Ketua PGI Pendeta Nathan Setiabudi yang meminta SKB dicabut agar memudahkan kalangan Kristen mendirikan rumah ibadah. Tapi umat Islam masih belum peka. Baca CAP Adian Husaini, MA ke 81
Akhir-akhir ini, masalah SKB No 1/1969 mencuat kembali dan menjadi perdebatan ramai di berbagai media massa, menyusul pernyataan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Nathan Setiabudi setelah diterima Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, beberapa hari lalu. Kita pernah mengangkat masalah ini dalam CAP ke-58. Ketika itu, ketika akan bergabung dengan kubu Megawati-Hasyim Muzadi, Partai Damai Sejahtera (PDS) mengajukan sejumlah syarat, antara lain pencabutan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 dan UU Sisdiknas. SKB 1/1969 ini berisi antara lain: setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.
Rupanya, meskipun Mega-Hasyim gagal meraih kursi kepresidenan RI, suara kalangan Kristen untuk menuntut pencabutan SKB 1/1969 tetap berjalan. Mereka biasanya beralasan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, itu adalah "bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Tap MPRS No XX/MPRS/1966, Hak Asasi Manusia untuk beribadah, menafikan kebebasan beribadah umat Kristen dan Katolik di Indonesia, serta menumbuhkan fanatisme sempit pada umat beragama lain."
Sejak lahirnya, SKB No 1 tahun 1969 sudah menjadi bulan-bulanan pihak Kristen, seperti halnya SK Menteri Agama No 70 tahun 1978 yang mengatur tentang Pedoman Penyiaran Agama. SK Menteri Agama No 70 itu misalnya menetapkan, bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan untuk (1) ditujukan terhadap orang-orang yang telah memeluk agama lain, (2) dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik memeluk sesuatu agama, (3) dilakukan dengan cara-cara penyebaran panflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah/ di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain, (4) dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apa pun.
SKB No 01/BER/MDN-MAG/1969 itu adalah SKB tentang "Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya". SKB No 1/1969 ditetapkan tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh Menteri Agama KH Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud.
Soal yang berkaitan dengan pembangunan gereja diatur dalam pasal 4 SKB tersebut.
(1) Setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepala daerah atau Pejabat Pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.
(2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan (a) pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi (c) kondisi dan keadaaan setempat.
(3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.
Gugatan keras terhadap SKB 1/1969 misalnya pernah datang dari JE Sahetapy, seorang tokoh PDIP. Tokoh Kristen yang juga pakar hukum dari Unair Surabaya ini mengaitkan maraknya aksi pembakaran dan perusakan gereja dengan keberadaan SKB No 1/1969. JE Sahetapy menulis soal ini, "… sejak tahun 1969 umat Kristiani telah diviktimisasi, antara lain, melalui SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, dan yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai surat instruksi dan surat radiogram, yang pada intinya, bagaimana mendiskreditkan dan memojokkan kehidupan beragama/bergereja umat Kristiani."
SKB 1/1969 dikatakan Sahetapy telah memasung kebebasan HAM. Berdasarkan pasal 29 UUD 1945 dan penjelasannya, Sahetapy menyimpulkan, secara legalistik positivistik, maka tidak mungkin kebebasan beragama secara diskriminatif dipasung dengan suatu produk hukum yang tidak dikenal dan tidak berjiwa Pancasila dan serta tidak sesuai dengan Tap MPRS No XX Tahun 1966. SKB Nomor 1 tahun 1969 juga disebut Sahetapy sebagai bentuk "penjajahan terselubung" yang bertentangan dengan makna "kemerdekaan" sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Dari uraian Sahetapy dapat disimpulkan betapa jengkelnya kaum Kristen dengan keberadaan SKB No 1 tahun 1969 tersebut. Bahkan, Sahetapy dengan tegas menyatakan, SKB itu dengan sendirinya batal hukum. Artinya, sesuai pandangan Sahetapy dan berbagai kelompok Kristen lainnya, SKB yang sudah berumur 30 tahun itu dianggap tidak ada oleh kaum Kristen di Indonesia. Apa artinya? Tidak lain, kecuali, kaum Kristen enggan menerima aturan-aturan yang "mengatur" soal pembangunan gereja. Mereka mau jalan sendiri, tanpa aturan, dengan alasan kebebasan dan HAM.
Mungkin, karena menganggap sepi SKB Nomor 1 tahun 1969 itulah, maka persoalan gereja di Indonesia tidak pernah tuntas. Sebab, pihak Kristen menganggap, untuk membangun gereja tidak perlu melalui prosedur izin sesuai SKB Nomor 1 tahun 1969. Sementara pemerintah dan kaum Muslim Indonesia menilai SKB itu adalah peraturan yang sah dan berlaku di negara hukum
Jika logika dan pendapat Sahetapy soal SKB Nomor 1 tahun 1969 tetap dipegang teguh oleh kaum Kristen Indonesia, sementara pihak Muslim dan pemerintah RI tetap berpegang teguh pada SKB Nomor 1 tahun 1969 itu, maka "sudah sewajarnya" jika konflik antara kaum Muslim dan kaum Kristen dalam soal gereja akan terus berlangsung dan tidak pernah berakhir.
Tuntutan pihak Kristen untuk mencabut SKB No 1/1969 dengan alasan HAM sangatlah tidak masuk akal. Di belahan mana pun di dunia ini, masalah pembangunan rumah ibadah pasti mendapat perhatian dan aturan serius. Kaum Muslim juga harus berjuang keras melalui berbagai persyaratan administrasi yang berat, ketika hendak mendirikan masjid di negara-negara Kristen Eropa. Tidak mungkin, dengan alasan HAM dan kebebasan, maka kaum Muslim bebas begitu saja mendirikan masjid. Kaum Muslim di Roma, misalnya, harus berjuang puluhan tahun untuk dapat mendirikan sebuah masjid. Pada dekade 1930, kaum Muslim pernah meminta ijin kepada Mussolini untuk mendirikan Masjid, tetapi dijawab Mussolini: “No! When we can build a Roman Catholic church in
Kini, jika SKB 1/1969 itu dicabut, kita bertanya kepada pihak Kristen, apakah mereka akan dengan seenaknya sendiri mendirikan gereja di mana-mana? Bukankah hal ini akan semakin memperkeruh situasi hubungan antar agama di Indonesia? Inikah yang diinginkan PDS, PGI, dan kelompok-kelompok Kristen lain di Indonesia?
Kaum Muslim Indonesia telah terbukti memberikan sikap toleransi yang tinggi terhadap kehidupan keagamaan kaum Kristen. Ratusan, bahkan ribuan Gereja berdiri di mana-mana, dengan atau tanpa ijin. Kadangkala, Gereja itu sengaja didirikan dengan sangat mencolok di tengah komunitas Muslim. Tengoklah, misalnya, sebuah Gereja yang amat sangat megah dan mewah yang dibangun di depan Komplek Kopassus AD, Cijantung. Di depan Markas Brimob kelapa Dua, sebuah Gereja Megah didirikan. Di tengah penderitaan bangsa
SKB No 1/1969 sebenarnya masih ideal. Seperti usul mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, masalah ini sebaiknya dibicarakan secara terbatas. SKB itu bukan hanya berlaku untuk kaum Kristen, tetapi juga untuk kaum Muslim yang tinggal di daerah mayoritas Kristen seperti NTT, Papua, dan sebagainya. Aturan semacam ini sangat diperlukan untuk mencegah semakin memburuknya hubungan antar-agama, karena sikap agresif sebagian kaum Kristen dalam menyebarkan agamanya terhadap kaum Muslim di Indonesia. Kaum Kristen tidak dilarang membangun Gereja, tetapi perlu dicermati, apakah Gereja itu dibangun untuk keperluan ibadah mereka atau berfungsi sebagai pusat dan alat misi Kristen untuk memurtadkan kaum Muslim.
Sebab, harus diakui, di kalangan kaum Kristen, semangat untuk mengkristenkan orang Islam masih sangat besar. Kita ingat, wawancara pendeta Suradi dengan Majalah GATRA, (20 Maret 2001) yang bersemangat mengatakan, bahwa yang dilakukan kaum Kristen bukanlah “Kristenisasi”, tetapi ''selametisasi'', yaitu membawa berita keselamatan. Maksudnya, supaya orang mendapat berita keselamatan. “Manusia itu mau selamat atau tidak?,” kata Suradi.
Yang sangat bersemangat dalam mengupayakan pencabutan SKB 1/1969 ini tampaknya dari kalangan Protestan. Jika ditelusuri sejarahnya, tokoh Kristen Protestan seperti Martin Luther, memang memiliki pandangan yang sangat buruk terhadap Islam, dan agama lain. Luther misalnya, menyatakan, bahwa Kristus akan datang di Hari Akhir dan menghancurkan semua musuhnya, yaitu kaum Muslim (dia sebut dengan istilah ‘the Turks’), Yahudi, Paus, dan sebagainya. Kata Luther: “We know that Christ will come on the Last Day and will destroy all His enemies: the Turk, the Jews, the pope, the cardinals, the bishops, and whatever ungodly men they are…” (Lihat, Jaroslav Pelikan (ed), Luther’s Works, Vol. 2, Lectures on Genesis Chapters 6-14, (
Hal-hal seperti inilah yang mestinya diselesaikan oleh PGI terlebih dahulu sebelum membicarakan soal SKB 1/1969. Konon, banyak pendeta yang tidak sejalan dengan Suradi dan sejenisnya, namun, belum tampak ada keseriusan PGI dalam mengatasi kelompok-kelompok agresif Kristen yang melakukan serangan terhadap Islam. Jika masalah-masalah ini bisa diatasi, masalah SKB 1/1969 adalah masalah yang lebih kecil, dan masalah hubungan antar-agama dapat didiskusikan dalam situasi dan kondisi yang lebih baik.
Pada sisi lain, dari sudut kaum Muslim, kita patut bersyukur, bahwa kaum Muslim masih cukup peka melihat permasalahan SKB 1/1969. Banyak yang meributkan dan memberikan respon. Sayangnya, kepekaan ini masih sebatas hal-hal yang bersifat superfisial dan tampak di permukaan.
Di masa sekarang, kepekaan pada batas ini masih belum mencukupi, khususnya bagi para cendekiawan dan ulamanya. Kaum Muslim ribut ketika PDS muncul, begitu juga ketika SKB 1/1969 diusik. Tetapi tidak ribut ketika sejumlah lembaga dan tokoh Islam justru mengadopsi metode Kristen dalam studi al-Quran.
Pada 29 November lalu, ada sebuah artikel di Republika berjudul “Pengaruh Metodologi Bible Terhadap Studi Al-Qur'an” yang ditulis oleh Adnin Armas dari ISTAC. Artikel ini menunjukkan, bagaimana sesungguhnya para Orientalis – Yahudi dan Kristen -- seperti Ignaz Goldziher (m. 1921), Theodor Nöldeke (m. 1930), Friedrich Schwally (m. 1919), Edward Sell (m. 1932), Gotthelf Bergsträsser (m.1933), Leone Caentani (m. 1935), Alphonse Mingana (m. 1937), Otto Pretzl (m. 1941), Arthur Jeffery (m. 1959), John Wansbrough (m. 2002) dan muridnya Prof. Andrew Rippin, serta Christoph Luxenberg (nama samaran) dan masih banyak lagi yang lain, membawa pandangan hidup (worldview) mereka ketika mengkaji Islam.
Mereka mengadopsi metodologi Bible ketika mengkaji al-Qur'an. Ironisnya, metode Bible itu justru kini dipeluk dan diajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam.
Menurut Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin Ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, intervensi ilmiah Wansbrough cocok dengan framework yang Ia usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang bagi kaum fundamentalis saat ini tidak terbayangkan. (Mohammed Arkoun, "Contemporay Critical Practices and the Qur'an", di dalam Encyclopaedia of the Qur'an, Editor Jane Dammen McAuliffe,
Padahal John Wansbrough, yang menerapkan analisa Bible, yaitu “form Criticism” dan “redaction criticism” kepada al-Qur'an, menyimpulkan bahwa teks al-Qur'an yang tetap ada baru ada setelah 200 tahun wafatnya Rasulullah saw. Menurut John Wansbrough lagi, riwayat-riwayat mengenai al-Qur'an versi `Uthman adalah sebuah fiksi yang datang kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim supaya asal-muasal al-Qur'an dapat di lacak ke Hijaz (Issa J. Boullata, "Book Reviews: Qur'anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation", The Muslim World 67: 1977).
Contoh lain adalah apa yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur'an. Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Qur'an adalah teks liguisitk-historis-manusiawi. Al-Quran adalah hasil budaya Arab. Popularitas Nasr Hamid di Indonesia saat ini sangat tinggi, dan banyak yang menyebarkan pandangannya.
Bahkan, sejumlah professor dan tokoh organisasi Islam secara terang-terangan menyebarkan pandangan Nasr Hamid.
Padahal, menurut Adnin Armas, adopsi metodologi Bible yang dilakukan sarjana Muslim terhadap al-Qur'an sangat disayangkan. Jika adopsi ini diamini, maka hasilnya fatal sekali. Otentisitas al-Qur'an sebagai kalam Allah akan tergugat. Al-Qur'an akan diperlakukan sama dengan teks-teks yang lain. Ia akan menjadi teks historis, padahal sebenarnya ia adalah Tanzil (trans-historis). Ia jelas berbeda dengan sejarah Bible. Sumbernya juga berbeda. Setting sosial dan budaya juga berbeda. Bahkan Bahasa asli Bible sudah tidak banyak lagi digunakan oleh penganut Kristen. Sangat berbeda dengan kaum Muslimin, yang dari dulu telah, sekarang masih, dan akan datang terus membaca dan menghafal al-Qur'an dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, mengadopsi metodologi Bible terhadap al-Qur'an adalah adopsi dan metodologi yang salah kaprah.
Tantangan dan dampak yang ditimbulkan dari adopsi metode Bible dalam studi Islam, apalagi dilakukan oleh para cendekiawan dan perguruan Islam, jauh lebih besar dibandingkan dengan masalah SKB 1/1969. Tetapi, hingga kini, kita patut bertanya, seberapa besar perhatian kaum Muslim terhadap tantangan serius yang sudah menghunjam jauh ke jantung umat Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar