Kamis, 15 Januari 2009

“Harapan untuk Rektor UIN Jakarta yang Baru”

Dr. Komarudin Hidayat dilantaik sebagai rektor baru UIN. Bisakah Komaruddin membawa UIN menjadi kampus Islami? Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-167

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah memilih Prof. Dr. Komarudin Hidayat sebagai rektor baru, menggantikan Prof. Dr. Azyumardi Azra. Tampilnya Komarudin Hidayat sebagai rektor UIN yang baru sudah banyak diperkirakan sebelumnya.

Dari segi pemikiran pun, keduanya selama ini masih dikenal ‘satu warna’, yakni sama-sama pro kepada pemikiran Islam-nya Nurcholish Madjid. Keduanya juga sama-sama orang Paramadina.

Jika demikian, apakah ada yang perlu diharapkan dari Komarudin Hidayat? Apakah ada kemungkinan dia akan berubah dan berani menyalahi pemikiran ‘seniornya’, yaitu Nurcholish Madjid? Kita masih harus menunggu bukti-bukti nyata. Memang, akhir-akhir ini, Komaruddin Hidayat tidak termasuk barisan pemikir yang secara aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama dan tidak terlibat dalam aksi perkawinan antar agama yang dilakukan oleh beberapa dosen UIN Jakarta dan personil Paramadina. Bahkan, di Harian Republika, (18/10/2006), diberitakan bahwa Komarudin Hidayat tidak setuju dengan sekularisme dan Pluralisme. Saya sempat mengkonfirmasi langsung kepada Komarudin Hidayat tentang berita di Harian Republika tersebut.

Siapa pun dan apa pun pemikiran Komarudin Hidayat di masa lalu, masih ada ruang untuk kita berharap kepadanya:

Pertama, kita berharap, agar dia melakukan perbaikan kualitas pendidikan di UIN Jakarta; agar UIN Jakarta benar-benar dapat menjadi perguruan tinggi Islam yang berkualitas dan mampu membangun budaya ilmu yang tinggi di lingkungannya. Perguruan Tinggi adalah tempat orang-orang yang menghargai ilmu, lebih kepada yang lain.

Perguruan Tinggi Islam bukanlah tempat orang untuk memburu kekayaan atau memburu gelar untuk kepentingan materi dan kedudukan, apalagi menjual ilmu dengan harga yang murah (tsamanan qalila) kepada pihak-pihak yang jelas-jelas selama ini tidak pernah berniat baik kepada Islam.

Kedua, kita berharap, rektor UIN yang baru akan mampu dan berani melakukan terobosan dengan meninjau ulang orientasi studi Islam yang ‘terlalu ke Barat’ (western oriented). Pengiriman dosen-dosen ke Barat perlu diimbangi dengan kewaspadaan dan bekal yang memadai tentang Islam dan tentang Barat, agar setelah belajar ke sana, para dosen itu tidak menjadi ‘antek’ orientalis dalam pengembangan keilmuan Islam.

Kita sudah kenyang menyaksikan banyaknya ilmuwan yang setelah pulang dari studinya di luar negeri, justru lebih sok orientalis ketimbang orientalis sendiri dalam menghujat Islam. Tidak sedikit mereka yang belajar Quran kepada kaum orientalis, bukannya semakin rajin memperjuangkan penerapan Al-Quran, tetapi malah menghujat Al-Quran dan menggugat otentisitas Al-Quran. Pengaruh orientalis dalam studi Islam sudah begitu jelas.

Bahkan, dalam salah satu tujuan kurikulum di UIN Jakarta jelas-jelas menyatakan “untuk menerapkan kajian orientalis dalam bidang Al-Quran dan hadits”.

Tentu saja mengkaji orientalis adalah sangat baik, asalkan disertai dengan sikap kritis. Salah satu indikator yang penting untuk masalah ini adalah keberanian Komarudin Hidayat untuk meninjau kembali penggunaan buku ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’ karya Prof. Harun Nasution sebagai buku pegangan dalam studi Islam di UIN Jakarta.

Buku ini sudah 33 tahun dijadikan sebagai buku pegangan di perguruan tinggi Islam. Padahal, begitu banyak terbukti kekeliruannya. Kita sudah pernah membahas isi buku ini secara panjang lebar. Diantaranya yang sangat fatal adalah menempatkan Islam sebagai ‘evolving religion’ dan menyatakan bahwa agama Tauhid adalah

Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Juga, dikatakan dalam buku ini, bahwa agama yang memelihara tauhid murni adalah Islam dan Yahudi.

Sejak tahun 1975, Prof. HM Rasjidi telah mengingatkan bahaya buku ini bagi aqidah dan pemikiran mahasiswa. Tetapi, peringatan Prof. Rasjidi itu tidak pernah digubris. Pada 22 Desember 2005, dalam acara workshop di UIN Jakarta yang diprakarsai oleh Komarudin Hidayat, saya juga sudah mengingatkan kembali peringatan Prof. HM Rasjidi tersebut.

Dalam buku saya “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi”, masalah ini pun saya tulis secara khusus. Mudah-mudahan, Prof. Komarudin Hidayat mampu melakukan terobosan dan memiliki keberanian untuk mengoreksi gurunya sendiri, yaitu Prof. Harun Nasution.

Ketiga, kita berharap, rektor UIN yang baru ini akan berani melakukan penertiban terhadap civitas akademikanya, khususnya dosen-dosen UIN Jakarta yang secara terang-terangan menyebarkan paham-paham yang menyesatkan umat, seperti paham Pluralisme Agama dan menjadi ‘penghulu swasta’ dalam acara-acara perkawinan antar-agama. Sebagai rektor, Komarudin Hidayat seyogyanya berani memanggil mereka dalam sidang senat guru besar untuk mengklarifikasi dan meminta pertanggungjawaban secara moral dan secara ilmiah.

Sebab, bagaimana pun, ulah beberapa dosen itu jelas-jelas mencoreng nama kampus dan menambah citra buruk pada UIN Jakarta di mata umat Islam. Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Gara-gara ulah beberapa dosen, rusaklah citra UIN secara keseluruhan.

Secara resmi, minimal, pimpinan UIN perlu membuat pengumuman kepada publik, bahwa tindakan sejumlah dosen yang menyimpang dari ajaran Islam, adalah tanggung jawa pribadi dan di luar tanggung jawab institusi.

Bagaimana pun, sikap sejumlah dosen UIN yang merusak Islam tidak bisa dilepaskan dari nama lembaga UIN itu sendiri. Kemunkaran yang dilakukan oleh orang-orang yang berstatus sebagai cendekiawan atau ulama tentulah merupakan kejahatan yang besar, melampaui kesalahan

yang dibuat orang-orang biasa. Allah akan membinasakan atau menghukum satu kaum yang membiarkan kemunkaran terjadi di sekitarnya. Dan kemunkaran terbesar di dunia ini adalah kemunkaran ilmu, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, seperti dilakukan oleh sejumlah cendekiawan dewasa ini.

Sebagai pimpinan UIN Jakarta yang baru, Komarudin Hidayat ditunggu keberaniannya untuk bersikap tegas dalam soal kebenaran ; berani menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar di kampusnya. Dari sudut pandang Islam, menjadi penghulu swasta untuk pernikahan muslimah dengan laki-laki non-Muslim bisa disamakan dengan tindakan legalisasi perzinahan. Perbuatan menjadi ‘penghulu swasta’ dalam perkawinan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah perbuatan amoral yang sangat keterlaluan. Apalagi itu dilakukan oleh orang-orang yang berstatus sebagai dosen UIN Jakarta.

Keempat, kita berharap, rektor UIN Jakarta yang baru ini mampu menumbuhkan suasana yang Islami di kampus UIN Jakarta ; bersikap tegas terhadap tindakan-tindakan dan kegiatan yang menjurus kepada hura-hura dan kemunkaran. Tidaklah patut jika di satu kampus berlabel Islam diselenggarakan pesta musik rock di tengah kumandang azan shalat.

Alangkah indahnya, jika begitu masuk kampus UIN Jakarta, orang akan merasakan suasana yang Islami, suasana keilmuan yang tinggi, dan lingkungan kampus yang asri dan islami.

Kelima, kita pun berharap, Prof. Komarudin Hidayat akan berani bersikap kritis terhadap pemikiran Nurcholish Madjid, seniornya sendiri. Meskipun bertahun-tahun dia menjadi pembela dan ‘juru bicara’ Nurcholish Madjid, sebagai seorang intelektual yang cerdas, dia diharapkan mampu bersikap mandiri dalam berpikir, tidak fanatik buta terhadap pemikiran Nurcholish Madjid yang sudah terbukti banyak kekeliruannya.

Ini mungkin tidak mudah bagi Komarudin Hidayat. Tetapi, sangatlah bijak jika dia melakukan kajian ulang terhadap pemikiran keislaman Nurcholish Madjid, seperti paham Pluralisme Agama.

Dalam buku berjudul ‘Menembus Batas Tradisi: Menuju Masa Depan yang Membebaskan’ yang merupakan refleksi atas pemikiran Nurcholish Madjid terbitan Universitas Paramadina (2006) secara jelas bisa dibaca pemikiran Islam versi Nurcholish Madjid yang pluralistik dan relativistik.

Ditulis dalam buku ini : ‘’Kebenaran adalah absolut benar bagi masing-masing pemeluknya. Kedua, tidak ada penafsiran yang mutlak benar, karena penafsiran hanyalah hasil penalaran dan pemahaman manusia terhadap agama, karenanya kebenaran yang dikandungnya pun niscaya relatif.” (hal. 223). Kita dengan mudah bisa mengkritik paham relativisme Nurcholish Madjid seperti itu. Allah SWT mengkaruniai akal manusia dengan kemampuan untuk memahami dan meyakini kebenaran. Pemahaman kita tentang Al-Quran yang qath’iy bisa bernilai qath’iy dan mutlak, bukan hanya untuk orang Islam tetapi juga untuk semua umat manusia. Kita memahami dan menafsirkan Al-Quran Surat an-Nisa ayat 147 dengan satu pemahaman yang pasti dan yakin, bahwa Nabi Isa a.s. tidak mati di tiang salib.

Kebenaran kita itu bukan hanya untuk umat Islam saja, tetapi juga berlaku untuk umat manusia lainnya. Kita tentu akan menyatakan salah terhadap paham yang menyatakan bahwa Nabi Isa mati di tiang salib. Dengan membaca surat al-Ikhlas kita memahami dan meyakini dengan pasti – tanpa ragu-ragu – bahwa Allah SWT tidak punya anak dan tidak diperanakkan.

Nurcholish Madjid juga sangat keliru ketika menyatakan, bahwa “ketika agama menjadi eksklusif dan tertutup, menganggap agama lain salah dan menyesatkan, maka agama akan menjadi pemantik timbulnya bentuk-bentuk kekerasan yang berujung konflik.” (hal. 222).

Ketika seorang Muslim meyakini kebenaran agamanya sendiri, tidaklah otomatis umat Islam akan melakukan kekerasan terhadap agama lain. Itu pernyataan yang sangat keliru dan a-historis. Sejak awal, Al-Quran sudah menegaskan, bahwa dalam pandangan Allah, ad-Din hanyalah Islam, dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima oleh Allah, dan di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3:19, 85). Namun, pada saat yang sama, Al-Quran juga melarang kaum Muslimin memaksa orang lain masuk Islam.

Bahkan, banyak sabda Nabi saw yang melarang kaum Muslim menyakiti kaum non-Muslim. Dalam sejarah, umat Islam telah menunjukkan keteladanan yang tinggi dalam penghormatan terhadap agama lain, meskipun umat Islam tetap meyakini kebenaran agamanya sendiri.

Kasus yang dibawakan oleh Nurcholish Madjid, bahwa ketika agama bersifat eksklusif maka menjadi pemantik timbulnya kekerasan adalah kasus agama Kristen di Eropa ketika menganut jargon ‘extra ecclesiam nulla salus’ (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Tahun 1965, Gereja memang akhirnya mengubah teologi eksklusifnya menjadi inklusif. Lalu, teologi Nurcholish Madjid juga ikut-ikutan diberi nama ‘Teologi Inklusif’, mengikuti tradisi Kristen.

Itulah beberapa contoh kekeliruan pandangan Pluralisme dan relativisme Nurcholish Madjid. Mudah-mudahan, dengan posisinya sebagai Rektor UIN Jakarta, Komarudin Hidayat memiliki kejernihan dan keberanian berpikir untuk keluar dari bayang-bayang pikiran Nurcholish Madjid, sehingga suatu ketika tergerak pikiran dan hatinya untuk bisa mengoreksi pandangan seniornya tersebut.

Demikian harapan singkat kita terhadap Rektor UIN Jakarta yang baru. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan kebenaran dan nasehat. Diterima atau tidak, bukan urusan kita lagi. Bagi kita amal kita dan baginya amal dia. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: