Jumat, 16 Januari 2009

Memerdekakan Kembali Indonesia

Dalam pengertian imperialisme modern, Indonesia sesungguhnya masih terjajah dan belum merdeka. Mengapa kita tidak benar-benat pernah merdeka dan berdaulat? Baca CAP Adian Husaini, MA ke-61

Sesuai pembukaan UUD 1945, maka salah satu tugas penting Presiden RI mendatang adalah memerdekakan kembali Indonesia. Ini pernah diungkapkan oleh Dr. Rizal Ramli, dalam sebuah tulisannya berjudul "Krisis Argentina dan Indonesia Mei 1998, Korban Kebijakan IMF":

Pada awal abad ke-21 ini, sudah waktunya bangsa kita menyatakan diri untuk bertekad melakukan "Gerakan Kemerdekaan Kedua", sehingga dapat menjadi bangsa maju dan besar di Asia. Jika tidak, bangsa ini hanya akan menjadi permainan negara-negara maju dan hanya akan menjadi nation of coolies and coolies among nations. Soekarno dan Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secara politik pada tanggal 17 Agustus 1945, sudah waktunya memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia berani menyatakan dirinya merdeka secara ekonomi.? (Kompas (26/12/2001)

Dalam khazanah hubungan internasional, salah satu unsur penting dari negara merdeka adalah sovereignty, atau kedaulatan, yang oleh Grotius didefinisikan sebagai "that power whose acts are not subject to control of another, so that they may be made void by act of any other human will" (Encyclopedia of Social Sciences, 52).

Jadi, sovereignty atau kedaulatan adalah suatu kemampuan, keupayaan, atau kekuatan untuk melakukan tindakan atas kemauan sendiri, bukan di bawah kontrol atau telunjuk orang lain. Dengan kata lain, suatu negara dikatakan merdeka dan berdaulatan secara hakiki, jika kemauan dan kebijakan negara itu, tidak lagi berada di bawah telunjuk penjajah. Pembukaan UUD 1945 menyatakan, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Secara fisik, saat ini hampir tidak ditemukan adanya bentuk penjajahan militer, kecuali di Palestina dan Iraq. Tetapi, kolonialisme klasik yang hilang, kini digantikan oleh imperialisme modern, yang oleh Dieter Nohlen (1994), didefinisikan sebagai politik yang bertujuan menguasai dan mengendalikan bangsa-bangsa lain di luar batas negaranya, baik secara langsung (melalui perluasan wilayah) atau secara tidak langsung (mendominasi politik, ekonomi, militer, budaya). Bangsa yang dikuasai itu sebenarnya tidak suka dan menolak tekanan serta pengaruh negara imperialis.

Dari segi pengertian imperialisme modern ini, dengan mudah kita mengatakan, bahwa Indonesia memang belum merdeka. Sebagaimana penjajahan klasik, imperialis modern yang menguasai dan menghegemoni negara lain, juga melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan kekuasaannya atas negara lain. Sebab, kekuasaan telah memberi keuntungan besar kepada mereka, terutama secara ekonomi. Di masa penjajahan Belanda, kita mengenal teori ?Islam Politiek?-nya Snouck Hurgronje, yang membagi masalah Islam ke dalam tiga ketegori: (1) bidang agama murni dan ibadah, (2) bidang sosial kemasyarakatan, (3) bidang politik. Masing-masing bidang mendapat perlakuan yang berbeda. Resep Snouck Hurgronje ini diberikan kepada pemerintak kolonial Belanda untuk menangani masalah Islam di Indonesia.

Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu rakyat menempuh jalan tersebut. Dan dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islam.

Di zaman itu, salah satu yang dianggap ancaman oleh pemerintah kolonial adalah ibadah haji, sehingga mendapatkan pembatasan yang sangat ketat. Karena itu, tahun 1908, anggota parlemen Belanda bernama Bogardt, menyatakan, bahwa pemerintah kolonial harus mengambil tindakan terhadap ibadah haji ke Mekkah. Para haji secara politis dinilainya berbahaya, dan karena itu ditegaskannya bahwa melarang perjalanan ibadah haji adalah lebih daripada kemudian terpaksa harus menambak mati mereka. (Lihat, buku Aqib Suminto yang berjudul Politik Islam Hindia Belanda, 1985:12,21).

Di zaman imperialisme modern, cara untuk mempertahankan penjajahan agak berbeda dengan dulu, meskipun tujuannya sama, yaitu mempertahankan kekuasaan dan hegemoni atas negara lain. Banyak calon Presiden yang sudah menyadari akan hal ini. Mereka ingin agar Indonesia mandiri dalam berbagai hal, tidak tergantung atau didekte oleh negara atau kekuatan lain. Bagi Indonesia, masalah ini tentulah merupakan masalah yang sangat besar dan berat. Secara ekonomi, jelas Indonesia tidak mandiri. Selain utang yang sangat besar, juga dari waktu ke waktu, semakin banyak aset strategis yang dijual ke luar. Dengan dikuasainya BCA dan Indosat oleh asing saja, maka bisa dibayangkan, begitu mudah ekonomi dan situasi negara ini digoyang ? jika diperlukan. Meskipun merupakan salah satu negara produsen minyak, perusahaan minyak negara -- Pertamina-- kalah jauh dibandingkan dengan Petronas Malaysia, yang tahun ini mencatat keuntungan sebesar RM 37,4 milyar (sekitar Rp 89 trilyun).

Mengapa kita tidak merdeka dan berdaulat? Jawabnya, tentu karena kita lemah. Banyak calon Presiden yang mengajukan gagasan untuk memperbaiki Indonesia. Tetapi, sayangnya, masih dalam tataran yang superfisial. Kelemahan dan ketidakberdaulatan Indonesia harus dicari pada akar masalahnya, yaitu pada masalah pikiran dan mental manusia Indonesia. Jika jiwa dan pikiran tidak merdeka, maka akan sulit dilakukan perbaikan. Apalagi bercita-cita besar untuk menjadikan Indonesia bangsa yang merdeka dan bangsa besar. Inilah yang mestinya disadari oleh para capres yang semuanya Muslim dan sudah berkali-kali melakukan haji dan umrah. Karena itu, sebagai Muslim, mereka seyogyanya menyadari, bahwa jalan satu-satunya untuk memerdekakan Indonesia adalah mulai dengan menanamkan jiwa merdeka dalam diri manusia Indonesia. Dan bagi Muslim, jiwa dan pikiran merdeka tidak bisa tidak mesti dibangun dari dasar Tauhid.

Para capres perlu mencamkan benar, bahwa Islam datang ke Kepulauan Nusantara ini bukan untuk menjajah, tetapi untuk memerdekakan manusia Indonesia, untuk membawa Indonesia ke dalam satu peradaban tinggi.

Dalam seminar tentang Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963, diambil sejumlah kesimpulan:

1.Islam untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 atau 8 M) langsung dari Arab.

2.Bahwa daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera, dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama berada di Aceh.

3.Bahwa dalam proses pengislaman berikutnya, orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian.

4.Bahwa mubalig-mubalig Islam yang pertama-tama, selain sebagai penyiar Islam juga sebagai saudagar.

5.Bahwa penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara-cara damai.

6.Bahwa kedatangan Islam ke Indonesia itu membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

Islam datang dengan nilai dasar Tauhid. Tauhid-lah yang secara hakiki membebaskan jiwa dan pikiran manusia dari penjajahan. Dengan Tauhid, manusia hanya mengakui keagungan dan kedaulatan Allah SWT, dan tidak gentar serta tunduk dengan kekuatan makhluk-makhluk lain.

Presiden Indonesia nanti yang jelas-jelas mengaku Muslim, dituntut untuk membuktikan janjinya dan pengakuannya, bahwa dia adalah Muslim, pemeluk agama Islam. Mereka tentu tidak ingin dikatakan sebagai orang-orang munafik, yang menjadikan agama sebagai komoditi politik untuk menarik dukungan orang Islam, atau Islamnya hanya formalitas KTP saja. Mereka semua pasti ingin dikatakan sebagai Muslim yang baik.

Dan karena fondasi Islam adalah Tauhid, maka tugas yang amat sangat penting dari pemimpin bangsa adalah menegakkan Tauhid. Presiden wajib mendidik dan memberi contoh rakyatnya, bagaimana menjadi Imam yang baik. Sebab, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Kekuasaan yang dinikmatinya tidak akan lama, tetapi tanggung jawabnya abadi, sampai di hari kiamat.

Jika dia ingin menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya, maka konsep Nabi Muhammad saw, bahwa pemimpin adalah yang pertama lapar dan terakhir kenyang perlu dicontoh. Dia tidak akan tenang tidur nyenyak, jika masih ada rakyatnya yang kelaparan atau menderita berbagai kesulitan hidup. Semua itu hanya mungkin dilakukan, jika dilandasi dengan jiwa dan semangat Tauhid.

Salah satu penjajah besar dalam diri manusia adalah hawa nafsunya. Hawa nafsu sering dijadikan oleh manusia sebagai penjajah bagi dirinya sendiri. Bahkan, hawa nafsu sering dijadikan sebagai Tuhan, sebagai Ilah, yang disembah dan dituruti segala macam perintahnya. Al-Quran menyebutkan tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan, dan karena itu tersesat dan mati hatinya untuk menerima kebenaran. Orang-orang ini hanya mengakui kehidupan dunia. Mereka tidak percaya pada kehidupan akhirat, dan hanya waktu yang akan membinasakan mereka. (QS 45:23-24).

Karena itu, saat Perang Salib, ulama dan pemimpin Islam sangat menekankan masalah Jihad al-Nafs. Dalam satu hadith sahih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, disebutkan: Al-Mujaahid man jaahada nafsahu fi-llaahi-Allah Azza wa-Jalla. (Bahwasanya mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Syekh Ali al-Sulami, dalam Kitab-nya Kitab al-Jihad menjadikan jihad al-nafs, sebagai batu pijakan penting dan bagian tak terpisahkan dari konsep jihad secara keseluruhan melawan penjajahan Pasukan Salib ketika itu membebaskan Indonesia dari berbagai belenggu penjajahan dan memerdekakan Indonesia kembali adalah pekerjaan yang amat sangat besar, satu misi yang nyaris tidak mungkin (mission impossible) dalam pikiran banyak orang. Hanya pemimpin yang berpikiran dan berjiwa besar, yang dilandasi jiwa dan semangat Tauhid, yang mampu melakukan hal itu. Jiwa dan semangat yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Jiwa dan semangat percaya dan yakin akan pertolongan Allah.

Karena itu, salah satu tugas besar pemimpin Indonesia nanti adalah menegakkan Tauhid dan mengurangkan berbagai hal yang melemahkan Tauhid. Berbagai jenis tontonan, tradisi, budaya, dan hiburan yang melupakan manusia dengan Tuhannya dan menjadi candu atau narkotika seyogyanya tidak diumbar dan diberi kesempatan berkembang seluas-luasnya di tengah masyarakat. Berbagai pemikiran dan ajaran yang menghancurkan Tauhid juga tidak semestinya diberi fasilitas untuk berkembang seluas-luasnya.

Kita tidak perlu heran, jika penjajah modern telah dan sedang melakukan berbagai cara untuk mengubah cara berpikir dan cara berbudaya kaum Muslim, demi mengokohkan hegemoni mereka atas kaum Muslim. Untuk itu mereka rela mengeluarkan dana milyaran bahkan trilyunan rupiah, baik melalui pemerintah maupun LSM-LSM yang mengemban misi penghancuran Tauhid.

Mereka ingin agar kaum Muslim menjadi jinak dan ?rusak secara aqidah dan akhlak. Cara-cara ini hakekatnya sama dengan yang dilakukan oleh penjajah-penjajah klasik dahulu, hanya pola dan modus serta sarana dan prasarananya yang berbeda. Sebuah lembaga asing yang bermarkas di San Francisco AS, dan memiliki cabang di Indonesia, mengaku, selama 30 tahun telah aktif menggarap institusi-institusi dan umat Islam Indonesia. Tahun 2004, lembaga ini memberikan pelatihan kepada lebih dari 1000 pesantren tentang nilai-nilai pluralisme agama, gender equality, toleransi, dan civil society. Juga, lembaga ini dengan bekerjasama dengan empat universitas Islam, telah melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang mewakili 625 institusi Islam dan sekitar 215.000 mahasiswa. Lembaga ini mengaku mendapatkan dana dari perusahaan, individu, dan pemerintah AS, serta beberapa negara Eropa lainnya.

Mengapa mereka mempromosikan paham pluralisme agama. Tentu karena mereka ingin agar kaum muslim tidak fanatik, dan tidak meyakini, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan. Padahal, di sinilah salah satu jantung dari ajaran tauhid. Jika ribuan pesantren dididik untuk memahami toleransi, maka tentu ada asumsi, bahwa para kyai dan santri kurang atau tidak paham tentang toleransi atau mereka dianggap tidak toleran. Jika kaum Muslim tidak boleh fanatik dan memeluk nilai-nilai dan ajaran agamanya, pada sisi lain, aktivitas lembaga ini membuktikan, bahwa Barat justru begitu fanatik dengan nilai-nilai mereka, sehingga mereka sanggup mengeluarkan dana yang sangat besar untuk proyek ?perubahan cara berpikir dan cara berperilaku umat Islam, agar menjadi seperti mereka.

Kita paham, disamping misi ideologis, ada banyak keuntungan ekonomi yang mereka raih. Sebab, dengan mengakui dan mengagumi nilai-nilai Barat, maka kaum muslim akan tidak segan-segan mengkonsumsi shampo, sabun, makanan, mode pakaian, lisptik, dan berbagai produk imperialis lainnya. Jadi, sangatlah naif, kalau menyangka, bahwa dana melimpah yang kini dinikmati oleh berbagai organisasi Islam, dari lembaga semacam ini, semuanya diberikan secara gratis. Dan kita tidak usah heran, bahwa sejak zaman kolonial, akan ada saja di kalangan muslim, yang dengan sadar atau tidak, menjadi agen penghancuran aqidah dan akhlak kaum muslim. Tentu dengan imbalan kegemilangan dan gemerlap kehidupan dunia yang fana ini. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: