Jumat, 16 Januari 2009

"Seni Anjasmara"

Seniman berdalih, ketelanjangan adalah sebuah seni. Bila foto tanpa busana dipertontonkan di publik, masalahnya jadi lain. Lain hal bila disimpan di kamar. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-117

Anjasmara, yang berakting tolol sebagai si Cecep dalam sebuah sinetron TV, ternyata mampu membuat heboh. Foto-foto telanjangnya yang terpampang pada Pameran "CP Biennale 2005" di Museum Bank Indonesia Jakarta Kota, mendapatkan protes dari berbagai kalangan. Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) menilai foto-foto Anjas itu sebagai produk yang tidak santun.

Dalam siaran pers LSM yang diterima ANTARA, (19/9/2005) MTP menyatakan bahwa, karya seni seharusnya memenuhi unsur kepatutan dan kesantunan.

MTP lebih jauh menegaskan, kalangan seniman tidak bisa diperlakukan sebagai warga istimewa yang berhak mengekspresikan apa saja tanpa batas, dan bahwa kebebasan berekspresi yang di jamin di negara ini tidak berarti segala hal bisa dipamerkan kepada masyarakat umum.

Siaran pers dengan judul "Protes Pameran Foto Telanjang Anjasmara" itu menyatakan, bila suatu karya seni diungkapkan dengan foto-foto tanpa busana hanya untuk koleksi pribadi atau disimpan di kamar tidur, itu menjadi urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan, tetapi mana kala itu dipertontonkan di muka umum, apalagi diliput media massa secara bebas sehingga bisa menjangkau khalayak sangat luas, masalahnya menjadi lain.

MTP meminta para seniman untuk tidak memaksakan nilai-nilai liberal kepada masyarakat secara arogan.

"Masalah pornografi sudah sangat memprihatinkan dan melibatkan pelaku maupun korban berusia muda," demikian dikatakan MTP.

Anjasmara sendiri dalam wawancara yang dimuat salah satu tabloid ibukota, menyatakan foto-fotonya yang dibuat oleh fotografer Davy Linggar tersebut benar-benar untuk kepentingan seni. "Itu pure art," kata suami aktris Dian Nitami tersebut.

Dalam pameran "CP Biennale 2005", 5 September-5 Oktober, foto-foto telanjang Anjasmara dipersandingkan dengan foto-foto bugil model wanita, Isabel Yahya dengan menggunakan teknologi digital imaging, dalam konteks "Adam dan Hawa". Rangkaian foto tersebut menampilkan dua sosok manusia yang bisa digambarkan sebagai Adam dan Hawa, dalam pose bugil di alam bebas.

Front Pembela Islam (FPI) juga tidak tinggal diam terhadap perilaku Anjasmara. Mereka kemudian melaporkan kasus foto Anjasmara itu ke Polda Metro Jaya. Ketua laskar FPI Jakfar Sidiq mengatakan, foto Anjasmara yang terpampang di pameran itu telah menodai

perasaan umat Islam.

"Anjasmara di foto telanjang bersama model Isabele Yahya dengan berlatarbelakang kisah nabi Adam dan Hawa di Surga. Itu sudah penodaan terhadap Nabi Adam," katanya. Selain Anjasmara, FPI juga melaporkan model Isabele Yahya, fotografer Dafy Linggar dan penyelenggara pameran CP Bienalle.

Kasus foto bugil Anjasmara ini kembali mengangkat isu laten dalam diskursus “nilai” dalam seni, apakah kesenian termasuk bidang yang bebas nilai, atau tidak. Kasus seperti ini senantiasa terulang dan tidak terselesaikan, mengingat sikap negara Indonesia sendiri yang berada “serba tidak jelas” dalam masalah nilai.

Nilai apa yang digunakan untuk menilai salah dan tidaknya tindakan Anjas? Ketika menampilkan foto-foto karyanya yang terdiri atas sejumlah wanita telanjang, Darwis Triadi juga beralasan, itu semata-mata suatu seni.

Para artis lain yang pernah terkena kasus semacam ini juga berpendapat sama: seni adalah seni, tidak boleh dimasuki nilai-nilai agama.

Jika kalangan seniman berpikiran sekuler-liberal, seperti Anjasmara, Darwis Triadi, dan sebagainya, itu bisa dimaklumi. Karena mereka tidak mengatasnamakan kalangan Islam. Mereka bicara dari kalangan seniman, yang mencoba memisahkan antara seni dan agama. Seni adalah seni yang punya nilai sendiri, dan agama adalah agama, yang harus tahu batas-batasnya. Jika seni dimasuki agama, maka akan hancurlah kesenian. Itulah logika yang dikembangkan dalam seni sekuler.

Ketika kasus Inul bergulir kencang, seorang aktivis Islam Liberal menulis epilog dalam buku “Mengebor Kemunafikan”: “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri

standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.”

Dengan logika semacam itu, maka tentu saja, kasus-kasus asusila yang mengatasnamakan seni –seperti dilakukan Anjasmara– merupakan wilayah yang tidak boleh dimasuki oleh agama. Tapi, bukankah Anjasmara adalah Muslim? Apakah dia tidak boleh membawa nilai-nilai agamanya saat ia berpose telanjang?

Kita kasihan pada Anjasmara. Dia menjadi korban dari ketidaktahuannya tentang agama, artau mendapat informasi yang salah tentang agama. Sayangnya, dia kemudian membela diri, dengan menyatakan, bahwa perbuatannya adalah benar.

Jadi, salahnya dua kali: menyebarkan foto-foto telanjangnya, dan sekaligus membenarkan perbuatan yang salah. Tindakan kedua ini lebih berat salahnya. Jika opini Anjas mempengaruhi orang lain, maka dia juga akan ikut menanggung dosa orang yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikirannya.

Mudah-mudahan Anjasmara mau segera mengaku bersalah, menyesal, dan bertobat.

Tapi, jika direnungkan lebih mendalam, kasus Anjas hanyalah sebagian kecil dari problem besar dalam persoalan pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Fatwa MUI tentang pornografi dan pornoaksi yang dikeluarkan tahun 2001 tidak digubris oleh media-media massa yang tergiur untuk meraup keuntungan besar melalui penayangan pornografi.

Dalam fatwanya tentang pornografi dan pornoaksi, MUI memberikan definisi dan hukum yang jelas tentang kedua bentuk kejahatan itu.

Diantaranya, MUI memutuskan, Pertama, bahwa menggambarkan secara langsung atau tidak langsung tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan; baik melalui media cetak maupun elektronik yang dapat mengakibatkan nafsu birahi adalah haram.

Kedua, membiarkan aurat terbuka dan atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram.

Ketiga, melakukan penggambilan gambar sebagaimana dimaksud pada langkah 2 adalah haram.

Keempat, melakukan hubungan seksual atau adegan seksual di hadapan orang, melakukan pengambilan gambar hubungan seksual atau adegan seksual baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain dan melihat hubungan seksual atau adegan seksual adalah haram.

Kelima, memperbanyak, mengedarkan, menjual, maupun membeli dan melihat atau memperhatikan gambar orang, baik cetak atau visual yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan seksual adalah haram;

Keenam, berbuat intim atau berdua-duaan (khalwat) antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya, dan perbuatan sejenis lainnya yang mendekati dan atau mendorong melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, adalah haram;

Ketujuh, memperlihatkan aurat yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi

laki-laki serta seluruh tubuh wanita kecuali muka, telapak tangan dan telapak kaki adalah haram, kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan secara syar’i;

Kedelapan, memakai pakaian tembus pandang atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh adalah haram.

Tampak, bahwa fatwa MUI tentang pornografi dan pornoaksi sangat jelas dan rinci. MUI mengutip banyak ayat al-Quran dan sabda Nabi Muhammad saw yang menekankan pentingnya masalah menjaga aurat dan pakaian.

Seperti hadits Nabi saw: “Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; (1) sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi; dengan cambuk-cambuk itu mereka memukuli orang, dan (2) kaum perempuan yang berpakaian (seperti) telanjang, berjalan lenggak-lenggok, menggoda, kepala merreka bersanggul besar dibalut laksana punuk unta; mereka ini tidak akan masuk sorga dan tidak dapat mencium harumnya, padahal keharuman sorga dapat tercium dari jarak sekian.” (HR Muslim).

Fatwa MUI itu kemudian diupayakan untuk menjadi Undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi. Maka, kaum liberal bereaksi keras. Jaringan Islam Liberal, misalnya, pada 28 Juni 2005 menurunkan wawancara dengan aktivis perempuan, Dra. Myra Diarsi, MA. Wawancara diberi judul “RUU Anti Pornografi & Pornoaksi Mubazir.” Berikut ini petikan wawancaranya:

NOVRIANTONI: Orang yang menyuarakan soal moral selalu merasa tidak mungkin memperjuangkan moral tanpa regulasi pornografi dan pornoaksi itu sendiri.

MYRA: Kalau regulasi, saya kira tujuannya berbeda. Regulasi menyangkut juga soal pajak dan pengaturanya akan bagaimana. Itu berbeda dengan mengatur moral. Regulasi VCD/DVD porno dan produk tehnologi canggih lain, itu lain soal. Tapi di sini yang mau diatur adalah keseluruhan aspek yang dianggap pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Peredaran DVD porno menurut saya memang perlu dipersoalkan dan diregulasi. Itu hal yang berbeda dengan meregulasi pakaian apa yang perlu dipakai perempuan; menonjolkan pantat dan dada atau tidak, dan lain sebagainya.

Sebagai perempuan, pantat, buah dada, dan beberapa organ tubuh kami memang sudah menonjol. Lalu mau diapain? Masak dilarang menonjol!

NOVRIANTONI: Kalau RUU ini disahkan, anak-anak UI, Trisakti, dll, mungkin bisa terjerat, karena banyak yang “berpakaian menonjol”, ya?

MYRA: Tidak hanya mahasiswi, tentara saja seharusnya terjerat karena mereka menonjolkan bagian dada dan pantatnya dengan pakaian ketat. Orang-orang yang bagian pinggulnya cenderung menonjol kan kasihan juga!

Itu kan bukan kehendak mereka. Lagi pula, apa yang dijadikan masalah kalau hanya menyangkut soal pakaian yang melekat di tubuh. Saya kira, tidak ada yang dirugikan dari itu. Kalau sekelompok perempuan dijadikan komoditi, dieksploitasi secara seksual,

kemudian dijual-belikan, itu jelas ada unsur pelanggaran hak asasi manusianya. Tapi ini soal orang mau memakai apa. Apakah juga mesti diatur?

NOVRIANTONI: Bagi Anda, soalnya apakah pornografi dan pornoaksi bersifat eksploitatif atau tidak?

MYRA: Ya, karena definisi atau batasan pornografi dalam RUU ini memang tidak jelas. Karena itulah kelompok-kelompok perempuan yang progresif tidak bisa mendukung.

Kita justru melihat, kecenderungan yang lebih kuat RUU ini justu hendak menjerat orang-orang—dalam hal ini perempuan—yang justru rentan. Di RUU ini misalnya tercantum, “setiap orang dilarang mempertontonkan dan/atau mengeksploitasi pantat di muka umum”. Bagaimana membatasi definisi mempertontonkan itu? Apakah berpakaian ketat juga akan dijerat?

Demikian petikan wawancara dengan Myra Diarsi.

Dari wawancara itu kita bisa melihat, bagaimana cara pandang kaum liberal terhadap masalah pakaian dan pornografi. Mereka merasa bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri, dan karena itu, mereka boleh saja berpakaian apa saja, tanpa batasan aturan agama.

Inilah konsep kebebasan yang tidak sama dengan konsep ‘ikhtiyar’ dalam Islam. Yakni, bahwa manusia, sebagai hamba al-Khaliq, sudah seharusnya mengakui, bahwa tubuhnya, dirinya, dan semua yang dimilikinya adalah ciptaan dan amanah Allah. Sebagai amanah, maka semua itu harus diperlakukan sesuai dengan ajaran Allah SWT.

Karena aturan Allah itu begitu jelas dan gamblang, maka tidak sulit untuk menjadikannya buat semua manusia, khususnya yang mengaku Muslim.

Mengapa perlu Undang-undang? Di dunia Barat sendiri, masalah pakaian juga diatur. Di Inggris, misalnya, orang yang berdemonstrasi sambil bertelanjang bulat, ditangkap polisi. Ada aturan tentang pakaian di muka umum.

Jadi, masalahnya, bukan ada atau tidaknya aturan atau regulasi tentang pakaian dan aksi porno. Tapi, dimana letak batasannya. Dalam hal inilah bisa terjadi perbedaan antar konsep pada tiap agama dan budaya/peradaban.

Islam menetapkan batas yang tetap tentang aurat. Mana yang boleh dibuka, dan mana yang tidak boleh dibuka dan dipertontonkan di muka umum. Islam tidak menganut prinsip batasan “public decency” (kepantasan umum) sebagai batas aurat. Menurut mereka, batas aurat adalah relatif, tergantung situasi dan kondisi.

Di sebagian daerah pedalaman, maka pakaian yang halal adalah “koteka”. Di kolam renang – meskipun ditonton banyak orang – pakain renang adalah bentuk pakaian yang sah dan bernilai ibadah.

Di kontes ratu kecantikan, maka bikini adalah pakaian yang dihormati dan diwajibkan. Di kontes kecantikan internasional, jilbab wajib dilepas, dan pada sesi tertentu, wajib berpakain bikini. Kabarnya, dalam sejumlah acara klub nudis di Jakarta, mereka juga membuat peraturan, bahwa semua orang yang hadir wajib telanjang bulat.

Jadi, pada akhirnya, kasus Anjasmara, kasus Inul, dan berbagai kasus pornografi dan pornoaksi lainnya, terletak pada cara pandang seseorang tentang dirinya, tentang Tuhan, dan tentang alam (worldview).

Para ulama sudah berusaha menunjukkan tentang aturan-aturan Tuhan yang seyogyanya dihormati manusia. Jika banyak yang menentangnya, itu bukan hal yang mengherankan.

Sejak dulu, selalu ada penentang konsep-konsep ketuhanan yang dibawa oleh para Nabi, utusan Allah.

Kaum Nabi Luth, sebelum diazab oleh Allah SWT, juga mengejek dan menertawakan larangan Nabi Luth terhadap praktik homoseksual. Bahkan, akhirnya Nabi Luth sendiri terdesak.

Kaum Nabi Ibrahim malah membakar dan mengusir Ibrahim a.s. Jadi, jangan heran, jika selalu banyak manusia yang menentang dan menertawakan ajaran para Nabi. Bahkan, seringkali, para penentang ajaran Nabi itu adalah kaum cendekiawan yang menggunakan

kata-kata yang canggih dan indah dengan tujuan menipu dan menyesatkan umat manusia.

Allah SWT berfirman: “Dan demikianlah, Kami jadikan untuk setiap Nabi itu, musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS al-An’am:112). Wallahu a’lam. (Jakarta, 30 September 2005)

Tidak ada komentar: