Mengerikan, virus relativisme dalam penafsiran Al-Quran telah menyebar di kalangan intelektual Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-182
Pada hari Sabtu, 17 Februari 2007, besok, diskusi sabtuan di INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) akan membahas masalah paham ‘Relativisme Beragama’. Pemakalahnya adalah Henri Shalahuddin MA, peneliti INSISTS yang juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir.
Tema ini adalah tema yang sangat penting dan mendasar dalam diskusi tentang pemikiran keagamaan dewasa ini. Hampir tidak ada satu pun kalangan pemikir liberal yang menolak keabsahan paham relativisme dalam beragama. Mereka biasanya berargumen bahwa manusia adalah makhluk relatif, dan karena itu tidak mungkin memahami kebenaran sejati. Yang tahu kebenaran itu hanyalah Allah. Karena itu, sebagai konsekuensinya, mereka mencegah manusia untuk melakukan tindakan penghakiman pemikiran dan pemutlakan pendapat.
Seperti yang disebutkan dalam hasil penelitian Litbang Departemen Agama tahun 2006 lalu tentang paham Islam Liberal di Yogyakarta, bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama, bagi penganut paham Islam Liberal, adalah tidak adanya tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. ”Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah,” begitu salah satu hasil penelitian Departemen Agama.
Inilah salah satu contoh bentuk aplikasi paham relativisme beragama, yakni tidak memiliki sikap dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, menurut mereka, tidak ada pemahaman absolut dalam agama; yang ada adalah kebenaran relatif. Karena itulah, mereka tidak bersikap dalam hal kebenaran dan kesalahan.
Kita bisa bayangkan, bagaimana dampak paham seperti ini terhadap orang yang beragama. Mereka akan bersikap individual, tidak peduli terhadap kemunkaran yang berlaku di tengah masyarakat, karena mereka menganggap agama adalah urusan pribadi dengan Tuhan.
Padahal, dalam Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah ajaran yang sangat penting, yang berkaitan dengan keimanan seseorang. Rasulullah saw menggambarkan orang yang hanya sanggup melawan kemunkaran dengan hatinya, tanpa tindakan apa pun, sebagai ’selemah-lemah iman’ (adh’aful iman).
Jadi, orang yang mengetahui kemunkaran, tetapi tidak berbuat apa-apa, kecuali benci dengan hati, sudah dikategorikan sebagai ’selemah-lemah iman’. Kita bertanya, bagaimana dengan orang yang sudah tidak tahu lagi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar? Bahkan, bagaimana dengan orang yang mengajarkan dan menyebarkan paham bahwa yang ma’ruf sama saja dengan yang munkar, karena manusia tidak berhak mengklaim dirinya benar dan yang lain salah? Tentulah paham seperti ini sangat keliru dan ’keblinger’.
Mungkin tanpa disadari oleh penyebar paham relatvisme beragama, bahwa mereka sudah meruntuhkan satu pilar Islam yang sangat kokoh, yakni keyakinan akan kebenaran Islam dan kewajiban mendakwahkannya. Mungkin ada yang bermaksud, agar kaum Muslim jangan memutlakkan pendapatnya dalam hal-hal furu’iyyah, sehingga tercipta keharmonisan kehidupan umat Islam. Sedangkan dalam hal-hal yang ushul (aqidah), maka tidak ada perbedaan diantara umat Islam.
Jika yang mereka maksudkan adalah semacam ini, yakni kerelativan dalam masalah furu’iyyah, maka tidak menjadi masalah. Tetapi, faktanya, para pendukung paham relativisme beragama, tidak membatasinya hanya dalam hal furu’iyyah. Dalam semua aspek keagamaan, kata mereka, pemahaman manusia adalah relatif. Mereka senantiasa membedakan antara ’agama’ yang bersifat mutlak dengan ’pemahaman’ atau ’pemikiran terhadap agama’ yang bersifat relatif.
Inilah pemikiran yang salah. Sebab, pembedaan semacam ini pada akhirnya menempatkan agama sebagai hal yang tidak pernah bisa dipahami oleh manusia, karena agama bersifat mutlak, sedangkan manusia bersifat relatif. Prof. Naquib al-Attas pernah mengkritik pemahaman semacam ini, dengan menyatakan, bahwa pemahaman relativisme seperti itu sama saja dengan melecehkan Allah SWT. Sebab, itu sama saja dengan menuduh Allah SWT telah menurunkan Kitab (wahyu-Nya) yang tidak pernah bisa dipahami oleh manusia. Padahal, Kitab itu diturunkan untuk manusia.
Tetapi, ironisnya, pemahaman relativisme beragama semacam itu, justru menggejala dan menjadi tren di kalangan pemikir-pemikir modern serta banyak dosen di perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, dalam bukunya "Pintu-pintu Menuju Tuhan", Nurcholish memandang bahwa relativisme adalah suatu keniscayaan fenomenal yang muncul dari setiap orang yang berusaha memahami suatu agama. Pemahaman ini, kata Nurcholish, tidak bisa serta merta disebut sebagai agama, sebab pemahaman keagamaan setiap individu pasti berbeda dengan individu lainnya. Berkenaan dengan hal ini, dia berkata, "Pemahaman orang atau kelompok terhadap agama tidak sebanding dengan nilai agama itu sendiri".
Dalam kolom opini Republika, (29/12/2006), Syafii Maarif berpendapat bahwa kebenaran Al-Quran adalah mutlak, karena berasal dari yang Maha Mutlak. Tetapi kemutlakan tersebut menjadi nisbi saat memasuki otak dan hati manusia. Maka segala penafsiran tentang Al-Quran tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya.
Dalam kolom Resonansi Harian Republika (7/11/2006), ia juga menyatakan: "Bagi seorang beriman, yang final adalah kebenaran wahyu, tetapi tafsiran terhadap wahyu itu selamanya nisbi." Kemudian Syafii memandang orang yang memutlakkan penafsirannya, berarti ia telah mengambil alih otoritas Tuhan, yang artinya sejajar dengan syirik.
Tokoh liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, dalam bukunya Naqd al-Khithab al-Dini (1992) juga berpikiran, bahwa dalam memahami makna Al-Quran, maka harus diserahkan secara mutlak kepada pembaca teks (manusia) -- dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Manusialah sebagai hakim yang menentukan penafsiran. Menurutnya, teks bukan lagi milik Tuhan, tapi sudah menjadi milik pembacanya. Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia) dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia.
Virus relativisme dalam penafsiran Al-Quran ini sudah menyebar begitu luas. Yang paling mengerikan, virus sejenis ini pun sudah menjangkiti banyak dosen perguruan tinggi Islam, sehingga dengan mudah akan menularkannya kepada para mahasiswa. Lima atau sepuluh tahun lagi, mahasiswa pengidap virus ini pun akan terjun ke masyarakat, sebagai guru agama, birokrat di departemen agama, menjadi hakim agama, khatib Jumat, mubaligh, dan sebagainya, yang pada akhirnya juga ikut menyebarkan virus pemahaman semacam ini ke tengah masyarakat. Barangkali mereka tidak sadar sedang mengidap virus yang sangat berbahaya, yang dapat meruntuhkan bangunan pemahaman Islam. Bahkan, banyak yang bangga dengan penyakit yang dibawanya. Sebab, dengan menyebarkan virus relativisme semacam itu, mereka bisa berkiprah di dunia akademis dan disanjung-sanjung sebagai cendekiawan Muslim yang berkualitas tinggi, yang berpikir ilmiah-objektif, dan telah meninggalkan pola pikir subjektif-dogmatis.
Beberapa waktu lalu, di sebuah toko buku di
Dalam pengantarnya, Prof. Virginia Hooker memuji buku ini sebagai penerus studi Islam yang telah dirintis oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Menurutnya, Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang ‘memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal’. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai agama yang dinamik dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977).
Buku ini, kata Virginia Hooker, merintis jalan untuk penelitian Islam secara ‘akademik’ lewat metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya.
Jika ditelaah, isi buku ”Dinamika Baru Studi Islam” ini pun tak luput dari jangkitan virus relativisme. Disamping itu, buku ini juga mendukung model studi Islam yang dikembangkan para orientalis, yang memisahkan antara aspek pemahaman dengan aspek keyakinan dan amal. Sebagai contoh, ditulis dalam buku ini:
”bahwa agama, yang merupakan refleksi dari kemauan Tuhan secara konseptual ilmiah, bersifat mutlak, namun ketika turun kepada manusia, telah menjadi relatif, tergantung pada latar belakang dan kemampuan manusia. Oleh karena itu, pemahaman atau penangkapan terhadap pesan-pesan agama akan berbeda dari satu orang ke orang lain. Perbedaan itu harus diakui keberadaannya, dan tidak boleh terjadi pemaksaan pemahaman. Dalam kaitannya dengan penemuan otentisitas Islam, maka otentisitas itu ada pada tataran individual. Yakni, Islam otentik adalah Islam yang merupakan hasil pemahaman atau keyakinan seseorang terhadap wacana-wacana keislaman yang dia terima, dan hasil tersebut tidak boleh diintervensi oleh kekuatan sosial di luar dirinya.” (hal. 87-88).
Cobalah kita renungkan ungkapan para dosen IAIN Surabaya itu. Betapa aneh dan rancunya cara berpikir mereka. Dengan cara berpikir seperti itu, maka sama saja mereka menafikan otoritas Nabi Muhammad saw, para sahabat nabi, para ulama Islam, sebagai penafsir Al-Quran yang otoritatif dan perlu diikuti. Sebab, semua pemahaman orang – siapa pun dia – dianggap memiliki derajat yang sama. Ini berimbas pada persoalan otentisitas Islam itu sendiri.
Menurut para dosen IAIN Surabaya ini, ’Islam otentik’ itu sendiri sudah tidak bisa ditemukan lagi, sebab Islam otentik sangat tergantung kepada pemahaman manusia yang berubah-ubah setiap waktu dan tempat. Maka mereka menulis: ”Islam yang ada di
Buku yang ditulis oleh dua dosen IAIN Surabaya ini adalah contoh, bagaimana dampak serius dari virus relativisme beragama. Kita sangat kasihan kepada mereka. Jauh-jauh sekolah ke luar negeri akhirnya mengimpor pemahaman yang aneh bagi umat Islam. Kita kasihan dengan mahasiswa yang diajar oleh mereka. Apakah para dosen IAIN Surabaya ini tidak mampu melihat bahwa sepanjang sejarahnya, Islam adalah agama yang satu dan memiliki kitab suci yang satu dan maknanya pun terjaga dengan baik. Karena teks Al-Quran adalah wahyu – lafaz dan maknanya dari Allah – maka sepanjang sejarah Islam, para mufassir Al-Quran tidak tergantung pada masalah waktu, tempat, gender, dan sebagainya.
Karena itu, para mufassir Al-Quran dan umat Islam tidak pernah berbeda dalam hal-hal yang pokok dalam Islam. Cobalah kita renungkan, hanya umat Islam yang mengucap nama Tuhannya dengan lafaz yang sama di seluruh dunia, yaitu ”Allah”, tidak berbeda karena faktor waktu dan tempat. Padahal, hingga kini, kaum Yahudi dan Kristen masih berdebat tentang siapa nama Tuhan mereka. Umat Islam tidak pernah mengangkat Muhammad saw sebagai Tuhan atau anak Tuhan, betapa pun umat Islam sangat mencintai Rasulullah Muhammad saw, dan selama 24 jam menyebut namanya dalam shalat. Umat Islam shalat menghadap kiblat yang satu; takbir, ruku’, sujud, salam, dengan cara yang satu. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja dengan tenang, karena cara ibadahnya sama. Semua umat Islam berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Umat Islam berhari Raya Idul Fithri pada 1 Syawal dan ber-Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Umat Islam sepanjang sejarah mengakui kewajiban zakat. Umat Islam sepanjang sejarah melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci, bukan di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Itulah Islam yang otentik. Islam yang satu. Islam yang sama sepanjang sejarahnya, dari generasi ke generasi, dari satu tempat ke tempat lain. Tidak ada yang namanya Islam Arab, Islam Jawa, Islam Cina, Islam Amerika, Islam Hongkong, dan sebagainya. Juga tidak ada yang namanya ”Islam abad ke-7”, ”Islam abad ke-10”, atau ”Islam abad ke-21”. dan sebagainya. Islam adalah Islam, yang sama antara satu generasi dengan generasi yang lain. Sama antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak ada perbedaan dalam hal-hal yang pokok seperti ini. Islam adalah agama yang satu.
Tentu saja, ada perbedaan dalam hal aplikasi ajaran Islam pada satu tempat dengan tempat lain atau satu kurun waktu dengan kurun waktu lainnya. Dulu, tidak ada keran air untuk berwudhu, sekarang sudah ada. Tapi, cara berwudhu tidak berubah. Dulu tidak ada buldozer untuk menggali kuburan. Tetapi, cara menguburkan jenazah tidak berubah dari zaman ke zaman. Dulu tidak ada loudspeaker untuk mengumandangkan azan, sekarang sudah ada. Tetapi, lafazh azan tidak berubah dari waktu ke waktu, sampai kiamat.
Adalah tidak sepatutnya, para dosen IAIN Surabaya itu menyamakan Islam dengan agama Yahudi dan Kristen yang sudah menjadi agama yang banyak, dengan nama Tuhan dan cara ritual yang berbeda-beda pula. Sebagai agama sejarah, agama Yahudi dan Kristen, mengalami perubahan dalam konsep teologis dan ritual, sejalan dengan proses sejarah. Begitu juga dengan agama-agama lain. Karena itu, bisa ditemukan konsep teologis dan cara ritual yang berbeda dari waktu ke waktu, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebab, teks Kitab Suci mereka pun berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu tempat ke tempat lain. Disamping itu, mereka juga tidak memiliki ’model’ (uswah hasanah) yang satu dalam melaksanakan ajaran agamanya, sebagaimana umat Islam memiliki ’model’ yang sempurna untuk dicontoh, yaitu Nabi Muhammad saw.
Demikianlah contoh kasus bahaya virus relativisme beragama yang banyak menjangkiti kaum intelektual dan akademisi di perguruan tinggi Islam saat ini. Kita menyayangkan, banyaknya akademisi Muslim yang tidak siap mental dan ilmu ketika belajar Islam ke Barat, sehingga mudah terjebak pada metodologi studi agama yang berlatarbelakang problema agama Yahudi dan Kristen. Kemudian, tanpa pikir panjang, mereka menjiplak begitu saja metodologi ilmu-ilmu sosial humaniora itu ke dalam studi Islam. Sebab, metode itulah yang kini sedang ’laku’.
Mudah-mudahan kita memiliki kekebalan iman dan ilmu yang memadai untuk menangkal virus pemikiran relativisme beragama yang semakin mengganas ini. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar