini tentu saja sangat serius dan tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Ibarat virus dan

penyakit, jika dibiarkan dan tidak diobati, akan dengan leluasa menyebar dan menggerogoti sendi-sendi pertahanan tubuh Muhammadiyah.

Sebagai seorang yang lahir dari Bapak seorang aktivis Muhammadiyah, saya merasakan betapa pedihnya hati para aktivis Muhammadiyah, jika Muhammadiyah akhirnya justru menjadi alat penyebaran paham-paham yang destruktif terhadap Islam. Penyebaran paham-paham sesat adalah bentuk kejahatan dan kemunkaran yang sangat besar. Semoga pimpinan Muhammadiyah menyadari hal ini dan segera menjalankan kewajiban “amar ma’ruf nahi munkar” dimulai dari dalam tubuhnya sendiri.

Selain aktif dalam ribuan amal usaha (al-amru bil-ma’ruf), para aktivis Muhammadiyah juga wajib

menjalankan aktivitas mencegah kemunkaran (al-nahyu ‘anil munkar). Rasulullah saw sudah mengingatkan:

“Hendaklah kamu menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, atau (jika tidak kamu lakukan), maka Allah akan memberikan kekuasaan atas kamu kepada orang-orang yang jahat diantara kamu, dan kemudian orang-orang baik diantara kamu berdoa, lalu tidak dikabulkan doa mereka.” (HR al-Bazzar dan al-Thabrani).

Adalah sayang, jika hanya karena sebagian aktivisnya yang berbuat munkar, lalu sebuah organisasi atau komunitas terkena getahnya. Rasulullah saw menjelaskan: “Tidaklah (sebagian) dari suatu kaum yang berbuat maksiat, dan di kalangan mereka ada orang yang mampu mengingkarinya kepada mereka, lalu dia tidak berbuat, melainkan hampir-hampir Allah meratakan dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).

Itulah peringatan dari junjungan kita, Nabi Muhammad saw, tentang kewajiban melaksanakan nahi munkar. Kita patut menangisi Muhammadiyah, jika organisasi Islam ini mengabaikan peringatan Rasulullah saw. Semoga tidak. Wallahu a’lam. (Jakarta, 24 Juni 2005).

Tidak ada komentar: