Kamis, 15 Januari 2009

“Bedah Pluralisme di Bandung”

Paham Pluralisme Agama merupakan proyek yang sangat mudah menyedot dana dari lembaga-lembaga asing yang bergelimang uang. Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke-119

Pada 12 Oktober 2005, saya dengan Dr. Ugi Suharto, direktur eksekutif INSISTS, memberikan presentasi tentang Pluralisme Agama di empat lokasi di Bandung, yaitu di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Masjid Habiburrahman PT Dirgantara Indonesia, Masjid Ukhuwah, dan Masjid Salman Bandung. Ada beberapa masalah yang menarik untuk dicatat dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada acara itu.

Pertama, rata-rata kaum Muslim yang hadir dalam acara tersebut belum memahami dengan baik, apa sebenarnya ide Pluralisme Agama. Itu bisa disimak saat acara acara bedah buku Dr. Anis Malik Toha, yang berjudul Tren Pluralisme Agama, di UPI dan Masjid Salman Bandung. Karena itu, saat dipaparkan data-data dan teori tentang paham Pluralisme Agama, banyak yang mengaku sebagai hal baru bagi mereka.

Padahal, fatwa MUI sudah menjelaskan tentang definisi paham ini dengan lugas dan jelas. Yakni, menurut MUI, Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.

Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Paham seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dan karenanya haram bagi kaum Muslimin untuk menganutnya.

Kedua, banyak hadirin yang terbengong-bengong menyimak profil para penganjur paham Pluralisme Agama. Banyak diantaranya yang lulusan perguruan-perguruan Tinggi Islam, bahkan ada doktor dan prosefor dalam bidang studi Islam.

Di kalangan insinyur, mahasiswa bidang teknologi, dan para profesional yang hadir, sempat muncul pertanyaan, apa yang salah dengan orang-orang yang belajar agama sejak kecil itu?

Mengapa kemudian mereka justru malah merusak keimanan mereka sendiri, dengan menyebarkan paham yang salah, dan malah menyebarkan pemahaman itu kepada masyarakat luas? Apa mereka tidak takut dosa?

Masalah ini sudah pernah kita bahas pada catatan-catatan sebelumnya. Bisa jadi, mereka memang salah berpikir, salah didik, atau “salah asuh”, sehingga merasa benar dalam kekeliruannya.

Mereka kemudian lebih percaya kepada para orientalis dari kalangan non-Muslim dalam memandang ajaran Islam, ketimbang para ulama Islam yang ‘alim dan shalih. Allah sudah mengingatkan adanya fenomena semacam ini, yakni adanya manusia-manusia yang merasa telah bebuat sebaik-baiknya, padahal amal perbuatan mereka sesat. (QS 18:103-104).

Atau, bisa jadi juga, kekeliruan itu disebabkan karena para penyebar paham yang salah ini telah tergoda oleh hawa nafsu, dan dengan sengaja melepaskan pemahamannya terhadap kebenaran. Godaan dunia menjadi sebab utamanya.

Kebetulan, paham Pluralisme Agama merupakan proyek yang sangat mudah menyedot dana dari lembaga-lembaga asing yang bergelimang uang. Para penyebar paham ini seperti tidak peduli dengan kerusakan berpikir dan kerusakan iman yang disebabkan oleh paham Pluralisme Agama. Allah SWT berfirman:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS 7:175-176)

Ketidakpahaman dan kerancuan tentang makna paham ini ditambah lagi dengan terbitnya tulisan-tulisan, buku-buku, dan ucapan di media elektronik dari banyak orang yang sengaja atau tidak justru mengaburkan makna paham ini sebenarnya.

Belum lama ini, misalnya, ada sebuah buku yang terbit yang membahas tentang Pluralisme. Judulnya sangat indah: “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”. Penerbitnya adalah sebuah organisasi Islam dan Ford Foundation.

Di dalam buku ini kita bisa menyimak berbagai pemikiran pluralisme agama yang jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan aqidah Islam. Misalnya paham relativisme iman. Seorang penulis dalam buku ini mengajukan tiga gagasan relativisme yang bisa dijadikan dasar penghormatan dan penghargaan atas yang lain. Pertama, relativisme kultural. Dalam konteks ini, katanya, Islam adalah agama yang hanya cocok dengan kebudayaannya sendiri. Maka, manifestasi Islam mestinya ditampilkan, dikemas dan dilakukan umatnya tanpa harus memaksa yang lain mengikutinya. (hal. 58).

Penulis ini sangat menekankan kentalnya budaya Arab pada ajaran Islam. Dari beberapa contoh ritual Islam, katanya, terlihat betapa kentalnya nuansa dan pengaruh kebudayaan Arab dalam ajaran Islam. “Hal ini mudah dimengerti, sebab wahyu Islam memang turun di Arab dan Pembawa Syariat juga seorang Arab. Dari sini bisa dikatakan bahwa Islam yang selama ini dipahami sebagai yang otentik atau orisinil tak lain adalah ekspresi lokalitas Arab tersendiri. Islam yang terbentuk di Semenanjung Arab adalah hasil dialektika dan pergulatan yang intensif antara Islam dan budaya lokal setempat.” (hal. 56).

Relativisme kedua yang diajukannya ialah relativisme epistemologis. Maksudnya, pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. (hal. 58).

Sedangkan relativisme ketiga ialah relativisme teleologis. Maksudnya, dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain… Artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental. (hal. 58-59)

Paham relativisme seperti ini tentu saja menjadi masalah dalam konsep keimanan Islam yang menuntut taraf keyakinan dalam iman. Azyumardi Azra, dalam buku ini, juga mengungkap tentang konsep “Islams” (banyak Islam). Kata dia, Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Kata Azra: “Memang secara teks Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” (hal. 150).

Azra menunjuk pada contoh perbedaan pemahaman di antara para imam mazhab dalam memahami Al-Quran dan hadits. Ia juga menegaskan bahwa Al-Quran sekalipun bisa disebut punya bias kultural. “Kenapa Al-Quran harus dengan berbahasa Arab, bukan berbahasa Indonesia, bahasa Jawa? Dan ketika Al-Quran itu di-frame, disampaikan kepada manusia, dalam hal ini orang Arab, maka ketika itulah kerangka cultural Arab juga masuk.” (hal. 150-151).

Rektor UIN Jakarta ini menekankan adanya faktor budaya, sosial, lingkungan, dan sebagainya, yang akan mempengaruhi cara berpikir seseorang, termasuk dalam cara memahami Al-Quran. “Karena itulah,” katanya, “ketika kita mencoba memahami Islam, maka memahami Al-Quran akan ada perbedaan pemahaman yang tidak bisa dielakkan.” (hal. 151)

Dengan pemahaman relativisme pemikiran seperti ini, maka seseorang dapat terjebak kepada pemikiran relatif, nisbi, dan tidak yakin kepada kebenaran. Jika begitu, maka tidak ada Islam yang satu. Yang ada adalah “Islams” atau “Islam-Islam”, Islam yang banyak. Semuanya tergantung pada lingkungan kultural dan cara berpikir. Kebenaran adalah relatif, menurut tiap orang. Konsekuensi cara berpikir semacam ini, maka tidak ada tafsir Al-Quran yang qath’iy; semuanya relatif. Semuanya nisbi. Dengan begitu, maka tidak ada Islam yang satu.

Benarkah cara berpikir relativisme semacam itu? Tentu saja tidak benar dan jelas-jelas salah. Cara berpikir relativisme ini muncul dari cara pandang yang salah, yang menyamakan antara Islam – sebagai agama wahyu—dengan agama-agama lain yang tumbuh dari kultur manusia.

Karena Islam adalah agama wahyu, maka tafsir dan pemahaman terhadap Islam dan al-Quran ada yang bersifat tetap (tsawabit) dan ada yang berubah (mutaghayyarat). Tafsir juga ada yang qath’iy dan ada yang zhanniy. Ada yang sama dan ada yang berbeda, tanpa pandang latar belakang kultural penafsir. Semua penafsir al-Quran akan sama dalam memahami dan menafsirkan ayat `Qul huwallaahu ahad`.

Bahwa, Allah adalah satu. Bukan tiga, atau tiga dalam satu. Semua mufassir akan memahami QS 2:183 sebagai dasar kewajiban menjalankan shaum Ramadhan. Bahwa, puasa Ramadhan adalah wajib. Semua mufassir – apa pun latar belakang kebangsaan dan budayanya – akan sama dalam memahami QS 60:10, bahwa seorang Muslimah memang haram menikah dengan laki-laki non-muslim. Para mufassir, baik dari Jawa maupun Rusia, akan sama dalam pemahamannya, bahwa ibadah haji harus dilakukan di Tanah Suci, bukan di Surabaya atau Moskwa.

Jadi, pemahaman bahwa Islam adalah banyak (Islams), adalah pemahaman yang keliru. Islam adalah satu. Syahadatnya satu, Al-Quran-nya satu, Nabi-nya satu, dan rukun iman dan rukun Islamnya satu. Di luar yang satu itu, tidak termasuk Islam. Jika ada orang yang mengaku Islam, tetapi tidak mengakui kewajiban shalat lima waktu atau menyatakan bahwa Al-Quran adalah karangan Nabi Muhammad saw, maka pendapatnya itu jelas-jelas pendapat kufur.

Karena itu, sepanjang sejarah Islam, masalah perbedaan kultural tidaklah dijadikan sebagai hal yang signifikan. Para mufassir dan ulama Islam dari berbagai belahan dunia memahami Al-Quran dengan cara yang sama untuk hal-hal yang pokok dalam Islam. Imam Bukhari bukanlah orang Arab, tetapi cara pemahamannya terhadap Islam sama dengan Imam Syafii yang Arab. Al-Quran sendiri menegaskan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia, bukan untuk orang Arab saja.

Menyatakan bahwa Islam itu banyak, dengan contoh perbedaan fiqhiyyah di kalangan Imam Mazhab adalah contoh yang mengelirukan. Para Imam mazhab memang berbeda dalam hal furuiyyah, tetapi mereka tidak pernah berbeda tentang hal-hal yang pokok. Aqidah mereka sama.

Tidak ada yang meragukan otentisitas Al-Quran sebagai wahyu Allah. Tidak ada yang menyatakan bahwa haji bolah dikerjakan kapan saja. Tidak ada yang menyatakan, muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim.

Karena itu, seharusnya, para cendekiawan berpikir dan bersikap jujur dalam menyampaikan pemikirannya. Jangan memutar balikkan fakta dan menjerumuskan masyarakat dalam pemikiran yang salah.

Kita sekali lagi mengingatkan, agar para cendekiawan yang mengelirukan umat Islam sadar dan bertobat. Sebab, tanggung jawab mereka sangat besar, di dunia dan akhirat. Mereka bukan hanya salah untuk dirinya sendiri, tetapi juga akan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti pendapatnya.

Dengan contoh-contoh pendapat relativisme Islam tersebut, kita dapat menyimak, bagaimana maraknya paham ini disebarkan oleh para pakar dan orang-orang yang seharusnya memahami agama dengan baik.

Siti Musdah Mulia, dalam buku yang sama, juga menyatakan, bahwa interpretasi manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak mutlak atau nisbi belaka, sejalan dengan keterbatasannya sebagai manusia. (hal. 233).

Di sini kita lagi-lagi melihat, paham relativisme kebenaran menjadi landasan penyebaran paham Pluralisme Agama. Di dalam Al-Quran surat 16 :125, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyeru manusia ke jalan Allah, dengan hikmah, mauidhatil hasanah, dan bermujadalah dengan cara yang lebih baik. Rasulullah saw juga banyak memerintahkan kepada kita agar melaksanakan amar makruf nahi munkar.

Sebelum menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka tentunya, syarat pertama adalah memahami mana jalan Allah, dan mana jalan setan; mana yang makruf dan mana yang munkar.

Jika Rasulullah saw dan para Wali Songo dulu menganut paham Pluralisme Agama, sudah tentu Islam tidak akan sampai ke Nusantara. Sebab, agama-agama yang sudah ada dianggap benar, dan tidak perlu menyebarkan Islam lagi. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Nabi Muhammad saw memberi contoh, bagaimana gigihnya beliau menyeru umat manusia agar beriman kepada Allah Yang Ahad, dan beriman kepada kenabian dan kerasulannya. Wallahu a’lam. (Balikpapan, 14 Oktober 2005).

Tidak ada komentar: