MAGNUM Corp Berhad, dipercaya menandatangani persetujuan dengan satu kelompok bisnis
Berita singkat ini mengingatkan kembali tentang kasus perjudian di
Namun, semua itu berlalu begitu saja. Tidak mudah dihentikan. Berbagai kalangan masyarakat yang aktif dalam amar ma’ruf nahi munkar pun kelihatannya sudah mengalami penurunan stamina. Apalagi, ketika Front Pembela Islam (FPI) yang pernah muncul sebagai symbol perlawanan terhadap kemaksiatan, sudah dibekukan dan pemimpinnya dijebloskan ke penjara, maka kegamangan mulai muncul di tengah masyarakat Muslim. Dakwah jalan terus. Televisi setiap pagi menyiarkan acara-acara dakwah. Majelis-majelis taklim dibanjiri kaum ibu.
Mengapa kemaksiatan juga terus merajalela? Pornografi, minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, perzinahan, dan sebagainya, terus merangsek dan menggoyang-goyang asas-asas nilai akhlak masyarakat.
Tidak mudah untuk melawan hal itu semua. Hampir seluruh dunia Islam, kini menghadapi problema yang sama. Apalagi
Dalam beberapa bulan terakhir, kita menyaksikan satu persatu benteng pertahanan umat Islam telah jebol. Di bidang moralitas, kasus Inul menjadi simbol penting kalahnya pertahanan moral. Berbagai protes masyarakat terhadap pornografi di televisi dan media
Kita ingat kasus SDSB. Singkatan dari “Sumbangan Dana Sosial Berhadiah”. Namanya indah. Perjuangan menghapuskan SDSB membutuhkan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Para ulama, DPR, mahasiswa, juga media
Iklim politik juga mendukung. Orde Baru sedang mengambil kebijakan mengambil hati umat Islam. Akhirnya pada 25 November 1993, demontsrasi mahasiswa di DPR berhasil mengakhiri eksistensi SDSB.
Tekanan-tekanan yang begitu hebat akhirnya memaksa Soeharto mencabut ijin SDSB yang merupakan kelanjutan dari system tebak-tebakan dalam olah raga bernama Porkas. Penyelenggaranya sama, yaitu Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS). Yayasan ini tampil dengan wajah dermawan. Setiap tahun, milyaran rupiah dikucurkan untuk proyek kemanusiaan dan keagamaan. Departemen Sosial saja, untuk pembinaan Olah Raga dan sosial, menerima sumbangan sekitar Rp 125 milyar per tahun. YDBKS dimana-mana aktif berkampanye bahwa SDSB bukan judi.
Seorang ulama yang sempat “berfatwa” bahwa Porkas bukan judi adalah (alm) Prof. KH Ibrahim Hosen. Namun, ketika itu para ulama dari berbagai organisasi Islam menentang pendapat Ibrahim Hosen, dan menyatakan Porkas adalah judi. Yang sangat aktif menentang Porkas dan SDSB ketika itu adalah Badan Kerjasama Pondok Pesantren Jawa Barat, yang dikomandani oleh (alm) KH Sholeh Iskandar. Saya ingat, dalam berbagai kesempatan, KH Sholeh Iskandar selalu mengingatkan pemerintah akan bahasa Porkas dan SDSB yang merusak moral masyarakat, sampai ke pelosok-pelosok desa.
Entah bagaimana respon KH Sholeh Iskandar jika beliau sekarang masih hidup dan menyaksikan fenomena kerusakan moral di zaman ini. Itulah nasib Porkas dan SDSB. Upaya untuk menghidupkannya kembali beberapa kali dilakukan, tetapi hingga kini belum berhasil. Sejauh mana upaya kelompok Magnum dan partnernya untuk melakukan terobosan di
Dengan adanya lokalisasi judi, maka negara juga mendapatkan cukai atau pajak, secara resmi. Seorang yang mempunyai pemikiran seperti ini pernah menyebutkan kepada saya, bahwa sekarang setoran pajak judi illegal di satu propinsi bisa mencapai Rp 2 milyar sebulan. Jadi, kalau judi dilegalkan, tetapi dibuat seperti di
Gagasan lokalisasi judi perlu dicermati secara serius. Ini tidak beda dengan gagasan lokalisasi pelacuran, lokalisasi minuman keras, dan sebagainya. Di Malaysia, warga Cina mencapai sekitar 30 persen. Konon merekalah yang membutuhkan judi, karena judi merupakan bagian dari budaya mereka. Namun, hal ini dibantah keras oleh banyak kalangan Cina sendiri. Di Malaysia, proyek Genting Hingland juga terus mendapatkan kritikan dari kalangan Muslim dan parti-parti pembangkang (oposisi).
Terlepas dari pro-kontra soal ini di
Kondisi birokrasi dan penegakan hukum di
Pelacur di proyek-proyek lokalisasi terus bertambah, tetapi pelacur jalanan juga menjamur. Miras di tempat-tempat khusus tertentu tersedia, tetapi miras di jalanan pun terus terpampang.
Berita di The Star tentang adanya perjanjian Magnum dengan satu perusahaan local
Jangan-jangan akan ada pendapat yang muncul, bahwa larangan perjudian dalam al-Quran itu bersifat kontekstual. Artinya, larangan itu hanya berlaku untuk masyarakat Arab gurun yang miskin. Sebab, sebelumnya, sudah ada pendapat, larangan perkawinan antara Muslimah dengan non-Muslim hanya berlaku untuk kaum musyrik Arab waktu itu. Jika tarian erotis Inul bisa dicarikan dalilnya, mengapa tebakan berhadiah tidak dapat dicarikan dalilnya? Jangan-jangan, akan ada tokoh atau pemikir yang menggunakan dalil “syadzud dzariiah-’, yaitu bahwa lokalisasi judi atau penyelenggaran semacam tebakan berhadiah, lebih kecil mudharatnya dibandingkan dengan membiarkan merebaknya perjudian liar.
Semoga tidak ada tokoh atau pemikir agama yang berani melegalisasi perjudian di
Itu bisa dilihat, misalnya, pada sebuah artikel yang muncul di halaman opini Koran Republika, Jumat (14 November 2003) yang berjudul “Menimbang Islam Humanis”. Penulisnya, seorang yang membawa nama lembaga Islam, yaitu The International Institute of Islamic Thought (III-T)
Ditulis dalam artikel tersebut, bahwa “Pemahaman agama secara rasional menjadi kebutuhan sejarah (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama mesti ditafsirkan secara rasional, menurut ukuran kemaslahatan dan konteksnya.”
Sebenarnya tidak terlalu jelas maksud dari pernyataan penulis dari lembaga Islam internasional ini. Greg Barton, dalam desertasinya tentang Islam Liberal di Indonesia, menyebutkan, bahwa salah satu program liberalisasi Islam, adalah “kontekstualisasi ijtihad”.
Kita bisa bertanya, bagaimanakah cara menafsirkan Syariat secara rasional, menurut ukuran kemaslahatan dan konteksnya? Bagaimana misalnya, cara mengukur kemaslahatan secara rasional: wajibnya salat lima waktu; wajibnya wudhu; batalnya wudhu karena kentut, mengapa puasa Ramadhan mulai terbit fajar sampai maghrib; mengapa zakat fitrah hanya 2,5 kg beras; mengapa judi diharamkan; mengapa khamr diharamkan; mengapa babi diharamkan, padahal secara rasional, peternakan bagi sangat menguntungkan; mengapa korban mesti memotong binatang jantan, dan bukan berita? Secara rasional, apa bedanya daging hewan jantan dengan betina?
Pemikir-pemikir baru seperti al-Jabiri telah banyak menuai kritik dari para cendekiawan Muslim. Tapi, kini banyak penulis yang hanya mengutip pendapat al-Jabiri, tanpa kritis. Teori Maqashid-nya al-Syathibi pun kini banyak diputar balikkan, seolah-olah al-Syathibi meninggalkan nash dan mendahulukan maslahat aqliyah untuk kemaslahatan manusia. Sebab, para ulama telah paham masalah ini. Mereka berpikir, dimana ada syariat di situ ada maslahat untuk manusia. Kadang, maslahat itu bisa dijangkau akal, bisa diketahui dalam waktu yang dekat, kadang masalahat itu tidak dapat diketahui oleh manusia. Dalam Kitabnya, al-Muwafaqat, al-Syathibi menyatakan, bahwa sesuatu yang baik tidak dapat berubah menjadi buruk; atau sesuatu yang buruk juga tidak dapat berubah menjadi baik. Misalnya, membuka aurat yang sebelumnya buruk, kemudian menjadi baik, dan sebab itu boleh dilakukan. Itu tidak dapat terjadi.
Itulah pendapat al-Syatibi. Di mana kita mau merasionalkan dan mengkontekskan masalah aurat ini? Apakah karena musim panas, lalu boleh memakai bikini di tempat umum? Apakah karena di kolam renang, wanita boleh memakai pakaian renang di tempat umum? Mengapa aurat wanita mesti hanya boleh kelihatan muka dan telapak tangan?
Kita mengimbau, sebaiknya para pemikir atau yang mau dikenal sebagai pemikir Muslim lebih berhati-hati dalam menyebarkan pendapatnya. Jika belum memahami Islam dengan baik, belum membaca karya-karya besar para ulama kita, tidak perlu merasa lebih hebat dari mereka. Kita perlu memahami karya-karya Imam Syafii, Malik, Hanafi, al-Ghazali, dan lain-lain dengan baik, sebelum berani berbeda pendapat dengan mereka, sehingga tidak gampang menyatakan: Islam mesti begini, mesti begitu. Syariat Islam mesti begini, mesti begitu, seolah-olah para ulama kita tidak pernah membahas tentang masalah ini. Berijtihad memerlukan tanggung jawab yang besar, di dunia dan akhirat. Tidak semestinya, seorang yang belum “kelasnya” sudah bersikap sebagai “mujtahid”, yang akhirnya berujung kepada kekeliruan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar