Jumat, 16 Januari 2009

Legenda-legenda Barat

Meski peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan, tetapi masyarakatnya masih tetap terkenal sebagai pemuja legenda atau dongeng-dongeng. Baca CAP ke-64 Adian Husaini. MA 0

Meskipun peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, tetapi masyarakat Barat ternyata masih tetap terkenal sebagai pemuja legenda atau dongeng-dongeng. Kamus “The American Heritage Dictionary on the English Language”, mengartikan kata “legend” dengan “An unverifiable popular story handed down from the past.” Artinya, “legenda” adalah cerita masa lalu yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Kata ini berasal dari bahasa Latin “legere” yang artinya “to collect”, “to gather”, atau “to read”, yakni “mengumpulkan” atau “membaca”.

Lihatlah deretan judul film-film yang beredar di gedung-gedung biosksop dalam beberapa bulan ini. Penuh dengan cerita-cerita legenda. Film Troy yang bercerita tentang legenda kepahlawanan Achiles dan Agammemnon, di masa Yunani kuno, laris manis diserbu penonton di gedung-gedung bioskop Kuala Lumpur. Penonton harus rela antri untuk dapat menikmati film yang dibintangi oleh Brad Pitt, Orlando Bloom, dan Eric Bana ini.

Film Spiderman 2, juga bukan main hebatnya dalam menyerap penonton. Sampai-sampai penonton dilarang membawa handphone saat masuk ke dalam gedung bioskop (di Malaysia disebut Pawagam). Sementara, sampai 23 Juli 2004, film Spiderman 2 telah maraup keuntungan 15 juta USD (sekitar Rp 140 milyar), masih dibawah perolehan film legenda “Catwoman” yang maraup 16,7 juta USD.

Kini, sedang hangat-hangatnya masyarakat di sini dibuai oleh film King Arthur. Baru diedar bebarapa saat, sampai 23 Juli 2004, King Arthur sudah maraup keuntungan 3,04 juta USD. Film The Passion of The Christ yang begitu kontroversial, berhasil meraup keuntungan 19,2 juta USD, sampai bulan Februari 2004.

Film ini, meskipun didasarkan pada cerita Perjanjian Baru, tetapi juga dibumbui dengan berbagai cerita yang sulit diverifikasi kebenarannya. Film trilogi “The Lord of the Rings”, mampu maraup keuntungan lebih dari 2000 juta USD.

Jauh sebelumnya, berbagai film legenda semacam Rambo, Batman, Superman, dan sebagainya, yang ternyata juga menjadi film-film yang “laku dijual”. Dengan promosi yang sangat dahsyat, film-film itu pun dinikmati oleh banyak umat manusia di belahan dunia lainnya. Mengapa masyarakat Barat menyukai legenda, mitos-mitos, atau mimpi-mimpi? Padahal, ada yang menyebut bahwa cerita-cerita yang menjual mimpi biasanya diproduksi oleh masyarakat tertindas untuk menghibur diri dan membayangkan akan kejayaan di masa yang akan datang.

Cerita-cerita legenda itu biasanya dikaitkan dengan kisah kepahlawanan (epik) untuk membangkitkan moral. Apakah fenomena ini berkaitan dengan masyarakat Barat yang “sakit” dan sedang mengalami krisis dalam hidup? Sebagai peradaban yang sedang berkuasa, Barat terbukti tidak mampu menyelesaikan problema yang dihadapi umat manusia, bahkan probem dirinya sendiri. Mereka dihantui dengan berbagai kecemasan yang tidak berkesudahan. Itu semua karena mereka kehilangan pegangan hidup, setelah menempatkan manusia sebagai “tuhan”.

Terlepas dari hal itu, ada baiknya kita telaah kilasan sejarah tentang berbagai legenda tentang Islam yang hidup di kalangan masyarakat Barat, khususnya di abad pertengahan. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya berjudul “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (1999) mencatat banyak legenda menarik tentang Islam yang populer di kalangan masyarakat Barat di abad pertengahan. Bahkan, meskipun Barat menyerap banyak informasi langsung dari dunia Islam, saat Perang Salib (Crusade), legenda-legenda tentang Islam tetap hidup subur di kalangan masyarakat. “But Western Christian were more likely to hear legends, many of which were brought backs by the Franks who had been to the Holy Land,” tulis Cruz.

Misalnya, legenda bahwa Ida, seorang janda pasukan Salib, dikawini seorang Muslim (Sarancens) dan akhirnya menurunkan seorang anak bernama Zengi. Nama lengkapnya, Nuruddin Zengi. Dalam sejarah, ia adalah paman Shalahuddin al-Ayyubi, yang membalik sejarah Perang Salib, dengan keberhasilannya menaklukkan Edessa dari pasukan Salib (the Franks) pada 1144.

Legenda tentang Shalahuddin al-Ayyubi – tokoh yang merebut kembali Jerusalem dari the Franks, 1187– bertebaran. Ada cerita tentang Eleanor of Aquitaine, istri Louis VII, yang memiliki affair dengan Shalahuddin. Ada juga legenda, bahwa Shalahuddin adalah keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga legenda bahwa Shalahuddin dibaptis pada akhir hayatnya.

Legenda, bahwa Dome of the Rock di Jerusalem menyimpan banyak berhala sesembahan kaum Muslim. Dan bahwa di Mekah, pendeta murtad bernama Nicholas, dijadikan sesembahan. Pidato Pope Urban II yang terkenal di The Council of Clermont, 25 November 1095, juga menyebarkan banyak legenda tentang Muslim. Di tengah konflik antar masyarakat Eropa ketika itu, Pope Urban II, menggalang sebuah legenda tentang musuh bersama bernama “Turks”. “The Turks”, kata Paus, “adalah bangsa terkutuk.” “Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands,” katanya.

Seruan The Pope, mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West, Norman Daniel menyebut: “The essence of crusading was to slay for God’s love.” . Maka, saat memasuki Jerusalem, 1099, the Franks melakukan tindakan yang sulit dipercaya. Mereka membantai sekitar 30.000 warganya, Muslim dan Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak.

Fulcher of Chartress mencatat: “If you had been there your feet would have been stainen to the ankles in the blood of the slain.” Seorang tentara the Franks menulis dalam Gesta Francorum : “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.”

Sepanjang sejarah, hubungan Islam-Barat diwarnai dan memunculkan banyak legenda. Dokumen Chanson de Roland (sekitar tahun 1100) yang ditemukan di Inggris pada abad ke-19 memberikan gambaran bahwa kaum Muslim adalah penyembah berhala, pengecut, berperang demi kekayaan, tanah, dan perempuan. Dokumen ini bercerita tentang legenda kepahlawanan (epic) Charlemagne yang digambarkan berhasil menaklukkan seluruh Spanyol.

Padahal, pada 778, Charlemagne gagal menjalankan misi membantu gubernur Barcelona dan Saragossa melawan Khalifah Umayyah di Cordoba. Saat pulang, pasukan Charlemagne melakukan pembunuhan dan perampokan di Kota Pamplona. Pasukan Basque/Wascons (Kristen) melakukan pembalasan dan mengalahkan pasukan Charlemagne. “Uniknya” dalam Chanson de Roland, Charlemagne digambarkan telah berhasil menaklukkan semua Spanyol, kecuali Saragossa. Musuh utamanya, bukan pasukan Wascons, tetapi kaum Muslim (Saracens).

Cerita tentang Charlemagne sangat penting disimak dalam sejarah Eropa. Sebab, pada tahun 800, Paus Leo III membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada Charlemagne yang diangkat sebagai “Emperor of the Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat.

Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan Gereja.

Legenda lain yang memberikan gambaran buruk tentang Islam adalah cerita tentang Aymeri of Narbonne dan putranya, William of Orange. Dalam legenda ini, Muslim digambarkan lebih buruk ketimbang yang ada dalam Chanson de Roland. Selain penyembah berhala, Muslim adalah pencipta segala kejahatan, musuh Tuhan, dan pemuja setan. Mereka memakan tawanan perang, mengkhianati perjanjian, dan menjual belikan wanita mereka sendiri. Mereka adalah manusia-manusia kejam, pengkhianat, dan menyembah banyak dewa, seperti Mahomet, Cahu, Apollyon, dan Tervagant.

Dalam banyak aspek, perang melawan terorisme juga diwarnai berbagai legenda. Legenda-legenda tentang ancaman Islam itu terus hidup di benak masyarakat Barat, sehingga begitu peristiwa 11 September 2001 meletus, banyak kaum Muslim mengalami perlakuan tidak manusiawi di Barat. Banyak ilmuwan Barat yang telah membongkar berbagai legenda seputar masalah terorisme.

Siapa yang sebenarnya teroris? Syekh Ahmad Yassin (almarhum) atau Ariel Sharon? Tahun 1980-an, isu terorisme PLO menyita perhatian dunia internasional. Padahal, pada 1982, terjadi pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) oleh Tentara Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.

Kita ingat, bagaimana banyaknya cerita-cerita yang menyeramkan seputar Taliban di Afghanistan diproduksi dan ditulis. Tak lama kemudian, Taliban dihancurkan. Kita ingat, bagaimana legenda tentang senjata pemusnah massal dibuat, sebelum Irak diserang. Kini, sejumlah cendekiawan “neo-konservatif” seperti Bernard Lewis dan juga sejumlah media massa Barat banyak membuat cerita seputar “bahaya Wahabi dan Arab Saudi”. Apakah ini juga pertanda, rezim Wahabi di Arab Saudi berada dalam ancaman?

Majalah Newsweek 28 Juni 2004 menggunakan istilah “the demonizing of Saudi Arabia”. Dulu, Wahabisme disokong Barat (Inggris) untuk melawan Ottoman, dan selama puluh dekade, Barat berada di belakang Saudi. Hubungan khusus AS dan Arab Saudi sudah menjadi rahasia umum. Apakah akan terjadi suatu perubahan besar dalam kebijakan AS terhadap Saudi?

Mari kita lihat dan tunggu, apakah dalam waktu dekat akan beredar luas berbagai “legenda” – melalui surat kabar, majalah, film, dan sebagainya – tentang Arab Saudi dan keluarga kerajaan yang berlimpah dengan kekayaan itu. Sudah terbukti dalam sejarah, legenda sangat ampuh dalam membentuk persepsi masyarakat Barat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: