Jumat, 16 Januari 2009

“Memperingati 61 Tahun Piagam Jakarta”

Sebagian kalangan Kristen ada yang bersuara jernih memandang Piagam Jakarta dan Syariat Islam. Sebagian lain tidak. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-151

Pada Hari Kamis, 22 Juni 2006, Piagam Jakarta tepat berumur 61 tahun. Bersamaan dengan itu, Dewan Sa’wah Islamiyah Indonesia (DDII) menggelar satu seminar nasional yang mengambil tema “Piagam Jakarta: Solusi atau Problema”. Ada empat narasumber yang dihadirkan pada seminar tersebut, yaitu Ketua Umum DDII Hussein Umar, Hakim Agung Dr. Rifyal Ka’bah, Wakil Rektor Universitas Paramadina Dr. Yudi Latif, dan Adian Husaini.

Seminar dan peringatan 61 tahun Piagam Jakarta itu cukup semarak. Ruang Sidang Gedung Menara Dakwah di Markas DDII, Jalan Kramat Raya 45, dipenuhi ratusan orang yang hadir. Diantara yang hadir tampak pakar terkemuka ilmu politik Prof. Dr. Deliar Noer, Dr. Imaduddin Abdurrahim, beberapa anggota DPR RI, dan juga para mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Muhammad Natsir.

Dalam pengantar diskusi, Hussein Umar mengungkap ulang sejarah ringkas Piagam Jakarta. Ia mengingatkan, bahwa Piagam Jakarta adalah dokumen penting yang tidak boleh dilupakan oleh umat Islam dan bangsa Indonesia. Ia pun menyebut sejumlah buku yang perlu ditelaah kembali oleh para mahasiswa dan sarjana Muslim seputar Piagam Jakarta, mengingat adanya fakta-fakta baru yang terungkap seputar masalah itu.

Seperti diketahui, selama ini cerita seputar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta – yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” – didominasi oleh cerita versi Bung Hatta tentang kedatangan opsir Kaigun yang mengaku membawa mandat kaum Nasrani dari Indonesia Timur. Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menulis bahwa:

“… wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Walaupun mereka mengakui bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas…Kalau Pembukaan diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 50-51.

Selanjutnya, Hatta mengaku mengajak sejumlah tokoh Islam untuk membicarakan masalah tersebut. Dan ia menyatakan: “Supaya kita jangan terpecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Ibid, hal. 51)

Pengakuan Hatta itu belakangan ini mulai digugat. Benarkah ada orang Jepang yang datang ke Hatta? Apakah itu bukan cerita yang dikarang oleh Hatta sendiri? Tahun 1997, Universitas Indonesia Press menerbitkan satu buku berjudul “Lahirnya Satu Bangsa dan Negara”, yang diberi kata sambutan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Dalam buku ini, para pelaku peristiwa seputar kemerdekaan, menuturkan cerita yang berbeda dengan versi Hatta. Menurut mereka, ada tiga orang mahasiswa yang datang ke Bung Hatta menjelaskan masalah Piagam Jakarta, yaitu Piet Mamahit, Moeljo, dan Imam Slamet (Tan Tjeng Bok). Wajah Imam Slamet seperti orang Cina, badannya pendek, jadi mirip orang Jepang.

Menurut buku ini, Hatta setuju untuk menerima usulan perubahan Piagam Jakarta, khususnya yang menyangkut tujuh kata tersebut. Juga disebutkan, bahwa Nishijima, ketika datang ke Jakarta kemudian, juga mengaku, tidak ada orang Jepang yang datang ke Hatta, sejak Proklamasi.

Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya tentang Piagam Jakarta juga menceritakan, bahwa Hatta mengaku bahwa pada pagi tanggal 18 Agustus 1945, dia mengajak berembuk dengan empat tokoh, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku M. Hasan, dan Wachid Hasjim. Tapi, terbukti kemudian, bahwa Wachid Hasjim tidak ada di Jakarta ketika itu, karena sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur. Jadi, masih banyak yang perlu diklarifikasi dalam sejarah seputar Piagam Jakarta. Hussein Umar pun, dalam pembukaan seminar tersebut, menunjukkan satu disertasi doktoral di Fakultas Hukum UI, yang juga mengungkap cerita lain seputar Piagam Jakarta.

Apa pun yang telah terjadi dalam sejarah, saya sampaikan dalam seminar tersebut, bahwa perjuangan para pendahulu kita tidaklah gagal sama sekali. Meskipun secara verbatim, tujuh kata dalam Piagam Jakarta telah dihapuskan, tetapi hal itu dikembalikan lagi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Posisi Piagam Jakarta dalam Dekrit 5 Juli 1959 itu perlu terus ditekankan dan tidak dilupakan oleh seluruh bangsa Indonesia, karena itulah dokumen resmi yang memberikan pengakuan yang tegas tentang kaitan antara Piagam Jakarta dengan UUD 1945. Dalam dekrit tersebut, Presiden Soekarno dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.”

(Dikutip dari Endang S. Anshari, op cit, hal. 130).

Dalam Peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU dan selaku Menteri Agama, mengatakan: “Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang jadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan Negara dan kehidupan ideology seluruh bangsa.” (Ibid, hal. 135).

Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama pengganti KH Saifuddin Zuhri, mengatakan:

“Bahwa diatas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah colonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka

sehari-hari.” (Ibid).

Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, memang senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970):

“Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekatang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).

Jadi, selama ini Piagam Jakarta bukanlah merupakan problem bangsa Indonesia, tetapi merupakan solusi atau jalan keluar untuk menerima kebhinekaan bangsa. Karena itu, bagi umat Islam dipersilakan menjalankan syariat-syariat agamanya. Bagi umat agama lain demikian juga, kalau mereka berkenan. Dalam kondisi Indonesia yang bukan merupakan Negara Islam, konsep Piagam Jakarta adalah sebuah solusi cerdas dan realistis. Sebagai contoh, dalam kasus RUU- Anti Pornografi/Pornoaksi, adalah sangat sulit mencari

batasan ‘aurat ala Indonesia’, yang keragamannya begitu besar, mulai koteka sampai cadar. Jika konsep ‘aurat’ diterapkan untuk orang Islam saja, maka akan lebih mudah.

Sebenarnya, sebagian kalangan Kristen ada juga suara-suara yang lebih jernih dalam memandang Piagam Jakarta dan Syariat Islam. Misalnya, sebagai tanggapan terhadap artikel saya di Harian Republika, 22 Mei 2006, yag berjudul “PDS dan Syariat-Fobia”, pada 6 Juni 2006, Republika memuat surat pembaca Ketua Presidum Masyarakat Tomohon, Andre Paul Vincentius P, yang menyatakan:

“Adapun yang dipersoalkan kaum Kristen dan kami kira juga kaum Budha dan Hindu adalah jika syariat Islam diberlakukan secara nasional untuk semua golongan. Sepanjang produk hukum seperti undang-undang dan perda yang dijiwai syariat Islam dengan tegas (tertulis) diberlakukan khusus untuk kaum Muslim, maka tidak ada persoalan. Tetapi jika produk hukum tersebut diberlakukan secara umum, maka benar penilaian anggota DPR dari PDS bahwa bertentangan dengan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”

Surat pembaca Andre itu perlu kita catat, sebab dalam sejarah perjalanan Piagam Jakarta, yang ditetapkan tanggal 22 Juni 1945, kaum Kristen dengan gigih senantiasa menentang pemberlakuan syariat Islam bagi umat Islam. Bahkan penentangan itu seringkali tampak bersikap emosional.

Selain Andre, ada juga Dr. Jan S. Aritonang yang menulis dalam bukunya, “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), agar umat Kristen “Tidak perlu bersikap alergik dan traumatik terhadap kaum Muslim yang berbicara tentang penerapan Syariat Islam.” Ia juga mengimbau agar kaum Kristen bersikap lebih simpatik dan bersahabat terhadap kaum Muslim:

“Memandang mereka sebagai seteru, pihak yang mengancam, atau pun yang harus ditaklukkan demi Injil atau demi apa pun, adalah tindakan bodoh dan tidak terpuji.”

Satu hal yang saya tekankan dalam Peringatan 61 Tahun Piagam Jakarta adalah pentingnya umat Islam mensyukuri hasil-hasil perjuangan yang telah dicapai. Sebgai contoh adalah pendirian dan keberadaan Departemen Agama dan pendirian IAIN. Perlu dicatat, bahwa sejak 1945, meskipun Piagam Jakarta dihapuskan, tetapi umat Islam juga mendapatkan konsesi pendirian Departemen Agama. Dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945, usulan pembentukan Departemen Agama ditolak oleh Latuharhary dan kalangan nasionalis sekular.

Namun, akhirnya Soekarno dan Hatta menerima usulan pembentukan Depoartemen Agama yang secara resmi berdiri pada 3 Januari 1945. Prof. HM Rasjidi diangkat sebagai Menteri Agama pertama. Pada tahun 1967, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 56/1967 tentang perincian struktur organisasi, tugas, dan wewenang Departemen Agama, yang antara lain menyatakan: “Tugas Departemen Agama dalam jangka panjang ialah melaksanakan Piagam Jakarta dalam hubungannya dengan UUD.” (Pasal 1, ayat 1-d).

Karena itu, dalam rangka mengisi hasiul-hasil perjuangan itu, Departemen Agama dan IAIN yang memang dimaksudkan sebagai ‘hadiah’ dan ‘konsesi’ Piagam Jakarta, harusnya dijaga dan dikelola dengan baik oleh umat Islam. Dari Depag dan IAIN harusnya lahir para pejuang penegak aqidah dan syariat Islam. Adalah sangat tragis dan memilukan serta menyimpang dari amanat perjuangan umat Islam di Indonesia jika dari

kampus-kampus IAIN/UIN/STAIN dan sejenisnya ada dosen-dosen yang aktif menyerang aqidah Islam, melecehkan Al-Quran, dan menolak penerapan syariat Islam. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: