Jumat, 16 Januari 2009

Menunggu Legalisasi Judi di Indonesia?

MAGNUM Corp Berhad, dipercaya menandatangani persetujuan dengan satu kelompok bisnis Indonesia untuk menyelenggarakan suatu program tebak nomor berhadiah. SDSB akan dilegalkan kembali? CAP Adian Husaini Ke-31 Harian The Star yang terbit di Kuala Lumpur edisi 7 November 2003 menurunkan satu berita berjudul “Magnum in Indon deal?”. Disebutkan, MAGNUM Corp Berhad, dipercaya telah menandatangani satu persetujuan dengan satu kelompok bisnis Indonesia untuk menyelenggarakan suatu program tebak nomor (numbers forecast operations/NFO) di Indonesia. Mengutip sumber-sumber yang dekat dengan Magnum, Koran ini menulis, dengan adanya perjanjian itu, maka Magnum akan bisa beroperasi di negara nomor 4 terbesar penduduknya, suatu ketika nanti jika perjudian sudah dilegalkan.

Indonesia kini berpenduduk 234,9 juta, dimana 65% nya berumur 15 - 64 tahun. “There is a large non-Muslim sector that gaming companies can tap on,” tulis the Star. Magnum sedang mencoba mengembangkan keahliannya dalam soal tebak nomor di Malaysia untuk diperluaskan di kawasan Asia Tenggara ini. Tahun 2002, Magnum mengalami penurunan keuntungan dari RM 2,96 (sekitar Rp 6 trilyun) pada tahun 1995 menjadi RM 2,4 milyar (sekitar Rp 5 trilyun) tahun 2002. Seorang analis menyatakan, akan baik bagi Indonesia jika menerima tawaran Magnum untuk menyelenggarakan semacam program tebak nomor.

Berita singkat ini mengingatkan kembali tentang kasus perjudian di Indonesia. Meskipun secara legal dilarang perjudian di Indonesia diyakini masih banyak berlangsung. Di Jakarta saja, begitu banyak laporan media massa yang menyebutkan merebaknya praktik perjudian illegal atau semi-legal. Di media massa iklan-iklan perjudian illegal juga banyak ditemui.

Namun, semua itu berlalu begitu saja. Tidak mudah dihentikan. Berbagai kalangan masyarakat yang aktif dalam amar ma’ruf nahi munkar pun kelihatannya sudah mengalami penurunan stamina. Apalagi, ketika Front Pembela Islam (FPI) yang pernah muncul sebagai symbol perlawanan terhadap kemaksiatan, sudah dibekukan dan pemimpinnya dijebloskan ke penjara, maka kegamangan mulai muncul di tengah masyarakat Muslim. Dakwah jalan terus. Televisi setiap pagi menyiarkan acara-acara dakwah. Majelis-majelis taklim dibanjiri kaum ibu.

Mengapa kemaksiatan juga terus merajalela? Pornografi, minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, perzinahan, dan sebagainya, terus merangsek dan menggoyang-goyang asas-asas nilai akhlak masyarakat.

Tidak mudah untuk melawan hal itu semua. Hampir seluruh dunia Islam, kini menghadapi problema yang sama. Apalagi Indonesia yang sedang dilanda arus besar liberalisasi dan sekularisasi. Mengapa masalah perjudian ini perlu kita perhatikan?

Dalam beberapa bulan terakhir, kita menyaksikan satu persatu benteng pertahanan umat Islam telah jebol. Di bidang moralitas, kasus Inul menjadi simbol penting kalahnya pertahanan moral. Berbagai protes masyarakat terhadap pornografi di televisi dan media massa, tidak mendapat tanggapan yang layak. TV jalan terus dengan berbagai acara yang menggoncang sendi-sendi moral bangsa. Atas nama seni, atas nama hiburan, semua boleh jalan. Bagaimana dengan judi?

Kita ingat kasus SDSB. Singkatan dari “Sumbangan Dana Sosial Berhadiah”. Namanya indah. Perjuangan menghapuskan SDSB membutuhkan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Para ulama, DPR, mahasiswa, juga media massa, ketika itu aktif menentang SDSB.

Iklim politik juga mendukung. Orde Baru sedang mengambil kebijakan mengambil hati umat Islam. Akhirnya pada 25 November 1993, demontsrasi mahasiswa di DPR berhasil mengakhiri eksistensi SDSB.

Tekanan-tekanan yang begitu hebat akhirnya memaksa Soeharto mencabut ijin SDSB yang merupakan kelanjutan dari system tebak-tebakan dalam olah raga bernama Porkas. Penyelenggaranya sama, yaitu Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS). Yayasan ini tampil dengan wajah dermawan. Setiap tahun, milyaran rupiah dikucurkan untuk proyek kemanusiaan dan keagamaan. Departemen Sosial saja, untuk pembinaan Olah Raga dan sosial, menerima sumbangan sekitar Rp 125 milyar per tahun. YDBKS dimana-mana aktif berkampanye bahwa SDSB bukan judi.

Seorang ulama yang sempat “berfatwa” bahwa Porkas bukan judi adalah (alm) Prof. KH Ibrahim Hosen. Namun, ketika itu para ulama dari berbagai organisasi Islam menentang pendapat Ibrahim Hosen, dan menyatakan Porkas adalah judi. Yang sangat aktif menentang Porkas dan SDSB ketika itu adalah Badan Kerjasama Pondok Pesantren Jawa Barat, yang dikomandani oleh (alm) KH Sholeh Iskandar. Saya ingat, dalam berbagai kesempatan, KH Sholeh Iskandar selalu mengingatkan pemerintah akan bahasa Porkas dan SDSB yang merusak moral masyarakat, sampai ke pelosok-pelosok desa.

Entah bagaimana respon KH Sholeh Iskandar jika beliau sekarang masih hidup dan menyaksikan fenomena kerusakan moral di zaman ini. Itulah nasib Porkas dan SDSB. Upaya untuk menghidupkannya kembali beberapa kali dilakukan, tetapi hingga kini belum berhasil. Sejauh mana upaya kelompok Magnum dan partnernya untuk melakukan terobosan di Indonesia, kita tunggu dan kita cermati bersama. Gagasan untuk melakukan lokalisasi judi masih terus dilakukan. Beberapa tim sudah dikirim ke Malaysia untuk mempelajari masalah perjudian di Genting Highland, Malaysia. Kalangan yang pro-lokalisasi judi, seperti di Genting Highland berpendapat, bahwa Malaysia bisa bersih dari perjudian di tempat-tempat lain, karena adanya proyek lokalisasi judi di Genting Highland, yang dikhususkan untuk warga non-Muslim. Orang Islam dilarang ikut berjudi di situ.

Dengan adanya lokalisasi judi, maka negara juga mendapatkan cukai atau pajak, secara resmi. Seorang yang mempunyai pemikiran seperti ini pernah menyebutkan kepada saya, bahwa sekarang setoran pajak judi illegal di satu propinsi bisa mencapai Rp 2 milyar sebulan. Jadi, kalau judi dilegalkan, tetapi dibuat seperti di Malaysia, yaitu hanya untuk warga non-Muslim atau lebih khusus lagi warga non-pri Cina, maka pajak-pajak itu akan masuk ke kas negara. Dari pada pajak itu diambil oleh oknum-oknum tertentu secara tidak resmi. Orang ini berharap, agar tokoh-tokoh Islam tidak menentang rencana proyek lokalisasi judi, karena, kata dia, itu akan berdampak baik bagi umat Islam sendiri.

Gagasan lokalisasi judi perlu dicermati secara serius. Ini tidak beda dengan gagasan lokalisasi pelacuran, lokalisasi minuman keras, dan sebagainya. Di Malaysia, warga Cina mencapai sekitar 30 persen. Konon merekalah yang membutuhkan judi, karena judi merupakan bagian dari budaya mereka. Namun, hal ini dibantah keras oleh banyak kalangan Cina sendiri. Di Malaysia, proyek Genting Hingland juga terus mendapatkan kritikan dari kalangan Muslim dan parti-parti pembangkang (oposisi).

Terlepas dari pro-kontra soal ini di Malaysia. Kondisi Indonesia tidak bisa disamakan dengan Malaysia. Jika mau mengambil kasus perjudian di Malaysia, mestinya juga dipelajari berbagai aspek lain di sini, seperti realitas birokrasi, penegakan hukum, tingkat kesejahteraan, dan juga penerapan hukum-hukum Islam untuk warga Muslim. Jika orang non-Muslim diberi kesempatan berjudi, maka warga Muslim di sini mendapatkan banyak konsesi hukum dan ekonomi, serta politik. Apakah Indonesia siap melakukan hal itu? Hukum khalwat ditegakkan untuk Muslim. Pribumi mendapatkan 60 persen jatah proyek negara. Dan kekuasaan negara bertugas melindungi akidah umat Islam. Jadi, studi banding untuk proyek lokalisasi judi, mestinya juga dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang komprehensif.

Kondisi birokrasi dan penegakan hukum di Indonesia juga perlu dilihat dengan objektif. Gagasan lokalisasi pelacuran, minuman keras, bahkan lokalisasi korupsi, terbukti telah gagal. Lokalisasi berjalan, tetapi justru itu menjadi bentuk legitimasi baru untuk melebarkan berbagai jenis kemaksiatan tersebut.

Pelacur di proyek-proyek lokalisasi terus bertambah, tetapi pelacur jalanan juga menjamur. Miras di tempat-tempat khusus tertentu tersedia, tetapi miras di jalanan pun terus terpampang.

Berita di The Star tentang adanya perjanjian Magnum dengan satu perusahaan local Indonesia perlu dicermati oleh kaum Muslim di Indonesia. Sekedar menduga, barangkali, saat ini sedang dilakukan satu rancangan serius untuk menggolkan proyek tersebut. Bisa jadi, proyek ini bekerjasama dengan satu dua tokoh atau pemikir agama, atau kekuatan politik tertentu. Maka, yang akan dimunculkan pertama kali, adalah kampanye melalui media massa, tentang perlunya NFO atau gagasan semacam Undian Berhadiah itu dihidupkan lagi, untuk menghimpun dana bantuan social. Untuk itu, akan diupayakan adanya justifikasi dari sebagian tokoh atau pemikir agama, bahwa hal itu bukan judi.

Jangan-jangan akan ada pendapat yang muncul, bahwa larangan perjudian dalam al-Quran itu bersifat kontekstual. Artinya, larangan itu hanya berlaku untuk masyarakat Arab gurun yang miskin. Sebab, sebelumnya, sudah ada pendapat, larangan perkawinan antara Muslimah dengan non-Muslim hanya berlaku untuk kaum musyrik Arab waktu itu. Jika tarian erotis Inul bisa dicarikan dalilnya, mengapa tebakan berhadiah tidak dapat dicarikan dalilnya? Jangan-jangan, akan ada tokoh atau pemikir yang menggunakan dalil “syadzud dzariiah-’, yaitu bahwa lokalisasi judi atau penyelenggaran semacam tebakan berhadiah, lebih kecil mudharatnya dibandingkan dengan membiarkan merebaknya perjudian liar.

Semoga tidak ada tokoh atau pemikir agama yang berani melegalisasi perjudian di Indonesia. Kalangan media massa dan umat Muslim di Indonesia perlu menyadari benar, pemikiran liberalisasi Islam, yang mengedepankan gagasan “rasionalitas dalam syariah Islam” dapat berujung pada bola liar yang sulit dikendalikan lagi, menuju kepada penghancuran Islam.

Itu bisa dilihat, misalnya, pada sebuah artikel yang muncul di halaman opini Koran Republika, Jumat (14 November 2003) yang berjudul “Menimbang Islam Humanis”. Penulisnya, seorang yang membawa nama lembaga Islam, yaitu The International Institute of Islamic Thought (III-T) Indonesia.

Ditulis dalam artikel tersebut, bahwa “Pemahaman agama secara rasional menjadi kebutuhan sejarah (historical necessity) bagi upaya humanisasi agama. Syariat, yang sering diposisikan sebagai domain wacana agama mesti ditafsirkan secara rasional, menurut ukuran kemaslahatan dan konteksnya.”

Sebenarnya tidak terlalu jelas maksud dari pernyataan penulis dari lembaga Islam internasional ini. Greg Barton, dalam desertasinya tentang Islam Liberal di Indonesia, menyebutkan, bahwa salah satu program liberalisasi Islam, adalah “kontekstualisasi ijtihad”.

Kita bisa bertanya, bagaimanakah cara menafsirkan Syariat secara rasional, menurut ukuran kemaslahatan dan konteksnya? Bagaimana misalnya, cara mengukur kemaslahatan secara rasional: wajibnya salat lima waktu; wajibnya wudhu; batalnya wudhu karena kentut, mengapa puasa Ramadhan mulai terbit fajar sampai maghrib; mengapa zakat fitrah hanya 2,5 kg beras; mengapa judi diharamkan; mengapa khamr diharamkan; mengapa babi diharamkan, padahal secara rasional, peternakan bagi sangat menguntungkan; mengapa korban mesti memotong binatang jantan, dan bukan berita? Secara rasional, apa bedanya daging hewan jantan dengan betina?

Ada banyak sekali syariat Islam yang tidak dapat dijelaskan secara rasional, mengapa hal itu harus dikerjakan oleh manusia. Kalau Allah memerintahkan haji, maka laksanakanlah haji, sesuai tata cara yang ditentukan oleh Rasulullah saw. Tidak perlu dirasionalkan. Mengapa ketika thawaf, Ka’bah mesti berada di sisi kiri kita. Para ulama Islam telah habis-habisan membahas syariat ini. Mereka tahu diri akan kemampuan ilmu mereka dalam soal hokum syariat Islam, dan tidak sembarangan bicara syariah tanpa merujuk kepada para imam yang mereka akui otoritas keilmuannya. Imam al-Ghazali, yang telah menulis ratusan Kitab, dan dikenal sebagai hujjatul Islam, tetap mengakui sebagai pengikut Imam Syafii dalam soal syariat Islam.

Pemikir-pemikir baru seperti al-Jabiri telah banyak menuai kritik dari para cendekiawan Muslim. Tapi, kini banyak penulis yang hanya mengutip pendapat al-Jabiri, tanpa kritis. Teori Maqashid-nya al-Syathibi pun kini banyak diputar balikkan, seolah-olah al-Syathibi meninggalkan nash dan mendahulukan maslahat aqliyah untuk kemaslahatan manusia. Sebab, para ulama telah paham masalah ini. Mereka berpikir, dimana ada syariat di situ ada maslahat untuk manusia. Kadang, maslahat itu bisa dijangkau akal, bisa diketahui dalam waktu yang dekat, kadang masalahat itu tidak dapat diketahui oleh manusia. Dalam Kitabnya, al-Muwafaqat, al-Syathibi menyatakan, bahwa sesuatu yang baik tidak dapat berubah menjadi buruk; atau sesuatu yang buruk juga tidak dapat berubah menjadi baik. Misalnya, membuka aurat yang sebelumnya buruk, kemudian menjadi baik, dan sebab itu boleh dilakukan. Itu tidak dapat terjadi.

Itulah pendapat al-Syatibi. Di mana kita mau merasionalkan dan mengkontekskan masalah aurat ini? Apakah karena musim panas, lalu boleh memakai bikini di tempat umum? Apakah karena di kolam renang, wanita boleh memakai pakaian renang di tempat umum? Mengapa aurat wanita mesti hanya boleh kelihatan muka dan telapak tangan?

Kita mengimbau, sebaiknya para pemikir atau yang mau dikenal sebagai pemikir Muslim lebih berhati-hati dalam menyebarkan pendapatnya. Jika belum memahami Islam dengan baik, belum membaca karya-karya besar para ulama kita, tidak perlu merasa lebih hebat dari mereka. Kita perlu memahami karya-karya Imam Syafii, Malik, Hanafi, al-Ghazali, dan lain-lain dengan baik, sebelum berani berbeda pendapat dengan mereka, sehingga tidak gampang menyatakan: Islam mesti begini, mesti begitu. Syariat Islam mesti begini, mesti begitu, seolah-olah para ulama kita tidak pernah membahas tentang masalah ini. Berijtihad memerlukan tanggung jawab yang besar, di dunia dan akhirat. Tidak semestinya, seorang yang belum “kelasnya” sudah bersikap sebagai “mujtahid”, yang akhirnya berujung kepada kekeliruan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: