Cendekiawan NU Mesir mengkritik buku Dr. Quraish Shihab tentang jilbab yang dinilainya bersandar pada ulama yang kurang otoritatif dalam fikih. Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke-147
Oleh: Adian Husaini
Majalah Media Dakwah edisi Mei 2006 ini menampilkan satu laporan menarik tentang diskusi buku jilbab Prof. Dr. Quraish Shihab yang berjudul: “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer.” Seperti dilaporkan wartawan Majalah Media Dakwah di Mesir, Mahir Moh. Soleh, diskusi itu diadakan oleh Forum Studi Al-Quran (Fordian) dan Senat Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah (SEMA FSI) pada hari Selasa, 28/3/06, di Aula Wisma Nusantara, Kairo, Mesir.
Acara ini mendapat apresiasi hangat mahasiswa Indonesia di Mesir mengingat nama Quraish Shihab memang sudah tidak asing bagi kaum Muslim
Ketika saya berkunjung ke Mesir, Februari lalu, cerita tentang pendapat Quraish Shihab soal jilbab ini juga sudah banyak diutarakan oleh kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo. Di dalam buku inilah, Quraish Shihab memaparkan pendapatnya dengan cukup terperinci tentang jilbab. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati (cetakan I, Juli 2004).
Di halaman 165-167, kita bisa membaca kesimpulan pendapat Quraish Shihab tentang jilbab: “Ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakain wanita mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadits-hadits yang merupakan rujukan utama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak meyakinkan pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok yang menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda.
Perbedaan pendapat para ulama masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai kesahihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat wanita dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul saw, tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas itu.
Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan….
Memang harus diakui, bahwa kebanyakan ulama masa lampau bahkan hingga kini, cenderung berpendapat bahwa aurat wanita mencakup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, harus pula diakui, bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar disamping kenyataan menunjukkan bahwa banyak kalangan keluarga ulama yang terpandang yang wanita-wanitanya –baik anak maupun istri – tidak mengenakan jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat Nahdhatul Ulama, atau Aisyiah. Ini, lebih-lebih sekitar belasan tahun yang lalu. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang terbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu – apalagi tanpa teguran dari para ulama – boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil.” (hal. 165-167).
Begitulah pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Pendapat Quraish itu tentu saja merupakan pendapat yang ‘aneh’ dan ‘ganjil’ di lingkungan ulama Islam. Pendapat itulah yang dikupas habis-habisan oleh para pakar tafsir dan syariah di dalam acara bedah buku di Kairo tersebut. Pembedah buku adalah tiga intelektual muda, dari tiga disiplin ilmu yang berbeda, dan dari organisasi yang berbeda (NU, Muhammadiyah, dan Persis): Dr.
al-Azhar).
Dalam acara yang berdurasi kurang lebih tiga jam ini, pembedah berhasil tampil cukup kritis dan analitis. Selain mendapatkan apresiasi, buku Quraish Syihab juga tak luput dari kritikan tajam pembedah dan peserta. Lain dengan Quraish Syihab yang tidak bersikap tegas, ketiga pembedah sepakat bahwa mengenakan jilbab hukumnya wajib bagi wanita muslimah. "Kewajiban berjilbab dengan ketentuan tertentu, didasari atas dalil dan qarinah (petunjuk) yang sangat kuat, jika tidak ingin mengatakan qhathi' (yakin)," kata Muchlis Hanafi.
Aep Saepulloh, mahasiswa asal Ciamis yang juga penasihat Perwakilan PERSIS Mesir mengungkapkan tujuh catatan kritis untuk Quraish Shihab. Diantaranya kekurangtepatan Quraish Shihab dalam mengutip atau menyandarkan pendapat, kekeliruan dalam penerjemahan istilah-istilah seperti tangan dan telapak tangan, dll. Menurutnya, dalam membedah karya seseorang adalah dengan cara Ta’shil Maraji’ yaitu dengan melihat kembali sumber asli yang ditunjukkan oleh penulis sehingga terlihat keakuratan data yang disampaikan.
Aep menyoroti bahwa menurut buku itu, seolah-olah tidak ada kata sepakat tentang batasan aurat wanita, dikarenakan perbedaan pendapat diantara para ulama dalam hal ini. Padahal, yang dijadikan rujukan utama oleh Quraish Shihab dalam masalah ‘perbedaan’ ini adalah pemikir sekular Mesir yang bernama Muhammad Said al-'Asymawi. Bahkan ia satu-satunya yang dimaksud Quraish dalam bukunya. Bahkan sebagian besar buku ini, 30 persen adalah pendapat Asymawi yang terdapat dalam bukunya Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadits.
Kritik Aep ini sangat penting, sebab Asymawi bukanlah pakar yang otoritatif dalam bidang Syariat Islam, yang sepatutnya tidak disejajarkan oleh Quraish Shihab dengan para ulama-ulama besar yang otoritatif di bidangnya. Asymawi pun juga dikenal sebagai tokoh pluralisme agama yang mengakui kebenaran relatif tiap-tiap agama.
Dalam sebuah tulisannya dia mencatat, bahwa perbedaan bentuk agama-agama hanyalah soal perbedaan verbal, perbedaan interpretasi linguistik, dan perbedaan sikap filosofis. Manusia percaya kepada huruf dan berbeda pendapat tentang huruf dan tidak mempunyai definisi yang pasti tentang huruf dan tidak menjauhkan iman dari huruf. (If we analyze the disagreements between the different forms of religion we will find that they are mainly verbal disagreement, linguistic interpretations and philosophical attitudes. People believe in words and differ about words, without having a precise defintion of words and without keeping the faith away from words). (Lihat, Muhammad Sa’id al-Ashmawy, “Islam, Judaism, Christianity: One Religion, One Vision, Many Paths” dalam Against Islamic Extremism, (Gainesville: University Press of Florida, 1998), hal. 56-57).
Cara pandang ‘hermeneutis’ Asymawi itu menunjukkan bagaimana dia percaya pada relativisme tafsir. Karena itu, wajar jika dia termasuk yang tidak percaya tentang adanya ayat yang qath’iy. Semuanya bisa ditafsirkan sesuai dengan kehendak mufassir dan situasi tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah ayat tentang jilbab yang boleh ditafsirkan sekehendaknya.
Dalam Majalah Media Dakwah juga disebutkan kritik Zain an-Najah, ketua Majlis Tarjih di PCI Muhammadiyah Mesir.
Zain juga membahas tentang qadhiyah jilbab dan cadar. Menurutnya pakaian dapat dinilai sebagai barometer keimanan yang sudah diatur dalam tata nilai Islam karena tujuannya tiada lain untuk menutup aurat dan juga keindahan. Zain menegaskan perlunya membedakan antara ‘illat dan hikmah yang seringkali dijadikan landasan untuk mengistinbath hukum, terlebih dengan hukum jilbab. Zain an-Najah sendiri berharap agar semua sedapat mungkin mengajak wanita muslimah yang belum menutup auratnya untuk menggunakan jilbab dan pakaian yang sesuai dengan adab yang telah ditetapkan oleh syariat.
Muchlis Hanafi yang juga Katib Aam PCI NU Mesir, menjelaskan, dalam persoalan jilbab, praktek para shahabiyyat yang tidak disanggah oleh Rasulullah bahkan dikuatkan, dan pemahaman para shahabiyyin, serta penerimaan ummat dari generasi ke generasi, secara keseluruhan, menjadi bukti dan qarinah bahwa yang dimaksud dalam ayat hijab dan jilbab adalah, bahwa para wanita harus menutup seluruh anggota badan, tanpa kecuali, atau dengan pengecualian wajah, kedua telapak tangan, ditambah kelonggaran sedikit; setengah tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Tidak ditemukan pandangan ulama yang diakui otoritas keilmuannya yang berpendapat rambut, leher, betis dan lainnya boleh dibuka, tambah Muchlis.
Muchlis juga mengkritik pendapat Asymawi yang mengatakan bahwa memakai jilbab tidak wajib, karena ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewajiban jilbab sangat terkait dengan konteks tertentu (ada asbabun nuzul-nya), dan konteks ini hendaknya harus menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan hukum.
Kedua, Istilah asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al-Quran), dalam tradisi Ulama Islam tidak dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), yang berarti kalau peristiwa itu tidak turun, maka ayatnya tidak turun. Tapi lebih berperan sebagai peristiwa/audio visual (alat peraga) yang mengiringi turunnya ayat. Selain itu, mengkhususkan lafal ayat Al-Quran hanya berlaku pada kasus tertentu, tidak bersifat umum, berarti menzalimi lafal itu sendiri.
Sebab lafal yang dasarnya bersifat umum dan menunjuk makna yang telah jelas digunakan pemakainya, tidak bisa dikhususkan atau dialihkan ke makna lain, kecuali didukung bukti kuat. Dan asbabun nuzul tidak cukup kuat untuk mengkhususkan pesan umum sebuah lafal Aep Saepulloh, dalam catatan akhirnya, menginginkan agar Quraish tidak menerbitkan buku sebatas mendeskripsikan pendapat sementara “ulama” yang kurang otoritatif pada bidangnya seperti Syahrur, Asymawi, Nawal Sa’dawi atau yang lainnya yang memang tidak memiliki basic fikih yang memadai. Sedangkan Zain sangat menyayangkan sikap Quraish yang tawaquf .
“Kehati-hatian memang sangat diperlukan namun kebimbangan yang berkepanjangan kurang tepat apalagi jika qadiyah yang sudah dibahas oleh para ulama yang diakui otoritas keilmuannya (mu'tabar),” tuturnya. Itulah kritik yang tajam dari para cendekiawan muda kita di Mesir terhadap Quraish Shihab, seperti dolaporkan Majalah Media Dakwah.
Memang sangat disesalkan, di tengah-tengah maraknya kaum Muslimah untuk berjilbab, Pusat Studi Quran yang dipimpin Quraish Shihab malah meluncurkan buku Quraish Shihab yang hujjahnya begitu lemah. Dalam soal jilbab ini, terkesan kuat, Quraish Shihab mencari-cari dalil yang longgar, meskipun bukan dari sumber yang otoritatif. Misalnya, dari banyaknya keluarga ulama di
Padahal, sikap resmi Muhammadiyah sendiri tidak seperti itu. Dalam buku Tanya Jawab Agama dari Tim PP Muhammadiyah dan Tarjih yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1997), bahkan ditunjukkan contoh pakaian yang harus dikenakan seorang Muslimah, yakni yang menutup leher dan dada dan hanya menampakkan wajah dan telapak tangan. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar