Kamis, 15 Januari 2009

"Islam Ragu-ragu" versi Rektor UIN Yogya

Rektor IAIN mengajak mahasiswa ‘mencurigai’ agamanya sendiri. Metode ini bisa melahirkan sarjana yang tadinya belajar ushuluddin menjadi “ucul”-“din” (agamanya lepas). Baca CAP Adian Husaini ke-120

Di kalangan akademisi muslim Indonesia, nama Prof. Dr. M. Amin Abdullah tidak asing lagi. Selain menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri Yogyakarta (dulunya IAIN Yogya), dia juga pernah menjabat posisi penting di PP Muhammadiyah, sebagai Ketua Majlis Tarjih dan Pemikiran Islam. Tetapi, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, tahun 2005, namanya terpental dari jajaran pimpinan pusat Muhammadiyah.

Dia berlatarbelakang pendidikan bidang filsafat Islam. Lulus PhD dari Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki, tahun 1990.

Sebagai akademisi dan penulis, tulisan Amin Abdullah tersebar di berbagai buku, jurnal, dan media massa.

Bidang yang sering ditulisnya terutama masalah filsafat dan epistemologi Islam. Tapi, karena sangat gencar mempromosikan penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur'an, dia kadang kala juga dijuluki “Bapak Hermeneutika Indonesia”.

Komitmennya dan kegigihannya dalam mempromosikan hermeneutika sebagai metode “tafsir baru” pengganti metode tafsir al-Quran yang klasik, tampak dalam berbagai tulisannya tentang hermeneutika.

Di UIN Yogyakarta, penggunaan metodologi hermeneutika dalam tafsir Al-Qur'anmemang sangat digalakkan, sampai-sampai seorang mahasiswa yang bermaksud mengritik metode ini mengaku “akan membentur tembok”.

Disamping mempromosikan hermeneutika, Amin Abdullah tentu saja harus melakukan kritik terhadap metode tafsir Al-Qur'an. Ia menulis dalam sebuah pengantar untuk buku tentang hermeneutika, bahwa “tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.”

Penulis buku itu pun dengan semena-mena mengecam tafsir-tafsir klasik, tanpa data dan analisis yang memadai, dimana letak kekurangan dan ketidakberesan tafsir-tafsir klasik.

Ditulis dalam buku ini: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.” (Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 2002, hal. xxv-xxvi, 10).

Kecurigaan terhadap mufassir dan para ulama Islam juga tak luput dari goresan tangan Abdullah. Di dalam tulisannya yang lain, Amin Abdullah mengajak pembaca untuk mencurigai ilmu-ilmu keagamaan, tanpa membedakan antara ilmu keagamaan dalam Islam, dengan ilmu keagamaan yang muncul dalam tradisi peradaban Barat yang berlatar belakang sejarah Yahudi dan Kristen. Ia tulis, misalnya:

“Dari studi empiris-historis terhadap fenomena keagamaan diperoleh masukan bahwa agama sesungguhnya juga sarat dengan berbagai “kepentingan” yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.” (Pengantar buku Metodologi Studi Agama, 2000, hal. 2)

Bagi mahasiswa baru dalam bidang studi Islam, pernyataan-pernyataan profesor dan rektor sebuah kampus berlabel Islam semacam itu, bisa jadi melenakan. Sebab, kata-kata yang ditebar cukup halus. Para ulama dan ilmuwan keagamaan, apa pun agamanya, adalah manusia biasa. Karena itu, mereka pasti punya kepentingan dengan ilmu-ilmu yang disusunnya.

Sepintas, kata-kata Amin Abdullah itu logis. Padahal, jika didalami, ada kekeliruan mendasar dalam cara berpikir, karena metodologi “gebyah uyah” (serampangan) dalam menyamakan antara tradisi keilmuan Islam dengan tradisi keilmuan Barat.

Di dalam Islam, ada tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Ada konsep “fasiq”, dimana seorang yang –meskipun berilmu tinggi– tetapi berbuat jahat, dapat terkena ketegori fasiq, dan karena itu, periwayatan dan beritanya perlu diklarifikasi. Jika dia fasiq, maka sebagian ulama melarangnya menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan.

Di dalam ilmu hadis, ada ilmu Jarah wa Ta’dil, yang secara terbuka membeberkan sifat-sifat buruk perawi hadits, seperti pembohong, dan sebagainya. Karena itu, di dalam tradisi keilmuan Islam, kita akan menjumpai ilmuwan-ilmuwan yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus juga sangat shalih dalam beragama. Itu bisa kita jumpai pada Imam-imam mazhab, Imam Bukhari, Imam al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Mereka bukan hanya ilmuwan, tetapi juga mujahid dan ahli ibadah.

Tradisi seperti itu tidak terjadi dalam sistem keilmuan di Barat yang sekular. Di dalam tradisi ilmu yang berakar pada tradisi keilmuan Yunani, ada pemisahan antara orang pintar dan orang saleh.

Banyak ilmuwan pintar dan dihormati oleh masyarakatnya, meskipun amalnya bejat. Seorang ilmuwan di Barat, tetap dianggap sebagai ilmuwan yang dihormati, meskipun tidak jelas agamanya dan amalan-amalan agamanya.

Paul Johnson, dalam bukunya “Intellectuals” (1988), memaparkan kehidupan dan moralitas sejumlah ilmuwan besar yang menjadi rujukan keilmuan di Barat dan dunia internasional saat ini, seperti Ruosseau, Henrik Ibsen, Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Karl Marx, Bertrand Russel, Jean-Paul Sartre, dan beberapa lainnya. Ruosseau, misalnya, dicatatnya sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting madman).

Pada tahun 1728, saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise-Louise de Warens. Ernest Hemingway, seorang ilmuwan jenius, tidak memiliki agama yang jelas. Kedua orang tuanya adalah pengikut Kristen yang taat. Istri pertamanya, Hadley, menyatakan, ia hanya melihat Hemingway sembahyang selama dua kali, yaitu saat perkawinan dan pembaptisan anaknya.

Untuk menyenangkan istri keduanya, Pauline, dia berganti agama menjadi Katolik Roma. Kata Johnson, dia bukan saja tidak percaya kepada Tuhan, tetapi menganggap ‘organized religion’ sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia. (He not only did not believe in God, but regarded organized religion as a menace to human happiness).

Sebagai ilmuwan, seyogyanya Rektor UIN Yogya itu memberikan klarifikasi dan penjelasan yang bertanggung jawab terhadap tulisannya, bahwa “Dari studi empiris-historis terhadap fenomena keagamaan diperoleh masukan bahwa agama sesungguhnya juga sarat dengan berbagai “kepentingan” yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.”

Jika dia katakan, agama –termasuk Islam– adalah sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel pada ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan, maka dia harus menjelaskan, apa kepentingan Sayyidina Utsman menghimpun Mushaf Al-Qur'an, apa kepentingan Imam Bukhari mengumpulkan dan menyeleksi hadits-hadits Nabi, apa kepentingan Imam Syafii menulis Kitab Risalah? Apakah kita harus mencurigai tindakan keilmuan sahabat-sahabat Rasululullah dan ulama-ulama Islam yang begitu besar jasanya terhadap pengembangan keilmuan Islam, sehingga kita harus menyatakan, bahwa mereka semua pasti punya kepentingan.

Apakah kita tidak bisa berprasangka baik terhadap mereka, dan mengakui keikhlasan dan jasa mereka yang luas biasa dalam menyusun ilmu-ilmu agama (ulumuddin)?

Metode studi Islam yang –maaf, sok– bersikap kritis ini bisa pada akhirnya berdampak kepada keragu-keraguan pada para pelajar dan mahasiswa.

Mereka yang belajar Islam dengan cara-cara seperti ini, bukan tidak mungkin akan terjebak pada keraguan dan ketidakyakinan terhadap ajaran agamanya sendiri.

Akhirnya, dari metode ini bisa lahir sarjana-sarjana yang justru rajin menghujat agamanya, ragu dengan kebenaran agamanya, dan bahkan memusuhi agamanya. Orang yang belajar ushuluddin (dasar-dasar agama), bukannya semakin yakin dengan agamanya, tetapi bisa jadi malah “ucul”-“din”nya (agamanya lepas).

Tidak sedikit para sarjana syariah lulusan perguruan tinggi Islam, yang akhirnya justru gigih menentang dan aktif menulis artikel yang menghancurkan dan menghina syariat Islam.

Kita sungguh tidak habis mengerti, misalnya, bagaimana dari sebuah kampus berlabel Islam, seperti UIN Yogya, bisa muncul tesis master yang justru menghujat Al-Qur'an, dan menyatakan, bahwa “Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian.

Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” (Lihat buku: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (2004), hal. 123)

Penulis tesis itu dan juga para dosen serta rektor kampus itu seolah-olah tenang-tenang saja dengan fenomena semacam itu, dan tidak takut dengan akibat yang ditimbulkan jika ada orang yang terpengaruh dengan ide sesat itu.

Apakah mereka tidak takut dengan dosa jika ada yang kemudian meragukan kebenaran Al-Qur'an, karena membaca tesis yang sudah dibukukan itu? Jika orang sudah meragukan kebenaran Al-Qur'an, lalu bagaimana dia bisa beriman dan meyakini rukun iman yang disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti Malaikat, Hari Kiamat, dan sebagainya?

Penanaman keragu-raguan terhadap Islam bagi mahasiswa Muslim tampaknya kini banyak dilakukan oleh para dosen-dosennya sendiri. Dan itu bukan hal yang aneh, jika kita menyimak tulisan lain dari Amin Abdullah, Sang Rektor. Dalam pengantarnya untuk sebuah buku berjudul “Hermeneutika Al-Quran” (2005), Amin secara gamblang menulis, bahwa:

“Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapa pun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah “terbatas”, “parsial-kontekstual pemahamannya”, serta “bisa saja keliru”.

Cara berpikir Amin seperti itu sama saja dengan membongkar sistem keilmuan dalam Islam. Sebab, tidak ada lagi pemikiran yang bersifat pasti dan qath’iy.

Tidak ada tafsir yang tetap dan pasti kebenarannya. Semua terbatas dan bisa saja keliru. Juga, tidak ada lagi konsep ‘tawatur’, berita yang dipastikan kebenarannya. Kita bisa mempertanyakan kepada Rektor UIN Yogya itu, bagaimana dengan konsep “keadilan para sahabat” dan ijma’ sahabat? Pengumpulan Mushaf Utsmani adalah berdasarkan ijma’ sahabat.

Dengan cara berpikir Amin Abdullah, maka bisa saja pengumpulan Al-Qur'an itu keliru. Sebab, para sahabat Rasulullah itu adalah manusia dan kumpulan manusia. Dan selama mereka pada level manusia, maka mereka “bisa saja keliru”.

Jadi, ijma’ para sahabat Rasululullah saw itu – menurut cara berpikir Rektor UIN Yogya – bisa saja keliru.

Cara berpikir semacam itu bisa kita katakan sebagai bentuk ‘Islam ragu-ragu’. Islam yang serba tidak pasti. Tidak ada kebenaran yang pasti. Itulah tugas hermeneutika. Malah, lanjut Sang Rektor lagi, tugas hermeneutika itu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang untuk “Selalu Benar”.

Tidak mengherankan, katanya, jika kemudian kehadiran hermeneutika sebagai salah satu disiplin kajian yang mencermati proses epistemologis-ontologis pemahaman manusia banyak mendapat tantanan. Dan tentangan paling keras terhadap hermeneutika muncul dari ranah agama-agama yang harus diakui merupakan ladang paling subur bagi lahirnya “Klaim Kebenaran”.

Itulah kata-kata Sang Rektor UIN Yogya, yang sangat membanggakan hermeneutika sebagai metodologi pemahaman Al-Qur'an, yang menurutnya mampu membongkar hal-hal yang selama ini dianggap sebagai satu bentuk kepastian.

Dengan cara berpikir Rektor seperti itu, maka kita tidak heran, jika dari kampus berlabel Islam itu lahir sarjana-sarjana versi ‘Islam ragu-ragu’, alias golbin (golongan bingung) yang tidak pernah meyakini kebenaran Islam.

Tentu kita patut kasihani manusia-manusia seperti ini. Meskipun, kita tidak perlu risau dengan ulah mereka.

Biarlah yang bingung bangga dengan kebingungannya sendiri. Kita ingatkan mereka, mudah-mudahan mereka sadar. Kita yang sudah menemukan kebenaran, kewajiban kita adalah meyakini kebenaran itu, dan berusaha menegakkannya. Dan Allah SWT sudah mengingatkan kita:

“Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi golongan orang-orang yang ragu.” (QS Al Baqarah:147). Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: