Dalam buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis Nurcholish Madjid dkk menuduh Imam Syafi’i membelenggu umat Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-186
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa bagi sebagian orang di Indonesia, sosok Nurcholish Madjid telah menjadi ’idola’ dalam arti yang sebenarnya. Meskipun telah meninggal pada 29 Agustus 2005 lalu, Nurcholish Madjid telah menjadi gantungan hidup berbagai orang. Ia telah dikultuskan, bahkan diberhalakan. Ia telah di-Firaun-kan. Sosoknya terus dipuja dan pendapat-pendapatnya terus disebarkan ke tengah masyarakat, tanpa kritik yang berarti. Seolah-olah dia adalah manusia suci tanpa kesalahan dalam pemikirannya. Seolah-olah dia adalah pemikir terbesar dalam sejarah Indonesia yang pendapat-pendapatnya membawa kesejahteraan dan kemajuan bagi umat Islam.
Upaya untuk memberikan penghormatan secara berlebihan kepada Nurcholish Madjid juga terlihat dalam penerbitan buku Ensiklopedi Nurcholish Madjid, yang diluncurkan Februari 2007 lalu. Upaya ini bisa dilihat sebagai upaya serius dan sistematis dengan dukungan dana yang sangat besar. Buku ini antara lain disponsori penulisannya oleh PT Astra Internasional Tbk. Penulis buku ini, Budhy Munawar-Rachman, juga membuat pengakuan:
”Selama proses penyuntingan yang memakan waktu kerja full time setahun, saya merasakan menfaat besar training filosofis dan teologis – dan utang budi intelektual – yang telah diberikan oleh dua guru besar filsafat saya, Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ dan Romo Prof. Dr. Martin Harun OFM. Mereka telah membimbing saya bagaimana melakukan kajian hermeneutis atas suatu teks filosofis keagamaan. Pelajaran yang mereka berikan telah menghasilkan buah kemampuan meyunting teks-teks Cak Nur ini, sehingga bisa tersaji baik seperti ini.”
Penulis buku ini juga mengaku sangat berhutang budi kepada Nurcholish Madjid. ”Terus terang, Cak Nur telah menyelamatkan iman saya dari ketidakpercayaan akibat gempuran renungan-renungan filosofis yang sangat kritis terhadap apa pun yang dianggap sebagai pemikiran mapan,” tulis Budhy yang juga penulis buku Islam Pluralis.
Tanpa menafikan berbagai kelebihan yang ada pada Nurcholish Madjid, pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid juga harus dikaji secara kritis. Majalah Suara Hidayatullah (edisi Maret 2007) menurunkan wawancara dengan Ahmad Rifa’i (66 tahun), anggota Dewan Pengawas Yayasan Paramadina, yang secara kritis mengakui bahwa liberalisme yang digaungkan Nurcholish Madjid lebih banyak membawa mudharat. Rifa’i juga membongkar praktik percaloan perkawinan antar-agama di Paramadina yang dimotori oleh Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer dan kawan-kawan, yang ternyata melibatkan jumlah uang yang tidak sedikit. Dari pelayanan perkawinan antar-agama ini, orang membayar Rp 10-15 juta, dan uangnya tidak masuk ke kas yayasan. Ketua Dewan Pembina Yayasan, Azyumardi Azra kemudian memutuskan melarang praktik semacam itu di Paramadina.
Sikap kritis dan proporsional terhadap pemikiran-pemikiran Nucrholish Madjid sangat diperlukan, agar generasi Islam berikutnya tidak kehilangan gambaran yang jernih dan adil tentang para pemikir Islam di Indonesia. Jangan sampai muncul persepsi bahwa pemikiran Nurcholish Madjid adalah rangkaian dari sejarah pemikiran Islam yang dibawa para pejuang dan pendakwah Islam di Indonesia, yang dimotori oleh ulama-ulama bermazhab Syafii.
Perlu kita ingat, dalam buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis Nurcholish Madjid dan kawan-kawan, sosok Nurcholish Madjid begitu dibesar-besarkan, sementara sosok Imam Syafii dikecilkan – suatu tindakan yang sangat zalim dan tidak beradab. Bagaimana mungkin bisa dikatakan satu tindakan yang beradab jika dalam buku ini dikatakan, bahwa “Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya.”
Sementara di dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid kali ini – yang penerbitannya sudah direstui oleh Nucrholish dan keluarganya -- disebutkan bahwa ”Cak Nur menganut suatu paham liberal-syariah”, dan ”ia sangat kental dengan usaha pengembangan hermeneutika Al-Quran.” Juga, ditulis, ”Dengan pengembangan hermeneutika Al-Quran ini, Cak Nur membuat suatu pembaruan yang liberal, yang sudah menjadi agendanya sejak 1970-an, hanya saja sekarang dilakukannya dengan cara yang tidak kontroversial, karena menggunakan hermeneutika Al-Quran.”
Jika disebutkan bahwa Nurcholish Madjid memang mengembangkan hermeneutika Al-Quran, kita bisa bertanya, buku apakah yang pernah ditulis oleh Nurcholish Madjid tentang hermeneutika Al-Quran? Teori apakah yang pernah dirumuskannya? Ternyata, kita tidak akan pernah menemukannya, karena Nurcholish memang tidak menulis buku hermeneutika secara serius dan ilmiah. Para ilmuan pengkaji hermeneutika di Indonesia apalagi di dunia, juga tidak menempatkan Nurcholish Madjid sebagai ilmuwan yang otoritatif di bidang ini.
Hal ini tentu berbeda dengan Imam Syafii yang menulis berbagai kitab tentang Ushul Fiqih, tentang fiqih, dan sebagainya, yang dijadikan rujukan para ulama Islam selama ratusan tahun, sampai hari ini. Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Ghazali, dan ribuan ulama lainnya, mengakui otoritas Imam Syafii di bidang ini. Tetapi, bagi Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya para penulis buku Fiqih Lintas Agama, Imam Syafii dianggap sebagai batu penghalang besar bagi misi liberalisasi mereka, sehingga mereka melakukan kezaliman intelektual yang akhirnya akan menistakan diri mereka sendiri.
Namun, para pendukung Nurcholish Madjid seperti sudah menutup diri terhadap kritik. Mereka enggan menarik buku Fiqih Lintas Agama dan lain-lain. Mereka terus memujanya secara berlebihan. Pada 22 Desember 2006, beberapa bulan sebelum peluncuran Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo menulis satu ulasan di Harian Kompas berjudul: “Pembaruan Islam: Ensiklopedia Nucrholish Madjid”. Dawam Rahardjo menulis, bahwa buku itu merupakan upaya sistematisasi tentang “Nurcholisisme”, dan dia menyimpulkan, “Nurcholish tidak sekedar menjadi tokoh pembaru pemikiran Islam, tetapi juga seorang guru bangsa.”
Padahal, jika ditelaah dengan cermat, banyak hal yang secara ilmiah sulit dibenarkan dalam Ensiklopedi ini. Misalnya, klaim buku ini bahwa ”isu pluralisme yang dikembangkan Cak Nur, bersumber dari Ibnu Taimiyyah.” Bagi yang mendalami pemikiran pluralisme Nurcholish Madjid dan pemikiran keagamaan Ibnu Taymiyyah, tentu akan tertawa geli membaca kalimat ini. Mungkin saja ada sepotong dua potong kalimat Ibnu Taymiyyah dan Nurcholish Madjid yang seolah-olah mengandung makna pluralisme agama. Tetapi, itu sama artinya, dengan menyamakan bahwa manusia sama dengan kambing, hanya karena melihat kedua makhluk itu sama-sama mempunyai telinga.
Seperti yang disebutkan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam kritiknya terhadap pemikiran Nurcholish Madjid, salah satu persoalan mendasar pada pemikiran Nurcholish Madjid adalah problem epistemologis. Metode berpikir apa yang sebenarnya digunakan oleh Nurcholish Madjid dalam memahami Al-Quran dan Sunnah. Jika dia menggunakan hermeneutika, bagaimana sosok bangunan metodologisnya, hermeneutika yang mana yang dia pakai?
Karena itu, dalam Ensiklopedi ini, kita tidak mendapatkan bangunan pemikiran yang utuh. Apalagi, Nurcholish sering menggunakan istilah-istilah secara serampangan, sesuai dengan kemauannya sendiri. Misalnya, dimuat dalam buku ini, jawaban Nurcholish di Jurnal Ulumul Quran terhadap pertanyaan yang menyebutnya sebagai orang yang sangat liberal : ‘’Kalau begitu, memang Al-Quran itu liberal. Jadi untuk menjadi liberal, orang harus Al-Quranik !’’
Tentu saja, Nurcholish membuat definisi sendiri tentang makna kata ‘liberal’. Tetapi, jika istilah-istilah itu sudah dimaknai sendiri, memang tidak perlu didiskusikan secara ilmiah. Sebab, dalam diskusi ilmiah, harus ada kesepakatan makna. Sebagaimana tidak bisa didiskusikan, misalnya, jika ada orang bicara bahwa Al-Quran bercorak komunis, hanya karena ada ayat yang membela kaum tertindas. Kekacauan penggunaan istilah oleh Nurcholish ini sudah lama dikritik oleh Prof. HM Rasyidi.
Begitu juga dalam penggunaan istilah sekularisasi. Bagi Nurcholish, seperti juga dibahas dalam buku ini, sekularisasi misalnya, dia definisikan sebagai ‘’pembebasan diri dari tutelege (asuhan) agama, sebagai cara beragama secara dewasa, beragama dengan penuh kesadaran dan penuh pengertian, tidak sekedar konvensional belaka.’’ Pengertian kalimat itu saja sudah kontradiktif. Jika diri manusia sudah dibebaskan dari asuhan agama, bagaimana dia bisa beragama dengan penuh kedewasaan?
Definisi sekularisasi itu diambil begitu saja oleh Nurcholish dari kalimat Harvey Cox dalam bukunya ”The Secular City”, dimana Cox menyatakan: ”Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one.”
Contoh lain, penggunaan dan pemaknaan istilah yang rancu adalah dalam pemaknaan kata ’Islam’. Ditulis dalam buku ini, bahwa yang menjadi sumber gagasan tentang universalitan Islam itu justru adalah pengertian dari perkataan ‘’islam’’ itu sendiri, sebagai ‘’sikap pasrah kepada Tuhan’’. Pada dasarnya agama yang sah – al-din, ketundukan, kepatuhan, atau ketaatan, seperti yang sudah disebut di atas – tidak bisa lain dari sikap pasrah kepada Tuhan (al-islam). Tidak ada agama tanpa sikap pasrah. Berdasarkan teologi ini, semua agama yang benar, adalah agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan – mengajarkan al-islam dalam arti generiknya. Agama Islam secara par excellence tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-islam yang lain. Walaupun dalam kenyataannya, agama-agama lain itu, tidak disebut dengan nama islam, sejalan dengan lingkungan, bahasa, bahkan mode of thinking-nya.
Gagasan Nurcholish tentang makna generik islam sebagai “agama berserah diri ini, jika kita cermati, paralel dengan pemikiran teolog terkenal Katolik Karl Rahner tentang “anonymous Christianity” (Kristen tanpa nama). Gagasan ini berbicara tentang validitas agama-agama non-Kristen sebelum datangnya misi Kristen pada mereka. Begitu Bibel sudah sampai pada mereka, maka agama-agama non-Islam menjadi tidak valid lagi. Gagasan Rahner tentang teori ”anonymous Christianity” agak lebih tegas dibanding gagasan ” Islam generik”-nya Nurcholish.
Dalam gagasannya ini, Nurcholish tidak menegaskan lebih jauh, mana saja agama yang mengajarkan sikap pasrah itu. Bagaimana posisi agama-agama selain Islam sekarang ini, apakah masih bisa disebut agama al-islam? Dan yang terpenting, bagaimana cara untuk pasrah kepada Tuhan? Lebih penting lagi, siapa yang dimaksud dengan ‘Tuhan’ itu? Jika orang Hindu pasrah kepada Tuhan-nya dengan caranya sendiri, apakah bisa dia disebut ‘muslim’? Nurcholish juga tidak membahas, misalnya, bagaimana posisi kewajiban keimanan kepada Nabi Muhammad saw? Apakah orang Yahudi dan Kristen yang pasrah kepada Tuhan tetapi tidak beriman kepada kenabian Muhammad saw, bisa disebut ‘muslim’? Apa definisi dan cara ‘pasrah’? Semua itu tidak ditegaskan secara gamblang oleh Nurcholish.
Yang jelas, disebutkan dalam buku ini, Nurcholish membantah pandangan para mufassir klasik, bahwa kedatangan Al-Quran itu menghapuskan (me-mansukh-kan) keabsahan kitab-kitab sebelumnya. Kata Nurcholish, pandangan semacam itu, hanya tafsiran dan prasangka para penafsir.
Sebenarnya, pandangan Nurcholish itu perlu diklarifikasi. Al-Quran memang mewajibkan untuk mengimani kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi. Tapi, Al-Quran juga menyebutkan dengan tegas, bahwa kaum Yahudi telah melakukan tindakan yang sangat dimurkai oleh Allah, yaitu mengubah-ubah kitab mereka (Lihat, misalnya, QS 2:59, 2:75, 2:79, dsb.). Karena itu, umat Islam wajib beriman kepada Taurat, tetapi tidak diwajibkan untuk beriman kepada ‘Torah’ dan Kitab-kitab Yahudi lainnya sekarang ini. Sebab, Yudaisme saat ini, bukanlah agama yang dibawa oleh Nabi Musa, meskipun sebagiannya mungkin mengandung ajaran yang dibawa Nabi Musa a.s.
Salah satu gagasan Nurcholish yang penting untuk dikritisi adalah cara dia menerjemahkan kalimah tauhid. Ia menyebut kata Allah berasal dari kata “al-ilah”, Tuhan itu. Sehingga dia menerjemahkan Laa ilaaha illal-Llah dengan “Tiada tuhan kecuali Tuhan itu”. Penerjemahan ala Nurcholish, bahwa Allah menjadi “Tuhan itu”, dalam konsepsi Islam, tidaklah tepat. Sebab, dalam Islam, kata “Allah” adalah nama (proper-name). Bagi Islam, ”Allah” adalah nama. Karena itu, kata “Allah” tidak boleh diterjemahkan. Kalau orang masuk Islam, maka dia harus membaca syahadat: “Saya bersaksi, tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Bukannya: “Saya bersaksi, bahwa tidak ada tuhan selain Tuhan itu” dan “Yang terpuji adalah utusan Allah.” Muhammad artinya memang yang terpuji. Tapi, karena sudah menjadi nama diri, maka tidak boleh diterjemahkan.
Tradisi tidak menyebut nama Tuhan di Barat berasal dari tradisi Yahudi, yang hingga kini tidak berhasil memecahkan cara membaca empat huruf mati nama Tuhan, yaitu ‘YHWH’. Jika ketemu nama Tuhan itu, kaum Yahudi menyebutnya dengan ‘Adonai’ (Tuhan). Karena itu, kaum Yahudi-Kristen di Barat menyebut Tuhan mereka dengan ‘God’ atau ‘Lord’. ‘God’ bukan nama, tapi sebutan untuk Tuhan. Cara NM menerjemahkan Allah menjadi ‘Tuhan itu’ bisa dilihat dari tradisi Yahudi/Kristen.
Dengan berbagai penafsiran baru tentang Islam tersebut, tidaklah salah jika Majalah Tempo edisi 29 Juli 1972 memberi cap gerakan pembaruan Nurcholish Madjid sebagai “Neo-Islam di Indonesia”. Neo-Islam tentu saja artinya adalah “Islam yang baru”; Islam yang tidak sama dengan Islam sebelumnya; Islam yang tidak sama dengan Islam yang dipahami para ulama dan umat Islam selama ini.
Dari segi kemasan, Ensiklopedi Nurcholish Madjid yang diluncurkan pada Februari 2007 lalu, ini memang menawan. Tetapi, seperti disebutkan oleh penulisnya, Ensiklopedi ini bukanlah ensiklopedi ilmiah. Buku ini disebut ensiklopedi karena dibuat besar, empat jilid dengan total halaman sekitar 4.000.
Bisa dikatakan, ‘ensiklopedi’ ini laksana pasar yang memuat apa saja yang pernah ditulis atau diucapkan Nurcholish. Laiknya suatu pasar, di sana disediakan barang apa saja; mulai madu, gula, Al-Quran, cabe, garam, pupuk kandang, pakaian, sampai racun tikus. Karena itu, pembaca buku ini perlu benar-benar memahami dan membedakan, mana yang ‘madu’, ‘cabe’, ‘pecel’ dan mana yang ‘racun tikus’.
Sebagai laiknya ‘pasar’, buku ini mengandung banyak hal. Jadi, silakan pilah dan pilih mana yang ‘madu’ dan mana yang ‘racun tikus’. Memang agak repot jika ’madu’ sudah bercanpur ’racun’. Namun, pada sisi lain, buku ini menjadi tantangan yang menarik bagi para pengkritik ide pembaruan Islam, agar bisa membuat buku yang lebih baik. Bukan hanya dari segi substansi, tetapi juga kemasan. Sebab, dalam hukum pemasaran dikenal jargon, bahwa kemasan lebih penting dari isi. Sesuatu produk yang jelas-jelas mengandung racun (seperti nikotin) karena dikemas dengan bagus dan dipromosikan dengan gencar, ternyata banyak juga peminatnya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar