Prof. Syafii Maarif menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi. Namun, ia masih mengecam orang yang berbeda denganya. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-176
Setiap merayakan hari Raya Idul Adha, umat Islam senantiasa diingatkan akan keteladanan seorang Nabi Allah yang sangat agung dan mulia, yaitu Nabiyullah Ibrahim a.s. Beliau adalah teladan umat manusia, yang memiliki pribadi yang agung, mulia, yang memberikan keteladanan dalam menegakkan kalimah tauhid dalam situasi yang sangat sulit. Beliau hidup di tengah masyarakat penyembah berhala, penyembah dan pengagung batu.
Sebagai seorang yang cerdas, jujur, berani, dan telah menemukan kebenaran Tauhid, Ibrahim a.s., tidak dapat berdiam diri dengan tradisi dan kebobrokan masyarakatnya seperti itu. Sebab, memang tugas para Nabi yang utama, adalah menegakkan kalimah tauhid, dan menjauhi thaghut. “Dan sungguh telah kami utus Rasul kepada tiap-tiap kaum, (untuk menyeru umatnya), agar mereka menyembah Allah dan menjauhi thaghut.” (QS al-Nahl:36).
Oleh karena itu, semua utusan Allah mendapatkan tugas untuk menegakkan kalimah tauhid, bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati. Tidak ada Tuhan selain Allah. Karena itu, kisah-kisah para Nabi Allah senantiasa merupakan kisah pemberantasan kemuysrikan. Sebab, dalam pandangan Allah SWT, syirik adalah dosa besar, dan merupakan kezaliman yang besar. Lukman menitipkan pesan kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik (itu) (mempersekutukan Allah) adalah kezaliman yang besar.” (QS. Lukman: 13)
Jadi, kezaliman bukan hanya kezaliman terhadap manusia. Tetapi, ada jenis kezaliman yang sangat besar, yaitu kezaliman terhadap Allah, dengan menyekutukan Allah dengan yang lain. Nabi Musa a.s. begitu murka dikhianati kaumnya yang menyembah patung sapi. Karena menyekutukan Allah dengan menyembah patung sapi itulah, maka orang-orang itu dihukum dengan cara membunuh diri mereka sendiri. Nabi Musa a.s. diturunkan Allah untuk melawan Fir’aun yang sudah menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Itulah tindakan syirik yang mebawa kehancuran kepada Fir’aun.
Setiap Nabi dibebani misi untuk mengingatkan manusia, agar jangan menyembah dan beribadah kepada selain Allah. Jangan menyembah batu, jangan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan, jangan menjadikan harta, jabatan, dan manusia lain, sebagai tuhan, yang lebih dicintai, dihormati, diagungkan, dan ditaati, selain dari Allah SWT.
Dengan membawa misi seperti itu, maka dengan tegas, lembut, dan tulus, Nabi Ibrahim menasehati ayah dan kaumnya, agar mereka meninggalkan sesembahan batunya, meninggalkan tuhannya yang lama, dan beralih menyembah Tuhan yang sejati, Allah SWT.
Dikisahkan dalam Al-Quran: ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (Al-An’am: 74).
Cobalah kita refleksikan ungkapan Nabi Ibrahim itu dalam kondisi masyarakat saat ini, dimana berbagai tindakan syirik dan menyepelekan Allah sedang merajalela dalam berbagai bentuknya. Suatu tradisi yang dianggap sudah mapan dan dianggap sebagai kebenaran oleh mayoritas masyarakatnya, digugat dengan satu perkataan yang tajam dan berani. Ibrahim tidak gentar dengan resiko yang dihadapinya. Ia sangat serius dalam menggugat tradisi penyembahan berhala. Nabi Ibrahim juga berdoa kepada Allah, agar anak keturunannya dijauhkan dari menyembah berhala. (QS Ibrahim: 35-36)
Al-Quran menggambarkan sosok Ibrahim dengan gambaran yang berbeda dengan konsep Yahudi, yang menekankan pada aspek “darah” atau “garis keturunan”. Ibrahim diklaim kaum Yahudi sebagai nenek moyang bangsa Yahudi. Klaim Yahudi adalah klaim rasialis, karena Yahudi memang bangsa yang sangat rasialis. Tuhan mereka, yang sebagian Yahudi menyebutnya dengan nama ‘Yahweh’ adalah Tuhan yang dikhususkan untuk bangsa Yahudi (henoteisme).
Berbeda dengan Yahudi, Al-Quran lebih menekankan sosok Ibrahim sebagai tokoh pembela dan penegak Tauhid, dan menekankan aspek “keimanan” dan “kesalehan” kepada Allah sebagai jalan menuju keselamatan, tanpa pandang bulu, apakah ia bangsa Yahudi atau Arab. Bahkan, untuk orang-orang yang sudah secara formal mengaku beragama Islam pun tidak dijamin keselamatannya jika tidak benar-benar beriman kepada Allah, Hari akhir, dan melakukan amal shalih. Kriteria iman yang sejati, bukanlah sekedar ‘ngaku-ngaku’, tetapi harus benar-benar diyakini dan diamalkan. (QS 2:62). Karena itulah, dalam Al-Quran disebutkan, ada orang-orang yang mengaku-aku beriman tetapi sejatinya mereka tidak beriman. (QS 2:8).
Al-Quran melawan paham rasialis Yahudi dengan mendasarkan keselamatan seseorang hanya semata-mata karena faktor iman dan amal shaleh. Islam adalah agama yang menghapus tuntas problema rasialisme yang hingga kini masih bercokol di belahan dunia Barat. Jika Yahudi mengklaim bahwa Ibrahim adalah Bapak bangsa Yahudi, maka
Al-Quran menegaskan, bahwa: “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (Ali ‘Imran: 67).
Al-Quran begitu jelas menempatkan posisi dan sosok Ibrahim sebagai sosok pembela Tauhid dan penentang keras kemusyrikan. Kata Nabi Ibrahim, seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Al-An’am:79).
Menyongsong Idul Adha 1427 Hijriah ini, satu makna penting yang perlu kita ambil adalah meneladani kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan agama Tauhid dan melawan kemusyrikan. Nabiyullah Ibrahim tidak gentar menghadapi hegemoni paganisme di tengah masyarakatnya. Ia tampil sebagai manusia merdeka yang bertauhid, yang hanya menyandarkan dirinya kepada Allah SWT, meskipun harus berhadapan dengan tradisi pagan. Bahkan, karena perbuatannya melawan kemusyrikan, beliau akhirnya harus menghadapi ujian yang sangat berat, terutama yang datang dari tengah keluarganya sendiri. Ia harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya sendiri yang bertahan dalam kemusyrikan dan menentang ketauhidan.
Membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam menegakkan kalimah Tauhid itu, kita tentu memahami, bahwa Nabiyulllah Ibrahim sangat yakin dengan kebenaran Tauhid yang diyakininya. Tauhid memang mensyaratkan keyakinan, dan menolak keraguan atau relativisme nilai. Dalam Tauhid yang ada adalah haq dan bathil, salah dan benar. Yang benar harus ditegakkan dan yang salah harus diruntuhkan, sebagimana dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim a.s.
Umat Islam adalah umat yang menerima dan meyakini semua Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Kita tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Kita menerima dan mengimani kenabian Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. Kaum Yahudi menolak kenabian Isa dan Muhammad. Kaum Nasrani menolak untuk mengimani kenabian Muhammad saw. Umat Islam adalah umat yang paling konsisten dalam mengikuti sunnah Ibrahim a.s. dan paling banyak menyebut namanya serta mendoakannya. Bukan hanya mereka yang sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, tetapi setiap hari dalam shalat lima waktu, kita senantiasa membaca shalawat (doa) untuk Nabiyullah Ibrahim a.s. bersama dengan shalawat untuk Nabi Muhammad saw.
Adakah umat lain yang begitu besar kecintaannya kepada Nabi Ibrahim selain umat Islam, yang setiap hari berulang kali menyebut namanya dalam ibadah wajibnya?
Tidak berbeda dengan tugas Nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad saw diperintahkan Allah SWT untuk menjelaskan tentang konsep Tauhid dalam Islam dan mengajak kaum Yahudi dan Kristen untuk bersama-sama menganut Tauhid dan meninggalkan tindak kemusyrikan yang sangat dimurkai oleh Allah SWT. Rasululullah saw diperintahkan oleh Allah SWT:
“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimah (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dengan kalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang Muslim.” (QS 3:64).
Dalam urusan tauhid inilah kita wajib meneladani apa yang telah dilakukan oleh para Nabi. Tauhid tentu tidak mungkin bersatu dengan syirik, sebab tauhid berlandaskan kepada keyakinan. Para Nabi begitu gigih dalam memberantas kemuysrikan. Para Nabi itu tentu berangkat dari keyakinan dan kepastian iman, bukan dari keraguan atau kenisbian iman. Keimanan mereka kokoh, bahwa Tauhid adalah benar, dan syirik adalah salah. Tentu saja, mereka memiliki keyakinan itu berdasarkan kepada pemahaman yang yakin pula. Mereka sama sekali bukan penganut paham relativisme akal, relativisme iman, atau relativisme kebenaran.
Keyakinan dalam iman inilah yang seyogyanya ditanamkan oleh para cendekiawan dan ulama. Kita tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada pikiran pada sebagian cendekiawan yang menyebarkan paham relativisme akal dan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Syafii Maarif melalui artikelnya di Republika (Jumat, 29 Desember 2006) yang berjudul “Mutlak dalam Kenisbian”.
Dia menulis: “Iman saya mengatakan bahwa Al-Quran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu dari yang Mahamutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya, termasuk mufassir yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya… Jika ada orang yang mengatakan bahwa penafsirannya mengandung kebenaran mutlak, maka ia telah mengambil alih otoritas Tuhan.”
Terhadap pernyataan Syafii itu kita perlu lakukan klarifikasi dan koreksi. Banyak sekali kalangan cendekiawan yang terjebak oleh logika dikotomis semacam ini. Yang perlu ditekankan, adalah bahwa Al-Quran memang Kalamullah, tetapi Al-Quran diturunkan untuk manusia. Allah tidak menuntut manusia menjadi Tuhan dan tidak mungkin manusia memahami Al-Quran sama dengan Allah memahaminya. Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan. Karena itu, jika seorang mufassir atau seorang Muslim memahami dan meyakini pemahamannya bahwa Allah itu satu, bahwa Nabi Isa tidak disalib, bahwa babi itu haram, tidak bisa dikatakan, bahwa sang mufassir itu sedang menggantikan posisi Tuhan karena telah memutlakkan pendapatnya. Sebab, memang, di luar pemahaman (kebenaran) yang satu itu, tidak ada kebenaran lain. Dalam hal-hal yang pasti (qath’iy), memang hanya ada satu penafsiran yang benar. Tidak mungkin ada dua pemahaman yang berlawanan. Misalnya, tidak mungkin dipahami, bahwa Nabi Isa tidak disalib sekaligus juga disalib. Tidak mungkin ada pemahaman bahwa Allah itu satu, tetapi sekaligus juga banyak. Tidak mungkin kita memahami bahwa babi itu haram sekaligus juga halal. Jika kita memahami bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi, maka tidak mungkin pada saat yang sama kita juga menisbikan pendapat kita bahwa ada kemungkinan beliau saw juga bukan nabi. Na’udzubillah. Dalam hal ini, keyakinan bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi memang bersifat mutlak, tidak ada keraguan sedikit pun dan tidak ada kenisbian sedikit pun. Tentu, ‘kemutlakan’ di sini adalah dalam batas-batas manusia, karena kita memang tidak mungkin menggantikan posisi Tuhan.
Dalam hal sederhana, kita bisa bertanya, apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan: “Karena pemikiran saya bersifat nisbi, maka kelelakian saya adalah nisbi dan tidak mutlak.” Begitu juga, apakah beliau berani membuat pernyataan: “Karena pemahaman akal saya terhadap Allah adalah nisbi, maka keimanan saya kepada Allah juga bersifat nisbi dan tidak mutlak.” Apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan seperti itu? Jika berani, maka kita tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup mengelus dada dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Kita tunggu saja apa yang terjadi kemudian.
Kenyataannya, Syafii Maarif juga tidak konsisten. Jika ia menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi, maka pemikiran dia pun nisbi. Sebab itu, dia tidak perlu menyalahkan atau mengecam orang yang berpendapat lain dengan pendapatnya, serta memaksa manusia lain untuk menisbikan pendapatnya, seperti dia. Ketika dia menyalahkan orang lain, maka dia sendiri pun sudah memutlakkan pendapatnya.
Yang jelas, keberanian Nabi Ibrahim a.s. dalam meruntuhkan berhala-berhala kaumnya tidak mungkin muncul dari sebuah keimanan yang nisbi dan relatif; tetapi muncul dari pemikiran dan keyakinan yang mutlak, bahwa menyembah berhala adalah tindakan syirik dan salah sampai kapan pun! Wallahu a’lam bis-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar