Jumat, 16 Januari 2009

“Tamsil Anjing untuk Penjual Kebenaran”

Ada orang yang mengerti ayat Allah, fasih tetapi agama tak ada dalam dirinya. Menurut Hamka, mereka ditamsilkan ibarat "anjing". Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian ke-107

oleh Adian Husaini

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS al-A’raf:175-176)

Menarik untuk merenungkan ayat Al-Quran tersebut. Ayat 175 surat al-A’raf ini menceritakan tentang orang-orang yang telah didatangkan ayat-ayat Allah kepada mereka, tetapi dia kemudian melepaskan diri dari ayat-ayat itu.

Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka menjelaskan, bahwa orang-orang ini sudah terhitung pakar atau ahli dalam mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu tanggal atau copot dari dirinya.

Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh ‘insalakha’, arti asalnya ialah ‘menyilih’ (ganti kulit. Bahasa Jawa: mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia tanggalkan kulit kambing, sehingga tinggal badannya saja. Ini juga disebut ‘insalakha’.

Masih tulis Hamka dalam tafsirnya: “Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.”

“Maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat.”

Kata Buya Hamka, rupanya karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahui itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi gelap.

Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat.

Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh syaitan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.

“Maka, karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia tinggal dalam keadaan telanjang. Na’udzubillah min dzalik,” demikian tulis Hamka dalam tafsir terkenalnya.

Terhadap manusia jenis ini, al-Quran menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk, yaitu mereka diumpakan sebagai anjing. Hamka memberi uraian terhadap tamsil orang yang menukar kebenaran dengan kekufuran ini: “Laksana anjing, selalu kehausan saja, selalu lidahnya terulur karena tidak puas-puas karena tamaknya.

Walaupun dia sudah dihalaukan pergi, lidahnya masih terulur, karena masih haus, karena masih merasa belum kenyang, dan walaupun dibiarkan saja, lidahnya diulurkannya juga.

Cobalah pelajari dengan seksama, mengapa maka binatang yang satu itu, anjing, selalu mengulurkan lidah? Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa puas. Lebih-lebih pada siang hari, di kala panas mendenting-denting.

Anjing mengulurkan lidah terus, karena selalu merasa belum kenyang, karena hawanafsunya belum juga terpenuhi.”

Tamsil Al-Quran tentang anjing untuk orang-orang yang membuang kebenaran dan mengikuti kebatilan ini sangat penting untuk kita renungkan, mengingat kita melihat satu fenomena aneh di Indonesia, banyaknya orang-orang yang dulunya belajar agama di institusi-institusi pendidikan Islam, mengerti ayat-ayat Allah, tetapi akhirnya justru menjadi garda terdepan dalam melawan dan melecehkan ayat-ayat Allah sendiri.

Ini tidak bisa disalahkan pada lembaga pendidikannya begitu saja, tetapi perlu ditanyakan, mengapa ada manusia yang menjual kebenaran, membuang kebenaran yang telah diketahuinya, dan kemudian memilih menjadi ‘anjing’ sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.

Peringatan Allah SWT tersebut sangat penting untuk direnungkan oleh siapa saja. Oleh kita semua. Agar kita tidak masuk ke dalam kategori ‘anjing’ yang menjulur-julurkan lidahnya.

Kita mengingatkan saudara-saudara kita, yang mungkin lupa akan peringatan Allah tersebut. Agar kita tidak mudah menjual ayat-ayat Allah, membuangnya, bahkan tak segan-segan menjadi garda terdepan dalam menghujat dan memutarbalikkan kebenaran.

Kita, misalnya, berkewajiban mengingatkan orang yang mengerti ayat-ayat Allah, malah menjadi penghujat ayat-ayat Allah itu sendiri, hanya karena terpesona dan terkagum-kagum oleh satu atau dua tulisan kaum orientalis yang melakukan studi Al-Quran.

Belum lama ini (5 Juli 2005), seorang yang mengaku Islam Liberal yang berasal dari satu pelosok kampung di wilayah Bekasi meluncurkan tulisan yang memuji-muji habis-habisan orientalis dalam studi Al-Quran. Tulisan itu dia beri judul “AI-Qur'an dan Orientalisme”.

Bagi yang mengikuti studi Al-Quran dengan cermat, tulisan ini sebenarnya berkualitas sampah, tidak ada data-data ilmiah yang ditampilkan, tetapi hanya berupa puji-pujian tanpa bukti terhadap kaum orientalis.

Tulisan ini sebenarnya sangat memalukan, bagi seorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Timur Tengah. Tapi, tampak, bahwa rasa malu itu sudah hilang dari dirinya.

Tentang studi para orientalis terhadap Al-Quran, si penulis itu menyatakan:

”Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik.

Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Alquran.

Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan.

Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Alquran.

Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.”

Cobalah kita simak kata-kata penulis yang juga dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadinamulya ini. Begitu tinggi dia menghargai orientalis dan sebaliknya mencurigai para ulama Islam.

Padahal, kita sudah diajarkan oleh Rasulullah saw untuk bersikap kritis terhadap sumber-sumber dari kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak boleh menolak atau menerima begitu saja.

Tetapi, bukti-bukti menunjukkan, banyak orientalis yang memang melakukan studinya dengan tidak jujur.

Justru orientalis yang disebut oleh penulis itu termasuk ke dalam daftar orientalis yang licik dalam studi Al-Quran. Bahkan, sebagian orientalis sudah mengritik kajian mereka.

Sebutlah contoh John Wansbrough. Seorang orientalis bernama Juynboll secara mendasar telah mengkritik Wansbrough karena terlalu selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang sesuai dengan pra-anggapan penelitiannya.

Wansbrough berpendapat, bahwa tidak ada teks Al-Quran yang fixed sebelum akhir abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah. Tetapi, Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku curang karena tidak memasukkan literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan teorinya, seperti Kitab Al- ’Alim wa al-Muta’allim and Risala ila Utsman al-Baitti yang keduanya ditulis oleh Abu Hanifah (150 H.).

Estelle Whellan juga telah meruntuhkan kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan bahwa teks Al Quran telah menjadi teks yang tetap pada abad pertama Hijrah.

Karena itu, kita heran, bagaimana si penulis artikel tersebut berani menyatakan bahwa “Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat.Semuanya tepat dan mengagumkan.” Jelas kesimpulan yang ngawur.

Para orientalis sendiri tentu tertawa melihat kesimpulan penulis yang ‘terlalu panjang dalam menjulurkan lidahnya’. Apalagi, dia sendiri mengaku baru membaca sebagian karya para orientalis tersebut.

Belum tamat membacanya sudah memuji setinggi langit, dan taklid buta terhadap kajian orientalis.

Dalam film-film tentang zaman penjajahan Belanda, kita menyaksikan kaum pribumi para kaki tangan Belanda (londo ireng), tak jarang melakukan kekejaman melebihi orang Belanda sendiri terhadap kaum pribumi.

Biasanya, para londo ireng itu ingin, agar kesetiaanya kepada ‘sang tuan’ tidak diragukan.

Untuk itu, ia menguliti dirinya sendiri, membuang seluruh identitas pribuminya, agar ia benar-benar tampak lebih Belanda ketimbang orang Belanda sendiri.

Disamping rajin memuji-muji tuannya, ia juga tak segan-segan memasok informasi tentang orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan sang penjajah. Tentu saja, semua itu ada imbalannya.

Tentang Arthur Jeffery, Adnin Armas, kandidat doktor di ISTAC Kuala Lumpur, yang baru menerbitkan bukunya, “Metode Bibel dalam Studi Al-Quran” membuktikan ketidakjujuran orientalis yang satu ini dalam melakukan studi Al-Quran.

Misalnya, dikatakan Jeffery, bahwa ketika Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Mas’ud menolak menyerahkan mushafnya.

Dia marah karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang lebih muda, lebih diprioritaskan dibandingkan mushafnya.

Padahal ketika Ibn Mas’ud sudah menjadi Muslim, Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.

Di sini tampak jelas kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah Al-Quran. Ia tidak mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Mas’ud.

Padahal, Kitab al-Mashaahif – yang diedit sendiri oleh Jeffery -- menunjukkan bahwa Ibn Mas’ud meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin ‘Affan. Ibnu Mas’ud mempertimbangkan kembali pendapatnya yang awal dan kembali kepada pendapat Uthman dan para Sahabat lainnya.

Ibnu Mas‘ud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat Jeffery menjadi naïf karena justru dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, Ibnu Mas‘ud pada akhirnya menyetujui kebijakan Utsman, yang disokong oleh para Sahabat lainnya.

Bukti-bukti kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh para cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri.

Kaum Muslim juga maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji mereka tanpa ilmu pengetahuan yang memadai adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.

Tamsil Al-Quran tentang anjing yang menjulur-julurkan lidahnya perlu kita renungkan secara mendalam. sebagai Muslim tentu kita tidak menginginkan diri kita sendiri termasuk kategori ‘anjing’

sebagaimana digambarkan dalam surat al-A’raf tersebut.

Jika kita sudah memahami ayat-ayat Allah SWT, seyogyanya kita berusaha memahami dan mengamalkannya.

Dan sebagai orang yang berakal sehat, kita tentu sangat khawatir jika diri kita sampai masuk kategori ‘anjing’. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang bangga menduduki posisi 'anjing'. Na'udzubillah min dzalika. (Jakarta, 8 Juli 2005)

Tidak ada komentar: