Jumat, 16 Januari 2009

Sikap Adil untuk Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid, telah meninggal dunia. Semoga Allah memberi balasan atas amalnya. Namun pikirannya, sampai kapanpun tetap terbuka untuk dikritik. Baca CAP Adian Husaini ke-113 Jum'at, 2 September 2005

Oleh: Adian Husaini

Nurcholish Madjid, yang biasa dipanggil sebagai “Cak Nur” telah meninggal dunia pada hari Senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05 WIB, di RS Pondok Indah Jakarta. Saat berita itu datang, saya sedang bertamu di rumah Prof. Halim Mat Diah, guru besar di Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Ketika berita itu saya sampaikan kepada Prof. Halim, dia berucap singkat: “Jazallaahu hasba maa amila” (Semoga Allah memberi balasan, setimpal dengan amal perbuatannya).

Prof. Halim mengenal cukup dekat sosok dan pemikiran Nurcholish Madjid. Ia menyelesaikan jenjang pendidikannya dari S-1 sampai S-3 di IAIN Yogyakarta.

Sembilan tahun ia tinggal di Kota Gudeg itu dan sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam, termasuk para pelopor sekularisasi dan liberalisasi Islam di Indonesia, yang ketika itu berkumpul di ‘Limited Group’ Yogyakarta.

Nurcholish Madjid kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ini seolah-olah memberikan isyarat, bahwa pemerintah Indonesia memandang sosok Nurcholish Madjid sebagai seorang yang berjasa besar terhadap bangsa Indonesia.

Seperti biasa, dalam rangkaian upacara prosesi kematian seseorang, puji-pujian pun berhamburan. Para penulis sibuk menggoreskan penanya dengan berbagai pujian dan sanjungan untuk Nurcholish.

Eep Saefulloh Fatah menulis kolom di Koran Tempo (30/8/2005), dengan judul “Cak Nur, Pemelihara Ingatan”.

Ditulisnya, “Bintang paling cemerlang di langit intelektual Indonesia itu --Dr. Nurcholish Madjid alias Cak Nur-- redup sudah. Senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Cak Nur dipanggil Tuhan pulang. Bukan hanya kita di Indonesia yang berduka. Semua umat manusia pembela pluralisme dan kebebasan berpikir selayaknya kehilangan.”

Tentu, puji-pujian seperti itu sudah biasa bagi Nurcholish. Sebelum meninggal pun, Nurcholish sudah sering dipuji habis-habisan, yang kadang kala melewati batas kepatutan.

Saya pernah mengkritik sebuah draft naskah buku tentang Islam di Asia Tenggara yang digarap oleh Australian National University yang menyebut Nurcholish dan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh Islam kultural. Padahal, ada nama lain yang lebih patut disebut, yaitu Dr. Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang juga pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Sebenarnya, disamping puji-pujian, ada juga suara lain yang tidak terekam oleh media massa di Indonesia. Ketika itu, HP saya dibanjiri dengan SMS yang isinya mensyukuri kepergian Nurcholish.

Ada juga SMS yang berisi pertanyaan, apakah dia harus dishalatkan dengan cara syariat Islam atau dengan cara agama “sipilis” (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme).

Malah ada yang mengirimkan SMS berbunyi: “Cak Nur dijemput Israil…Alhamdulillahilladzi nashara ‘abdahu wa a’azza diinahu.” Dan sebagainya.

Suara-suara umat yang berbeda dengan arus besar opini media massa seperti itu, tentu saja tidak terekam dalam suasana kematian. Apalagi, berbagai cerita seputar tanda-tanda “husnul khatimah” Nurcholish juga diungkapkan dalam pemberitaan.

Bahkan, ada sebuah iklan besar di media massa yang berbunyi:

“Semoga Allah SWT menerima segala amal sholih Almarhum serta memasukkan ke surga-Nya bersama para Anbiya’, Shiddiqin, Syuhada’ dan Sholihin.”

Dengan iklan seperti itu, maka sempurnalah pujian buat Nurcholish Madjid, seolah-olah selama ini tidak ada masalah yang serius tentang ide-ide dan pemikiran Islamnya. Padahal, banyak tokoh partai Islam itu yang selama bertahun-bertahun aktif mengkritik pemikiran Nurcholish Madjid.

Bagi kita yang terbiasa mengikuti perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, tentu paham benar bagaimana dahsyatnya kontroversi pemikiran Nurcholish Madjid selama ini.

Pemikiran-pemikiran itu kini tersebar di berbagai buku dan media massa. Siapa saja bisa membacanya. Sampai meninggalnya, Nurcholish tidak mencabut atau meralat pemikiran-pemikirannya.

Karena itu, sampai kapanpun, pikiran itu tetap terbuka untuk diikuti dan dikritik. Soal nasibnya sesudah meninggal, kita serahkan kepada Allah, sebagaimana doa dari Prof. Halim Mat Diah tadi: “Semoga Allah memberi balasan setimpal dengan amal perbuatannya.”

Tentang pemikirannya, kita tentu diwajibkan untuk tetap mengkritisinya. Selama ini, kritik terhadap Nurcholish sudah begitu banyak.

Sayangnya, Nurcholish kurang menanggapinya. Apalagi banyak yang memuja Nurcholish secara berlebihan, karena tidak memahami pemikiran Islam, atau bahkan karena tidak membaca buku-bukunya.

Karena Nurcholish sudah dipandang sebagai orang hebat, maka dia diperlakukan sebagai

“tidak mungkin salah”.

Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Saya sudah menulis satu bab khusus dalam buku “Islam Liberal” (Jakarta: GIP, 2003), yang mengkritik pemikiran-pemikiran Nurcholish dan membuktikan berbagai kesalahan data dan fakta dalam tulisan-tulisannya.

Tetapi, para pemuja Nurcholish, seperti Eep Saefullah menulis: “Cak Nur adalah penganjur teguh keharusan memahami keadaan--termasuk sosok-sosok di dalamnya—secara saksama dan cermat berbasiskan kesahajaan fakta, kejujuran, dan obyektivitas. Maka bukan hanya ceramah agamanya yang terasa sejuk, analisis dan kesaksian Cak Nur atas keadaan hampir selalu tepat dan mencerahkan.”

Sebagai Muslim, kita harus bersikap adil terhadap Nurcholish. Jika salah, kita katakan salah, jika pendapatnya benar, harus kita katakan benar.

Tetapi, sayangnya, Nurcholish tidak menanggapi kritik-kritik terhadapnya, meskipun dia sudah menerima koreksi atas data-data yang disajikannya.

Pendapatnya tentang definisi Ahlul Kitab, yang dia lebarkan definisinya mencakup agama-agama nonYahudi dan Kristen, adalah pendapat yang sangat lemah.

Bahkan, penerbit Paramadina sendiri menerbitkan disertasi Dr. Muhammad Ghalib yang menolak pendapat Nurcholish. Ketika hal itu saya ungkapkan dalam diskusi di Universitas Paramadina, dijawab oleh seorang panelis lain, bahwa Paramadina kecolongan menerbitkan buku Dr. Ghalib.

Salah satu kesalahan fatal terakhir Nurcholish Madjid sebelum meninggalnya adalah keengganannya menarik buku “Fiqih Lintas Agama” terbitan Paramadina dan The Asia Foundation.

Selain mengobrak-abrik syariat Islam, buku ini juga berisi caci maki terhadap ulama besar umat Islam, yaitu Imam al-Syafii.”

Misalnya, ditulis dalam buku ini:

“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya.

Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits).

Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.” (Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004), hal. 5.)

Jika sampai meninggalnya, Nurcholish tidak pernah mencabut pendapatnya, maka kita bisa menyimpulkan, dia tetap berpegang pada pemikiran-pemikirannya selama ini.

Tuduhan terhadap Imam Syafii bukanlah hal yang ringan. Imam yang begitu besar jasanya bagi umat Islam ini dinistakan begitu rupa oleh orang-orang yang kualitas keilmuannya masih diragukan.

Para pengikut Nurcholish tentu akan mencak-mencak jika dikatakan Nurcholish adalah perusak Islam dan bangsa Indonesia.

Kabarnya, Nurcholish marah besar ketika pada tahun 1993, terbit sebuah buku berjudul: “Anatomi Budak Kuffar dalam Perspektif Al Quran” karya Muhammad Yaqzhan yang diterbitkan Al Ghirah Press.

Disebutkan dalam buku ini, bahwa ceramah Nurcholish di TIM pada tanggal 21 Oktober 1992 adalah merupakan “puncak gagasan Nurcholish Madjid dalam upaya menyeret manusia ke dalam comberan atheisme baru yang intinya menggusur syariah, bahkan menuduhnya sebagai simbolisme yang mengarah pada berhalaisme”.

Gagasan Nurcholish yang mendapat sambutan gegap gempita di Indonesia, menurut Yaqzhan, merupakan prestasi puncak dari seorang anak didik orientalis dalam menyesatkan orang Islam.

Puncak gagasan ini sangat paralel dengan sikap iblis, cendekiawan syetan dari jenis jin. Dan sikap iblis ini kemudian diwujudkan secara utuh oleh kamerad-kamerad syetan dari jenis manusia yang tergabung dalam “Kelompok Pembaruan” yang mengorganisir aktivitasnya dalam satu wadah yang disebut Paramadina, yang gerakannya kemudian dikenal dengan Gerakan Pembaruan Keagamaan. (Yaqzhan, hal. 62-63).

Karena sudah menjadi bagian dari skenario besar, kemunculan dan kemasyhuran Nurcholish Madjid sulit dihindarkan.

Sejumlah media massa besar tidak ingin melihat Nurcholish Madjid jatuh atau kalah dalam merebut simpati masyarakat. Selain memang piawai dalam komunikasi, Nurcholish pun diuntungkan oleh peran media massa ini.

Dr. Daud Rasyid, seorang tokoh PKS, menyebut bahwa “sihir Nurcholish” lebih canggih dan lebih memukau daripada sihir Harun Nasution. (Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta, 1993)

Istilah “sihir Nurcholish” dari Daud Rasyid ini menarik untuk kita renungkan bersama. “Sihir” itulah yang selama ini melanda banyak orang ketika melihat fenomena Nurcholish. Karena terkena “sihir” banyak orang tidak mampu melihat realita dengan sebenarnya.

Karena terkena sihir, di masa Nabi Musa a.s. banyak orang yang tidak bida membedakan antara “tongkat” dengan “ular”.

Karena terkena sihir, banyak yang tidak bisa membedakan, mana ilmuwan sejati dan mana ilmuwan yang tidak sejati: Imam Syafii dicaci maki, Nurcholish Madjid dipuja-puji. Semoga kita tidak termasuk yang terkena “sihir”. Wallahu a’lam. (Jakarta, 2 September 2005).

Tidak ada komentar: