Jumat, 16 Januari 2009

“Sikap Kaum Hindu terhadap Islam”

Sebuah majalah Hindu Bali mencurigai Islam lewat RUU APP. Sebelum Bali menolak RUU itu, 'para provokator' sudah datang ke pulau itu. Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke-144

Beberapa hari lalu, saya mendapatkan kiriman sebuah majalah bernama “Majalah Hindu RADITYA”. Pada edisi April 2006, majalah Hindu ini menurunkan tulisan-tulisan yang sangat keras dan tajam dalam menentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Sampul depan RADITYA dihiasi dengan tulisan-tulisan yang menusuk: “AWAS TALIBAN DATANG LEWAT RUU PORNO”.

Majalah ini dibuka dengan tulisan Editorial berjudul “Tolak RUU Porno” yang ditulis oleh Putu Setia, seorang wartawan Hindu. Putu menguraikan, bahwa porno itu ada dalam pikiran, dan bukan pada objeknya. Porno juga tidak sama dengan telanjang.

Putu Setia menulis:

“Seorang wanita mendandani tubuhnya dengan mulus, dia tidak pernah bermaksud porno, tetapi pikiran lelaki yang melihatnya itu yang porno. Kenapa harus wanita yang dipersalahkan?... Turis berbusana amat minim berjemur di Pantai Kuta. Kenapa harus dilarang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya? Orang Bali di pedesaan juga masih mandi di pancuran umum, atau di kali dengan telanjang. Konsentrasinya pada mandi, bukan untuk menarik perhatian orang. Salah para lelaki kalau mau melirik dan lebih salah lagi kalau melontarkan tuduhan: porno. Ketelanjangan ini yang disamakan dengan pornografi oleh penyusun RUU APP. Jelas salah besar, karena porno dan tidaknya tergantung bagaimana posisi pikiran pada saat itu. Kalau pikiran sudah diset ke porno, wanita dibungkus bak pocong pun akan membangkitkan birahi. Kalau busana yang tertutup itu dilepaskan dan wanita itu ternyata kurus, kudisan, panuan, apa itu masih merangsang birahi?”

Pola pikir Putu Setia itu memang khas cara pandang sekular-liberal, dan jelas sangat keliru dan fatal. Sebab, dengan begitu, maka tidak perlu ada regulasi atau aturan apa pun terhadap objek seni atau tontonan.

Lalu, untuk apa ada aturan-aturan tertentu terhadap objek seni? Untuk apa ada larangan adegan telanjang di TV? Untuk apa para artis diwajibkan pakai baju jika tampil di TV ? Bukankah menurut Putu Setia, porno itu ada pada pikiran penonton, dan bukan pada objek ? Jika ada anak Hindu bermain-main dengan turis-turis telanjang di Kuta dan terangsang birahinya, maka yang salah bukanlah ketelanjangan si turis, tetapi pikiran si anak itu yang porno. Jadi anaknya yang salah karena berpikiran porno, bukan turis yang telanjang itu yang salah. Apakah logika Putu Setia semacam itu masuk akal ? Jelas tidak !Jelas salah !Tetapi, sayangnya, Majalah Hindu RADITYA memang sedang tidak berlogika sehat, melainkan membangun semangat kebencian dan kecurigaan berlebihan terhadap Islam.

Putu Setia menulis : “Saya tetap menolak RUU APP ini meskipun sudah direvisi.” Sikapnya hanya satu: TOLAK ! Tidak ada tawar menawar. Bahkan, sekali pun, Bali dikecualikan dalam RUU APP ini, Putu tetap menolak. Jadi, katanya, “Penolakan saya dan seluruh masyarakat Bali sudah harga mati. Kembalikan saja draf RUU APP ini kepada anggota Komisi VIII DPR untuk disimpan dengan ucapan terimakasih.Jangan dibahas lagi.”

Pendapat seperti ini sudah banyak dikemukakan di media massa. Tetapi, majalah RADITYA mengangkatnya menjadi pendapat dan sikap resmi kaum Hindu di Indonesia.Mereka tidak peduli sama sekali dengan keresahan umat Islam tentang bahaya merebaknya pornografi bagi anak-anak Muslim, yang mayoritas di negara ini. Sikap mereka tegas, tanpa kompromi. Tidak ada tawar-menawar. Pokoknya, Tolak! Titik.

Sebuah tulisan lain dalam Majalah ini berjudul “WASPADAI REZIM TALIBAN DI BALIK RUU ANTI PORNOGRAFI’’. Di sini dikutip ungkapan Anand Krishna yang menyatakan adanya konspirasi asing yang tengah menghimpun kekuatan untuk menghancurkan Indonesia.

Termasuk di dalamnya adalah RUU APP, yang kata Anand Krishna, hanyalah kekuatan pemecah belah bangsa. Menurut Anand, RUU APP mewakili satu kepentingan budaya luar, budaya fundamentalis Taliban. “Awalnya memang lunak, tidak boleh ini-tidak boleh itu, terus ada denda, tapi lama kelamaan akan berakhir seperti di Afghanistan. Perempuan tidak boleh sekolah, bekerja dan keluar rumah. Hasilnya apa? Afghanistan hancur dalam sekejap,” kata Anand disambut tepuk tangan gemuruh ratusan peserta yang hadir di Universitas Udayana waktu itu.

Membaca Majalah Hindu RADITYA ini, kita tahu, bahwa para provokator sudah datang terlebih dahulu ke Bali untuk memanas-manasi masyarakat Bali agar bersikap keras dan tanpa kompromi terhadap RUU APP.

Ungkapan Anand Krishna itu tentulah sangat berlebihan dan sangat keterlaluan, sekaligus sangat berbahaya, karena telah memasukkan unsur-unsur provokasi kebencian dan kecurigaan terhadap umat Islam.

Ke depan, ini akan dimanfaatkan, untuk semakin menyuburkan kecurigaan dan ketidakpuasan terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim, sehingga selama perdebatan tentang RUU APP ini, pun sejumlah media liberal bersemangat mengekspose ancaman kaum Hindu Bali untuk memisahkan diri dari NKRI.

Anand Krishna mengancam, bahwa jika RUU APP disahkan, maka itu sama dengan Taliban sudah lahir di Indonesia.

Di majalah Hindu ini juga dimuat kembali artikel Goenawam Mohamad yang berjudul: ‘RUU Porno: Arab atau Indonesia?’ yang pernah dimuat di Koran Tempo, 8 Maret 2006. Goenawan menuduh, nilai-nilai di balik RUU APP yang dia sebut “RUU Porno” datang dari nilai-nilai yang diilhami paham Wahabi, dan tidak semua orang Muslim Indonesia bersedia tanah airnya dijadikan sebuah varian Arab Saudi.

Dengan tuduhan-tuduhan dan provokasi dari Goenawan, Anand Krishna, Putu Setia, seperti itu, tentu saja, masyarakat Hindu Bali kemudian mendapatkan tambahan suntikan untuk melawan RUU APP. Dan senjata yang digunakan untuk menolak pun adalah sikap resmi keagamaan. Ada satu tulisan dalam majalah ini berjudul: “Porno Menurut Pandangan Hindu; Porno itu ada pada pikiran”.

Ada juga tulisan berjudul: “Budaya Hindu Akrab dengan Penis dan Vagina”. Juga, judul tulisan, “Hindu Menghormati Gairah Seksual.” Tentu saja, umat Islam tidak seyogyanya memaksakan konsep agamanya kepada kaum Hindu yang minoritas di Indonesia. Umat Islam sangat bersedia bertoleransi, dan siap memberikan kebebasan kaum Hindu untuk mengekspresikan dan melaksanakan ritual agamanya.

Tetapi, seyogyanya, kaum Hindu yang minoritas juga menghormati umat Islam yang mayoritas untuk menjalankan ajaran agamanya, termasuk dalam soal aurat. Karena jelas, konsep aurat dalam Islam berbeda dengan kaum Hindu. Maka, logikanya, adalah sangat masuk akal, jika dengan pertimbangan keagamaan, maka umat Hindu Bali dikecualikan. Itu logis, dan sangat logis. Tetapi, anehnya, kaum Hindu Bali, seperti ditulis Putu Setia, bersikap tidak mau kompromi terhadap RUU APP. Pokoknya, harus ditolak, TITIK! Tidak perlu dibahas.

Di sinilah, sayangnya, kaum Hindu Bali terprovokasi oleh kaum liberal seperti Goenawan Moehammad, yang menakut-nakuti kaum Hindu Bali dengan isu Wahabisme dan isu Taliban.

Tapi, terlepas dari itu semua, kaum Muslim Indonesia, perlu melakukan perenungan yang mendalam. Mengapa kaum minoritas Hindu bersikap begitu berani terhadap umat Islam.

Dalam acara Tabligh Akbar dalam rangka Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw di Madjid Al-Barkah, pekan lalu, seorang ulama mengingatkan kaum Muslim, agar menyadari kondisi dirinya. Bahwa, mereka saat ini dianggap laksana bangkai, laksana mayat-mayat, yang suaranya tidak perlu diperhatikan. Kelompok-kelompok minoritas, bahwa beberapa individu saja, bisa bertindak semaunya sendiri di Indonesia, tanpa mengindahkan suara umat Islam. Majalah Playboy, yang dikelola hanya beberapa ‘biji’ manusia, pun berani diterbitkan di Indonesia; tidak peduli dengan keberatan umat Islam.

Kita perlu menyadari bahwa negeri Muslim terbesar ini sedang dikeroyok dan dikerjai habis-habisan melalui proses liberalisasi yang sangat liar, dalam berbagai bidang.

Di bidang moral, penerbitan media-media informasi porno sudah begitu merajalela. Playboy hanyalah salah satu dari sekian banyak majalah dan tabloid porno di Indonesia. Dengan liberalisasi di bidang informasi, maka pemerintah pun sudah dikebiri dan tidak memiliki wewenang untuk bertindak. Semua keputusan benar atau salah, porno atau tidak, diserahkan kepada masyarakat.

Jika mayoritas masyarakat suka pornografi, maka pornografi menjadi benar. Jika mayoritas setuju dengan perzinahan, maka perzinahan pun menjadi halal. Itulah cara pandang sekular-liberal, yang tidak mengakui adanya nilai-nilai yang tetap dalam moral.

Menghadapi serbuan liberalisasi moral itu, sebagian tokoh umat Islam kemudian melakukan tindakan nahi munkar dengan ‘tangan’, dengan cara melakukan tindakan fisik dengan merusak simbol-simbol pornografi, seperti majalah Playboy. Tapi, mereka kemudian justru diopinikan oleh media-media liberal sebagai orang-orang barbar, anarkis, dan pantas dijebloskan ke penjara. Kekuatan media massa begitu besar untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.

Playboy seolah-olah menjadi tidak salah, karena sudah taat hukum, sedangkan para ulama dan aktivis umat yang menentangnya dipersepsikan sebagai orang-orang yang picik dan biadab. Inilah ujian dan fitnah besar yang sedang dihadapi oleh umat Islam Indonesia.

Liberalisasi bidang pendidikan di Indonesia telah melahirkan fenomena yang sangat mengerikan. Kezaliman begitu nyata. Untuk masuk masuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta, seorang mahasiswa harus membayar Rp 10 juta.

Untuk masuk sebuah fakultas kedokteran – melalui jalur khusus – di sebuah universitas negeri di Jawa Barat, seorang mahasiswa bisa menghabiskan dana Rp 300 juta.

Mau jadi apa pendidikan kita ke depan? Pemerintah harusnya sadar, bahwa komersialisasi pendidikan seperti itu akan membawa dampak yang sangat fatal bagi masa depan bangsa. Harus ada penyelamatan yang serius dan revolusironer terhadap kondisi pendidikan Indonesia. Alasan kemiskinan sangatlah tidak masuk akal.

Negara-negara miskin atau yang ekonominya tidak berbeda jauh dengan kita, seperti Sudan, Maroko, Syria, Mesir, Filipina, India, dan sebagainya, bisa menyediakan pendidikan dan buku-buku murah untuk rakyatnya. Pemerintah harus berani mengambil tindakan yang revolusioner dan berpikir untuk menyelamatkan bangsa dalam jangka panjang, bukan sekedar menjaga popularitasnya untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek. Liberalisasi dalam dunia perguruan tinggi harus segera dihentikan.

Tentu saja yang lebih mengerikan adalah liberalisasi dalam bidang agama, terutama dalam aqidah Islam melalui penyebaran paham Pluralisme Agama. Paham ini pelan tapi pasti melucuti keimanan dan keyakinan setiap pemeluk agama terhadap kebenaran agamanya sendiri.

Kini, di Indonesia, bertebaran ratusan LSM yang menyebarkan paham ini dengan biaya LSM-LSM dan negara-negara asing. Jika peredaran paham ini tidak ditangani serius, jangan terkejut jika 10 tahun lagi, akan banyak guru agama yang mengajarkan paham ‘penyamaan agama’ ini kepada anak didik kita. Na’udzubillah min dzalika.

Kita perlu sadar akan potensi dan posisi kita sekarang. Siapa kita sebenarnya, dan siapa yang sebenarnya sedang kita hadapi. Jika kita ‘kancil’, janganlah kita merasa sebagai ‘singa’. Kita memang banyak jumlahnya. Tetapi, negara sekecil Singapura pun bisa mempermainkan kita. Jumlah kita sekarang 1,3 milyar jiwa, tapi dipermainkan kaum Zionis Yahudi yang jumlahnya tidak lebih dari 10 juta jiwa. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: