Jumat, 16 Januari 2009

ENGKAU TAK TAHU…DAN ENGKAU TAK TAHU DIRI…!!!

Engkau tahu.., bahwa dunia ini fana.., tapi engkau masih tetap mengejarnya...

Engkau tahu.., bahwa menuju akhirat adalah perjalanan yang panjang.., tapi engkau tidak mempersiapkan bekal…

Engkau tahu.., bahwa neraka itu benar-benar ada.., tapi engkau tidak berusaha untuk menjauhinya…

Engkau tahu.., bahwa surga itu mahal harganya.., tapi engkau beramal asal-asalan dan malas-malasan…

Engkau tahu.., bahwa 'adzab Alloh itu sangat pedih.., tapi engkau masih saja berbuat dosa…

Engkau tahu.., bahwa Alloh Mahamengabulkan do'a.., tapi engkau masih meminta kepada manusia…

Engkau tahu.., bahwa Alloh Maha Adil.., tapi engkau membalas kedholiman manusia...

Engkau tahu.., bahwa harta itu bisa membuat hisabmu di akhirat nanti menjadi lama.., tapi engkau mengumpulkannya…

Engkau tahu.., bahwa waktu adalah nafas yang tiada dapat kembali.., tapi engkau berbuat sia-sia…

Engkau tahu.., bahwa Al Qur'an itu kelak bisa menjadi hujjah bagimu (membelamu) dan bisa menjadi hujjah atasmu (mendebatmu).., tapi engkau tidak mencemaskan akan hal itu…

Engkau tahu.., bahwa do'a orang-orang yang terdholimi itu tanpa hijab dengan Alloh.., tapi engkau suka menyakiti saudaramu.

Engkau tahu.., bahwa kenikmatan dunia bisa menjadi istidroj, tapi engkau tidak khawatir tentangnya…

Engkau tahu.., bahwa penyakit itu menghapus dosa-dosa.., tapi engkau membencinya…

Engkau tahu.., bahwa cobaan itu untuk meningkatkan iman.., tapi engkau mengeluh tentangnya…

Engkau tahu.., bahwa istri atau suami adalah manusia.., tapi engkau menuntutnya sempurna…

Engkau tahu.., bahwa syetan itu musuh yang ingin mengajakku ke neraka.., tapi engkau menuruti bisikannya…

Engkau tahu.., bahwa ajal itu datangnya secara tiba-tiba.., tapi engkau selalu menunda persiapan…

Engkau tak tahu.., kalau engkau tak tahu diri…

HUKUM MENJUAL BONEKA

بسم الله الرحمن الرحيم

Soal : apakah boleh seorang muslim menjual patung dan menjadikannya sebagai dagangan yang menjadi sumber kehidupannya ?

Jawab : orang muslim tidak boleh menjual patung dan memperdagangkannya berdasarkan hadits-hadits shohih yang melarang menggambar makhluk hidup, membuat serta menyimpan patung secara mutlak. Dan tidak diragukan lagi bahwa memperdagangkannya itu mengandung unsur menyebarkannya dan membantu terhadap penggambarannya dan memanjangnya di rumah-rumah, dikampung dan lain-lain.

Oleh karena itu haram menjadikannya mata pencaharian, baik membuatnya maupun memperjualkannya adalah haram. Orang Islam tidak boleh hidup dari patung tesebut untuk makan atau yang lainnya dan jika itu telah terjadi, dia harus membebaskan diri darinya dan bertaubat kepada Allah, mudah-mudahan Allah mengampuninya.

Allah berfirman :

وإني لغفّار لمن تاب وآمن وعمل صالحا ثمّ اهتدى { طـــــه : 82 }

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat dan beriman serta beramal shalih. Kemudian tetap dijalan yang benar “

( Thaha : 82 )

وبالله التوفيق وصلى الله على نبيّنا محمد وآله وصحبه وسلّم

Ketua Wakil Ketua

Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz Abdurrozaq ‘Afifi

Anggota :

- Abdullah bin Ghadyan

- Abdullah bin Qu’ud

الحمد لله ربّ العـــــالمين

HUKUM SHOLAT SUNNAH SETELAH ADZAN MAGHRIB

Syiakhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang masalah hukum sholat setelah adzan maghrib. Lalu beliau menjawab :

Adalah Bilal, sebagaimana perintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk) memberikan jeda waktu antara andzan dan iqomat, sehingga (orang-orang) dapat melakukan sholat dua roka’at. Adalah para shahabat sholat dua rokaat setelah adzat sebelum iqomah (maghrib), Nabi menyaksikan dan membiarkan mereka (melakukan sholat dua roka’at). Kemudian beliau bersabda :

بَيْنَ كُلُّ آذَيْنِ صَلَاةٌ, بَيْنَ كُلُّ آذَيْنِ صَلَاةٌ, بَيْنَ كُلُّ آذَيْنِ صَلَاةٌ لِمَنْ شَاءَ.[1]

Artinya : “Antara adzan dan iqomat itu ada sholat, antara adzan dan iqomat itu ada sholat, antara adzan dan iqomat itu ada sholat bagi yang mau mengerjakannya”.

(Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menambahkan bagi yang mau mengerjakananya) karena takut itu dijadikan sunnah.

Apabila seorang muadzin memberikan jeda waktu untuk melakukan sholat antara adzan dan iqomat, maka sholat pada waktu itu adalah hasanah (perbuatan yang baik), (tapi) jika muadzin langsung mengumandangkan iqomat, maka bersegera melakukan sholat itu merupakan sunnah, karena Nabi bersabda :

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنُ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ

Artinya : “Jika kalian mendengar orang yang adzan, maka ucapkanlah seperti yang dilafadzkan oleh muadzin”.

Tidak seyogyanya seseorang meninggalkan seruan muadzin sementara ia sholat dua rokaat, karena sunnahnya bagi orang yang mendengarkan adzan adalah mengucapkan seperti yang dilafadzkan muadzin, kemudian bersholawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu mengucapkan do’a :

اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّآمَّةِ …… sampai akhir. Kemudian setelah itu berdo’a.[2]


[1] . Disebutkan dalam Kitab Hadits Mukhtshor Shohihul Bukhori : hal : 121. No. Hadits : 361. Hadits dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam Sholatul Mushafirin Wa Qoshriha. Bab : Baina Adzaini Sholat. No. 838

[2] . Diambil Dari Kitab Al Fatawa Al Kubra. Karangan Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah : 2/260-261

Membandingkan Kemurnian Al-Qur'an dan Al-Kitab

al-islahonline.com : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang ditu-runkan sebelumnya) dan “Batu Ujian” terhadap kitab-kitab yang lain itu.” ( QS: 5:48 ) Arti batu ujian dalam ayat diatas adalah se-bagai penentu hukum atas kitab-2 sebelumnya. Maknanya, tidak boleh membenarkan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab terdahulu sebelum di-benarkan oleh Al-qur’an. Batu uji Al-qur’an terhadap Alkitab (bibel).Melalui batu uji Al-qur’an, Al-kitab (bibel) itu terbagi dalam 3 kriteria, antara lain:

  1. Ayat-ayat yang masih dianggap benar, yaitu ayat-ayat yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan hadist nabi ,ayat-ayat tersebut tidak boleh ditolak. Tetapi harus diakui sebagai satu kebenaran yang belum mengalami penyelewengan.
  2. Ayat-ayat yang tidak benar, yaitu yang bertentangan dengan Al-qur’an dan hadist nabi, ayat itu harus ditolak.
  3. Ayat-ayat yang tidak diketahui kebenaran dan kesalahannya berdasarkan Al-qur’an dan hadist nabi, harus kita sikapi sesuai hadist berikut: “Apabila ada ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) berbicara kepada kalian, janganlah kalian membe-narkan ahli kitab tersebut dan jangan pula kalian mendustakannya, melainkan katakanlah:”Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami (Al-qur’an) dan kami juga beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kami (Taurat dan Injil). Apabila yang dikatakannya benar, janganlah kalian mendustakannya dan apabila yang dikatakannya itu batil (bohong) janganlah kalian membenarkannya. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Turmudzi)

Kemurnian Al-qur’an dijamin Allah sepanjang masa. Sebagai “batu uji” terhadap kitab-kitab sebelumnya yang sudah mengalami tahrif, keaslian Al-qur’an dijamin langsung oleh Allah. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-qur’an dan sesungguhnya kami pula yg akan menjaganya” (QS. 15: 9) Jaminan Allah itu terbukti dgn keaslian Al-qur’an yg tdk pernah mengalami perubahan di se-luruh dunia, semua teks Al-qur’an dlm bahasa arab tdk ada yg berbeda sedikitpun, baik huruf, ayat dan susunannya. Faktor pendukung yg me-nyebabkan keotentikan Al-qur’an selalu terjamin:

  1. Al-qur’an mudah dihafal, sehingga banyak orang hafal Al-qur’an diluar kepala, sedangkan Al-kitab (bibel) sampai saat ini tdak ada orang yang menghafalnya. Bahkan Paus, pastur dan pendeta seluruh duniapun tak ada yang hafal dengan kitab sucinya.
  2. Banyak penghafal Al-qur’an tersebar di seluruh dunia dengan sendirinya mereka menjadi penjaga keaslian Al-qur’an. Setiap kejanggalan dan perubahan yang terjadi pasti diketahui oleh penghafal Al-qur’an.
  3. Dgn berbagai cara umat Islam selalu menjaga keaslian Al-qur’an dengan baik, sebab baca-an Al-qur’an dijaga dgn kaidah

hidup selain Fathimah yang wafat enam bulan setelah Rasulullah SAW wafat. Adapun makna firman-Nya, (Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) ; apa yang diberitakan-Nya, maka itu adalah haq (benar), apa yang diputuskan-Nya maka itu adalah ‘adil dan apa yang disyari’atkan-Nya, maka itu adalah kebaikan. Maka serahkan kepada Allah segala putusan hukum sebab itu akan lebih baik dan bermanfa’at (Lihat: tafsir Aysar at-Tafaasiir karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairy terhadap ayat tersebut)

Perintah Ittiba dan Larangan Taqlid

Telah masyhur di kalangan kita bahwa sebagian besar manusia dalam menjalankan agamanya hanya mengikuti apa-apa yang di ajarkan oleh Kyai-kyainya, atau Ustadznya tanpa mengikuti dalil-dalil yang jelas dari agama ini. Mengikuti di sini yang dimaksudkan adalah mengikuti tanpa dasar ilmu. Mereka hanya manut saja apa kata Sang Kyai atau Sang Ustadz, seolah apa yang mereka katakan pasti benar. Di sini kita melihat kebenaran hanya diukur oleh ucapan-ucapan kyai/ustadz tersebut tanpa melakukan pengecekan terhadap dasar ucapan mereka. Mereka tidak mengecek apakah sumbernya dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, atau hanya bersumber dari hadits-hadits yang lemah, atau lebih fatal lagi bila bersumber dari hadits yang palsu. Inilah sesungguhnya Hakekat dari Taklid.

Ingatlah wahai saudaraku kaum muslimin .. bahwasannya kebenaran atau al haq itu bukan berdasarkan banyaknya pengikut atau status sosial orang yang mengucapkan, karena kebenaran akan tetap merupakan kebenaran meskipun hanya sedikit yang mengikutinya. Dan yang namanya kebatilan merupakan kebatilan sekalipun seluruh manusia mengikutinya. Dan kebiasaan mengekor tanpa ilmu ini jelas-jelas merupakan suatu hal yang sangat tercela. Bahkan Alloh mengharamkan untuk mengikuti sesuatu yang kita tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran " Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya ." (QS. Al-Israa : 36). Dan juga perkataan Imam Bukhori " Bahwa ilmu itu sebelum ucapan dan perbuatan ." Dampak yang nyata terhadap hal ini ialah semakin jauhnya para muqolid (orang-orang yang taklid) ini dari ajaran Islam yang murni, dimana amalan-amalan mereka banyak yang bersumber dari hadits yang dhoif (lemah) atau bahkan hadits palsu dan bahkan mungkin mereka beramal tanpa ada dalil, hanya mengikuti ucapan Kyai atau Ustadznya. Jika dikatakan kepada mereka bahwa amalan mereka itu menyelisihi dalil yang shohih dari Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam, mereka mengatakan "kami hanyalah mengikuti apa-apa yang ada pada bapak-bapak kami atau kyai / ustadz kami."

Contoh paling nyata sekarang ini, kebanyakan mereka mengaku mengikuti Madzab Syafii, Hambali, Hanafi, dan Maliki dari para imam-imam madzab. Padahal kalau kita tengok ajaran/perbuatan/amalan mereka sangat jauh dari perbuatan imam-imam madzab tersebut. Mereka begitu fanatik kepada madzab yang mereka ikuti, bahkan bila ada seseorang yang berkata yang perkataannya itu bertentangan dengan madzab yang mereka anut, walaupun ucapannya itu haq adanya, niscaya mereka akan menentangnya habis-habisan, dan yang demikian ini terjadi. Wahai saudarakupadahal agama adalah nasehat, sebagai sesama kaum muslimin harus saling menasehati. Lantas bagaimana kalau sikap mereka menolak dari nasehat orang yang tidak sesuai dengan pendapat mereka (meskipun nasehat yang haq).

Agama Islam dibawa oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, kemudian para shahabatnya meneruskannya, kemudian lagi para tabiin terus sampai jaman kita sekarang ini, kita harus mengikuti mereka. Dalam beragama itu harus mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah yang shohih sesuai dengan pemahaman para shahabat Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam. Kita harus memahami agama ini sesuai dengan pemahaman para shahabat karena merekalah orang-orang yang paling tahu tentang sunnah Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang pilihan yang dididik secara langsung oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Kalau ada yang keliru diantara mereka langsung ditegur atau dibetulkan/diluruskan oleh Beliau shalallahu alaihi wa sallam. Jadi pada jaman shahabatlah agama ini sangat terjaga kemurniannya. Untuk itu kita wajib menjalankan agama ini sesuai petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan sesuai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat Beliau shalallahu alaihi wa sallam. Inilah sesungguhnya Hakekat dari Ittiba (mengikuti).

Berikut ini akan kami sampaikan pendapat dari Empat Imam tentang masalah Taklid dan Ittiba :

1. Imam Asy Syafii

- "Tidak ada seorang pun kecuali dia harus bermadzhab dengan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang bertentangan dengan ucapanku, maka peganglah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Inilah ucapanku."

- "Apa bila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka peganglah ucapan Beliau dan tinggalkanlah ucapanku."

- Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam terdapat hadits yang shohih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Oleh karena itu janganlah mengikuti aku."

- "Apabila hadits itu shohih, maka itu adalah madzhabku."

- "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa telah terang baginya Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang."

- "Setiap masalah yang di dalamnya kabar dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam adalah shohih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati."

2. Imam Ahmad bin Hambal

Beliau berkata :

- "Janganlah engkau mengikuti aku dan janganlah pula engkau ikuti Malik, Syafii, Auzai, Tsauri, tapi ambillah dari mana mereka mengambil."

- "Barang siapa menolak hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran."

- "Pendapat Auzai, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar"

3. Imam Malik bin Anas

Beliau berkata :

- "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan yang tidak maka tinggalkanlah."

- "Tidak ada seorangpun setelah Nabi r, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Muhammad r.

4. Imam Abu Hanifah

Beliau berkata :

- "Apabila hadits itu shohih maka hadits itu adalah madzhabku

- "Tidak dihalalkan bagi seorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya"

- Dalam sebuah riwayat dikatakan,Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku."

- "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Alloh dan kabar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."

Demikianlah wahai saudaraku kaum muslimin, pendapat dari empat imam tentang larangan taklid buta. Mereka memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan hadits Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, serta melarangnya untuk mengikuti mereka tanpa melakukan penelitian. Jadi mereka para Imam yang empat melarang keras kepada kita untuk taqlid buta / membebek / mengekor tanpa ilmu.

Barang siapa yang berpegang dengan setiap apa yang telah ditetapkan di dalam hadits yang shohih, walaupun bertentangan dengan perkataan para imam, sebenarnya tidaklah ia bertentangan dengan madzhabnya (para imam) dan tidak pula keluar dari jalan mereka, berdasarkan perkataan para imam di atas. Karena tidak ada satu ucapanpun yang dapat mengalahkan ucapan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bahkan ucapan para shahabat pun !!! Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas :

"Aku khawatir akan datang hujan batu dari langit, aku ucapkan Rosululloh berkata .., engkau ucapkan Abu Bakar berkata, dan Umar berkata".

Inilah sikap yang seharusnya kita ambil, mencontoh para shahabat, imam-imam yang mendapat petunjuk, di mana merekalah yang telah mengamalkan dien/agama ini sesuai dengan petunjuk Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam, tidak mengada-ada (tidak menambah/mengurangi). Dan hal inipun menunjukkan kesempurnaan ilmu yang ada pada mereka (para Imam) dan ketaqwaannya. Kadang kala mereka mengakui bahwasannya tidak semua hadits mereka ketahui.Terkadang mereka menutupkan suatu perkara dengan ijtihad mereka, namun hasil ijtihad mereka keliru karena bertentangan dengan hadits yang shohih. Hal ini dikarenakan belum sampainya hadits shohih yang menjelaskan tentang perkara itu kepada mereka. Jadi sangatlah wajar bagi seseorang yang belum paham suatu permasalahan kembali berubah sikap manakala ada yang menasehatinya dengan catatan sesuai dengan sunnah yang shohih dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Wallahu Alam.