Kamis, 15 Januari 2009

"Dawam Rahardjo, Goenawan Mohammad, dan Israel"

Goenawan mendapat penghargaan Dan David Prize dari Israel. Adakah hubungannya dengan Liberalisasi Islam di Indonesia? Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke-145

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Dawam Rahardjo adalah promotor dan pembela Ahmadiyah yang sangat gigih, selama berpuluh-puluh tahun. Namun, dia tetap mengaku bukan orang Ahmadiyah, tetapi tetap orang Muhammadiyah. Ketika jumpa pers Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan beragama dan Berkeyakinan di Markas Jaringan Islam Liberal, Jalan Utan Kayu 68 H, Kamis

27/4/2006, Dawam menegaskan:

“Saya bukan Ahmadiyah. Saya heran orang menyangka saya Ahmadiyah. Saya masih Muhammadiyah. Secara state of mind, saya masih Muhammadiyah. Namun saya tak bisa mengatasnamakan Muhammadiyah. Sikap saya di sini, adalah sikap yang pluralis. Menginginkan kerukunan antar umat beragama.”

Benarkah Dawam Rahardjo masih Muhammadiyah? Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin pernah menyatakan, bahwa Dawam Rahardjo sudah mengeluarkan dirinya sendiri dari Muhammadiyah. Namun, pernyataan Din itu tidak secara tegas menyebutkan adanya pemecatan resmi dari PP Muhammadiyah terhadap Dawam Rahardjo. Padahal, dalam berbagai kesempatan, seperti dalam demonstrasi menentang RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi di Bunderan HI, 22 April 2006, Dawam masih disebut sebagai ‘wakil Muhammadiyah’.

Sebagai pengurus Majlis Tabligh PP Muhammadiyah, saya sering mendapatkan pertanyaan dari kalangan umat Islam di berbagai daerah, bagaimana sebenarnya kedudukan Dawam Rahardjo dalam Muhammadiyah. Apakah masih dibenarkan dia menyandang kartu anggota Muhammadiyah,

sementara secara keimanan dia sudah melanggar keyakinan dasar Muhammadiyah tentang kenabian, sebagaimana diputuskan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Sering sekali ada kalangan tokoh-tokoh umat yang mendesak, agar PP Muhammadiyah secara tegas mengeluarkan Dawam Rahardjo dari Muhammadiyah.

Memang, Majelis Tarjih Muhamamdiyah sudah memutuskan, bahwa orang yang mengimani kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad saw, adalah KAFIR. Dalam putusan Majelis Tarjih dikatakan, “Barangsiapa mengimankan kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad saw, maka harus diperingatkan dengan firman Allah: “Muhammad itu bukannya bapak seseorang dari padamu, tetapi ia Pesuruh Allah dan penutup sekalian Nabi.”

Dan sabda Rasul-Nya: “Dalam ummatku akan ada pendusta-pendusta semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi, yang tidak ada Nabi sesudahku.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaihi dari Tsauban).

Begitu juga sabda Nabi: “Perumpamaanku dan sekalian Nabi sebelumku adalah ibarat seorang yang mendirikan gedung. Maka diperbaguskan dan diperindahkan bangunan itu kecuali satu bata (yang belum dipasang) pada salah satu penjuru-penjurunya, maka orang-orang mengelilinginya dengan heran dan katanya: “Mengapakah bata ini tidak dipasang?” Sabda Rasulullah: “Aku inilah bata itu, dan aku inilah penutup sekalian Nabi.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abu Hurairah); dan banyak lagi hadits lainnya yang menerangkan dengan jelas, bahwa tak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad saw.

“Jikalau orang tidak menerima dan tidak mempercayai ayat dan hadits tersebut maka ia mendustakannya; dan barangsiapa mendustakan, maka kafirlah ia,” demikian keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, seperti ditulis dalam buku Himpunan Putusan Tarjih, yang diterbitkanoleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Putusan Majelis Tarjih itu begitu jelas dan gamblang. Meskipun tidak menyebut Ahmadiyah, tetapi semua orang tahu, bahwa Ahmadiyah mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Maka, sesuai keputusan tersebut, di mata Muhammadiyah, Ahmadiyahjelas berada di luar Islam.

Maka, adalah sangat aneh, jika Dawam Rahardjo masih terus mengaku sebagai orang Muhammadiyah, tetapi membela habis-habisan keyakinan kaum Ahmadiyah. Mestinya, sebagai seorang yang sudah diberi gelar Profesor, Dawam mempunyai pendirian yang tegas dalam keyakinannya, memilih salah satu : Ahmadiyah atau Muhammadiyah.

Kaum Muslim sudah sangat kenal siapa Dawam Rahardjo sebenarnya, dan bagaimana hubungan pribadinya dengan Ahmadiyah. Sebagai contoh, tahun 2000, dia menjadi promotor kunjungan Khalifah Ahmadiyah Tahir Ahmad ke Indonesia. Dia menggelar berbagai acara untuk mempromosikan Ahmadiyah. Misalnya, pada 29 Juni 2000, dia menyelenggarakan acara Dialog Pakar Islam, di salah satu hotel di Jakarta, yang menghadirkan Tahir Ahmad.

Sikap pimpinan Muhammadiyah terhadap kelompok Ahmadiyah selama ini sebenarnya sudah cukup jelas.

Dalam acara Munas VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Juli 2005, Din Syamsuddin yang juga wakil ketua umum MUI, dan waktu itu bertindak sebagai Ketua Sidang Pleno, juga mengesahkan keluarnya rekomendasi Munas MUI, “MUI mendesak pemerintah menindak tegas munculnya ajaran sesat dan membubarkannya karena meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, LDII.”

Rekomendasi itu juga menyatakan : “MUI supaya melakukan kajian ktitis terhadap Jaringan Islam

Liberal dan sejenisnya yang berdampak pendangkalan akidah.” Bahkan, tegas MUI, ‘’MUI wajib bersih dari unsur aliran sesat dan pendangkal akidah!” (Lihat, Majalah GATRA, 1 Agustus 2005).

Bagi para pengkaji ajaran Jemaat Ahmadiyah, tidak sulit untuk menemukan unsur-unsur penodaan agama Islam yang dilakukan oleh kaum Ahmadiyah.

Kitab Suci-nya orang Ahmadiyah, Tadzkirah, begitu banyak memuat kalimat-kalimat yang ’memelintir’’ ayat-ayat dalam Kitab Suci al-Quran. Sebagai contoh : ”Katakanlah, --wahai Mirza Ghulan Ahmad-- “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku”. (Kitab Suci Tadzkirah hlm. 630). Juga, ada kalimat : “Dan kami tidak mengutus engkau – wahai Mirza Ghulam Ahmad- kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. (Kitab Suci Tadzkirah hlm. 634). (Diterjemahkan dari teks bahasa Arab oleh LPPI).

Umat Islam yang memahami Al-Quran, akan dengan mudah memahami, bahwa ayat-ayat itu adalah pemelintiran dari ayat-ayat dalam Kitab Suci al-Quran. Bagi umat Islam, tindakan mengacak-acak dan merusak al-Quran adalah tindakan perusakan agama yang sangat serius. Wajar, jika umat Islam tidak rela al-Qurannya dirusak. M.

Amin Jamaluddin, ketua LPPI, pernah mengungkap pertanyaan menarik kepada sejumlah anggota Komnas HAM yang membela kebebasan beragama : ‘’Menurut Anda, apa boleh seseorang menciptakan lagu yang syairnya mencampur aduk syair lagu Indonesia Raya dengan syair lagu Gundhul-gundhul Pacul ?’’

Bagi bangsa Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya, tentunya tidak boleh dirusak. Itu lagu Indonesia Raya yang merupakan karangan Wage Rudolf Supratman.

Apalagi, Al-Quran bukanlah karangan manusia, tetapi Kalamullah. Tentu, sangat wajar, jika umat Islam tidak rela, ada yang mengacak-acak al-Quran sebagaimana dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad dan pengikut Ahmadiyah. Karena itulah, umat Islam memandang kesalahan Ahmadiyah dalam menodai agama Islam sebagai hal yang sangat serius. Ada perbedaan yang mendasar antara Ahmadiyah dengan Islam.

Harian Indopos (8 September 2005), memuat pernyataan Kepala Dakwah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, setelah berhasil mengajak seluruh keluarganya berbaiat dan berjanji setia kepada Nabi Mirza Ghulam Ahmad, yang mengatakan: “Alhamdulillah keluarga saya sekarang sudah seiman.

Semuanya kini menjadi pengurus Ahmadiyah.”

Sebagai orang yang mengaku state of mind-nya adalah Muhammadiyah, harusnya Dawam Rahardjo paham akan keputusan Majelis Tarjih tersebut, dan menjadikannya sebagai rujukan dalam berpikir dan melangkah.

Tapi, sayangnya, yang terjadi tidaklah demikian. Seharusnya, PP Muhammadiyah juga mengambil sikap yang tegas terhadap Dawam Rahardjo, sebab persoalannya sudah menyangkut masalah iman. Jadi, bukan masalah kecil. Tapi, masalah yang sangat mendasar.

Yang juga menarik untuk dicermati, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan berkeyakinan mengadakan jumpa pers-nya di Utan Kayu 68 H, yang selama ini dikenal sebagai markas kelompok liberal, yang salah satu bos besarnya adalah Goenawan Muhammad.

Dari tempat inilah, gerakan penolakan anti RUU-APP digalang, terutama melalui Radio Utan Kayu. Dalam minggu ini, ada berita yang menarik bagi umat Islam berkaitan dengan Goenawan Mohammad. Yaitu, diberikannya penghargaan ‘Dan David Prize’ oleh Tel Aviv University kepada Goenawan Mohammad.

Seperti dilaporkan sejumlah media massa di Jakarta, pemberian penghargaan yang dilakukan oleh Universitas Tel Aviv (TAU) itu didasarkan kepada aktivitas Goenawan selama 30 tahun terakhir yang memperjuangkan kebebasan pers dan jurnalisme yang independen di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia.

Seperti telah diberitakan harian lokal Israel, "Haaretz", edisi 18 April lalu, Goenawan Mohamad akan menerima hadiah uang senilai 250 ribu dolar AS (sekitar Rp 2,3 milyar).

"Dan David Prize" mulai diberikan pada tahun 2002 kepada para individual dan institusi yang telah

memberikan kontribusi unik dan besar dalam sektor kemanusiaan, termasuk di antaranya kontribusi di bidang ilmu pengetahuan alam, seni, dan bisnis dalam tiga dimensi waktu - lampau, kini, dan akan datang.

Penghargaan ini mengambil nama seorang pengusaha Yahudi yaitu Dan David. Penyelenggaraannya dilakukan oleh TAU secara rutin tiap tahun di Tel Aviv. Goenawan telah beberapa kali menerima penghargaan.

Setidaknya pada tahun 1992 ia sempat dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw dari Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1998, ayah dari dua anak ini menerima penghargaan internasional dalam hal Kebebasan Pers dari Komite Pelindung Jurnalis. Setahun kemudian, ia menerima penghargaan dari World Press Review, Amerika Serikat, untuk kategori Editor Internasional.

Popularitas GM dalam dunia pers tidaklah diragukan.Dia telah berjasa melahirkan mengkader banyak jurnalis di Indonesia. Tapi, terlepas dari soal itu, Goenawan juga sukses menggerakkan proses sekularisasi di Indonesia. Dia berperan besar ‘membesarkan’ Abdurrahman Wahid dan Nurcohlis Madjid, sebagai lokomotif liberalisasi Islam di Indonesia.

Seorang sahabat dekat Goenawan pernah bercerita kepada saya, bahwa apa yang Goenawan kerjakan terhadap Ulil Abshar Abdalla saat ini sama dengan apa yang dulu dia kerjakan terhadap Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid pada awal-awal 1970-an. Akhir-akhir ini, Goenawan sering menulis tentang Islam.

Tulisannya tentang RUU APP, yang berjudul ‘RUU Porno: Arab atau Indonesia’, menjadi salah satu inspirasi penting kaum Hindu di Bali dan para penentang RUU APP lainnya dalam menolak keras RUU tersebut.

Dalam perspektif ini, bisa dipahami, bahwa pihak Israel memilih Goenawan sebagai sosok yang layak diberi penghargaan. Liberalisasi Islam di Indonesia berhasil menggerus keimanan kaum Muslim dan dalam jangka panjang, memuluskan pembukaan hubungan Indonesia-Israel. Terlepas dari kualitas teknik jurnalistiknya, bisa dikatakan, Goenawan Mohammad merupakan sosok tokoh pers yang konsisten dalam meliberalkan Islam di Indonesia. Itulah pilihan hidup Goenawan.

Kita perlu menghormati dan mencermatinya, mengambil sisi positif dari prestasi jurnalistiknya.

Tetapi, pada saat yang sama, juga wajib meluruskan pendapat-pendapatnya yang keliru dan merusak Islam.

Bagi kita, amal kita, dan bagi Goenawan amal dia sendiri. Di dunia, Goenawan telah mendapatkan

balasannya. Kita sama-sama menunggu balasan di Akhirat nanti. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: