Kamis, 15 Januari 2009

“Ketika Kampus Islam Dibajak Orientalis”

Lebih dari 30 tahun benih orientalisme mencengkram studi Islam dan semakin merambah ke berbagai bidang, termasuk studi Al-Qur'an. baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian husaini ke-159

Saat mengisi acara workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya mendapatkan hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, bernama TSAQAFAH. Jurnal ini diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat berbagai artikel menarik tentang keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan catatan adalah sebuah artikel berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam” tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID.

Melalui riset yang cukup mendalam terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy membuktikan bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh kajian para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi lebih mendasar lagi, sampai pada framework (kerangka) dan cara pandangnya

terhadap filsafat Islam.

Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa filsafatIslam hanyalah kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran rasional. Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun tetap disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah.

Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah.

Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam.

Sejumlah ilmuwan seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan berusaha memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam. Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.

Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak keras “filsafat”, tetapi ternyata juga menerima jenis filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah al-haqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).

Hamid Fahmy – yang telah menyelesaikan disertasi doktornya tentang ‘Teori Kausalitas al-Ghazali” di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, menerima secara selektif atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam.

Selain itu, mereka juga percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep asing itu. Ini berarti, simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.

Jadi, sejak awal, umat Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang asli dan riil dari para pemikir Muslim adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur asing yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.

Mengambil contoh Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama, Hamid menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal” dalam kurikulum ini adalah dimulai sejak masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh filsafat Yunani. Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat atau pemikiran filosofis. Model kajian seperti ini tidak akan memberi bekal kemampuan kepada mahasiswa untuk mengembangkan filsafat sains dalam Islam.

“Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor.

Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi tentang metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam.

Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM Rasjidi telah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian memberikan kritik-kritik yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan membahayakan aqidah Islam.

Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai rujukan dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.

Seperti pernah kita bahas, buku Harun Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan mendasar tentang Islam. Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi.”

Dalam pemaparannya, Harun mengungkap berbagai perdebatan seputar isu-isu dalam kajian filsafat, tetapi tidak melakukan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, Harun tidak memberikan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan tentang filosof Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis, “Tetapi sungguhpun ia menentang agama-agama, al-Razi bukanlah seorang ateis. Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.”

Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada akal dan tidakpercaya pada wahyu. Menurut keyakinannya akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Oleh karena itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama dia kritik. Al-Quran baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.”

Sebagai buku panduan untuk mahasiswa Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) adalah keliru dan bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.

Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam uraiannya, Harun lebih cenderung mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali. Dalam kritiknya, Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat Ibn Rusyd yang memberikan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan al-Ghazali.

Kajian Harun tentang aspek filsafat dalam Islam, menurut Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang sangat negatif, khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama.

Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan Ibnu Sina.

Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi, adalah suatu usaha untuk mempertahankan aqidah Islam dengan mengambil bahan dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan Ibnu Sina tentang emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang menegaskan, bahwa Allah menciptakan alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui pancaran. Meskipun mengakui kebaikan niat baik Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk menunjukkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd tentang kekekalan alam sudah usang untuk abad ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun Nasution tidak mengikuti perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd yang sudah usang itu,” tulis Prof. Rasjidi.

Itulah studi kritis Prof. Rasjidi terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang telah dilakukan oleh Prof. Rasjidi, karena Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek “framework” dan cara pandang. Bahkan, Hamid menawarkan perspektif baru dalam studi filsafat Islam yang belum ditawarkan oleh Prof. Rasjidi sebelumnya.

Kajian-kajian ilmiah dan serius tentang berbagai bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) saat ini merupakan proyek yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ‘proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika, misalnya, tidak bisa dianggap hal yang enteng.

Penggunaan epistemologi relatif dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework studi agama-agama dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam.

Ketika mengisi satu seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang peserta menyatakan, bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam berbagai buku dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan ‘metodologi’ yang baik adalah dalam soal teknik penulisan. Misalnya, karena banyak catatan kakinya, maka suatu tulisan disebut ilmiah dan bagus.

Kita tidak menolak metode semacam ini. Bahkan, perlu memberikan apresiasi terhadap ketekunan dankesungguhan para orientalis dalam melakukan penelitian dan penulisan tentang Islam. Terutama dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam.

Tetapi, kita juga perlu senantisa kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework kajian agama, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dengan para orientalis pada umumnya. Bagi seorang Muslim, belajar agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang dapat meningkatkan iman dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. (QS

51:56).

Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri adalah kewajiban dan merupakan ibadah. Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang menghasilkan dan memperkuat keimanan, dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah.

Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model studi seperti ini, para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu skripsi atau tesis tetap diluluskan jika dianggap sudah memenuhi syarat metode penulisan ilmiah, tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari segi isinya dalam pandangan Islam. Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan, bahwa manusia tidak akan tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini sangat keliru, sebab Allah telah menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Kita berharap para dosen di perguruan tinggi Islam dan para pejabat Departemen Agama sadar akan amanah berat yang mereka pikul saat ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau bermain-main dalam hal ilmu agama.

Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat strategis adalah dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang sejak berabad-abad lalu dilakukan oleh para orientalis.

Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam.”

Jadi, sesuai dengan niat mulia sejak awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi pusat pengembangan dan pendalaman ilmu tentang agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’.

Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan manayang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan masalah ini, bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: