Senin, 12 Januari 2009

Antara Demokrasi, Pemilu Dan Golput

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memujiNya, memohon pertolongan dan berlindung kepadaNya dari keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita, siapa yang diberi petunjuk oleh Allah niscaya dia akan tertunjuki, sedang siapa yang disesatkan Allah tiada yang mampu memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Amma ba’du.

Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para ulama supaya mereka menjelaskan kepada manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (syari’at ini), Allah berfirman.

“Artinya: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya” [Ali-Imron: 187]

Allah melaknat orang yang menyembunyikan ilmunya.

“Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Baqarah: 159-160]

Dan Allah mengancam mereka dengan neraka.

“Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih” [Al-baqarah: 174]

Sebagai pengamalan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya: Agama itu adalah nasehat, kami bertanya: ‘Bagi siapa wahai Rasulullah ?’ Jawab beliau: ‘Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan mayarakat umum” [Hadit Riwayat Muslim]

Dan mencermati beragam musibah yang menimpa umat Islam dan pemikiran-pemikiran yang disusupkan oleh komplotan musuh terutama pemikiran import yang merusak aqidah dan syari’at umat, maka wajib bagi setiap orang yang dikarunia ilmu agama oleh Allah agar memberi penjelasan hukum Allah dalam beberapa masalah berikut.

Menurut pencetus dan pengusungnya, demokrasi adalah pemerintahan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, -pent). Rakyat pemegang kekuasaan mutlak. Pemikiran ini bertentangan dengan syari’at Islam dan aqidah Islam. Allah berfirman.

“Artinya: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” [Al-An’am: 57]

“Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [Al-Maidah: 44]

“Artinya: Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah ?” [As-Syura: 21]

“Artinya: Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan” [An-Nisa: 65]

“Artinya: Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutuNya dalam menetapkan keputusan” [Al-Kahfi: 26]

Sebab demokrasi merupakan undang-undang thagut, padahal kita diperintahkan agar mengingkarinya, firmanNya.

“Artinya: (Oleh karena itu) barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” [Al-Baqarah: 256]

“Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thagut itu” [An-Nahl: 36]

“Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab ? Mereka percaya kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman” [An-Nisa: 51]

DEMOKRASI BERLAWANAN DENGAN ISLAM, TIDAK AKAN MENYATU SELAMANYA.

Oleh karena itu hanya ada dua pilihan, beriman kepada Allah dan berhukum dengan hukumNya atau beriman kepada thagut dan berhukum dengan hukumnya. Setiap yang menyelisihi syari’at Allah pasti berasal dari thagut.

Adapun orang-orang yang berupaya menggolongkan demokrasi ke dalam sistem syura, pendapatnya tidak bisa diterima, sebab sistem syura itu teruntuk sesuatu hal yang belum ada nash (dalilnya) dan merupakan hak Ahli Halli wal Aqdi [1] yang anggotanya para ulama yang wara’ (bersih dari segala pamrih). Demokrasi sangat berbeda dengan system syura seperti telah dijelaskan di muka.

BERSERIKAT Merupakan bagian dari demokrasi, serikat ini ada dua macam:

[a] Serikat dalam politik (partai) dan,

[b] Serikat dalam pemikiran.

Maksud serikat pemikiran adalah manusia berada dalam naungan sistem demokrasi, mereka memiliki kebebasan untuk memeluk keyakinan apa saja sekehendaknya. Mereka bebas untuk keluar dari Islam (murtad), beralih agama menjadi yahudi, nasrani, atheis (anti tuhan), sosialis, atau sekuler. Sejatinya ini adalah kemurtadan yang nyata.

Allah berfirman.

“Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) ; ‘Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan’, sedang Allah mengetahui rahasia mereka” [Muhammad: 25]

“Artinya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” [Al-Baqarah: 217]

Adapun serikat politik (partai politik) maka membuka peluang bagi semua golongan untuk menguasai kaum muslimin dengan cara pemilu tanpa mempedulikan pemikiran dan keyakinan mereka, berarti penyamaan antara muslim dan non muslim.

Hal ini jelas-jelas menyelisihi dali-dalil qath’i (absolut) yang melarang kaum muslimin menyerahkan kepemimpinan kepada selain mereka.

Allah berfirman.

“Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman” [An-Nisa: 141]

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu” [An-Nisa: 59]

“Artinya: Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kamu (berbuat demikian) ; bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? [Al-Qolam: 35-36]

Karena serikat (bergolong-golongan) itu menyebabkan perpecahan dan perselisihan, lantaran itu mereka pasti mendapat adzab Allah. Allah memfirmankan.

“Artinya: Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [Ali-Imran: 105]

Mereka juga pasti mendapatkan bara’ dari Allah (Allah berlepas diri dari mereka). FirmanNya.

“Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamaNya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka” [Al-An’am: 159]

Siapapun yang beranggapan bahwa berserikat ini hanya dalam program saja bukan dalam sistem atau disamakan dengan perbedaan madzhab fikih diantara ulama maka realita yang terpampang di hadapan kita membantahnya. Sebab program setiap partai muncul dari pemikiran dan aqidah mereka. Program sosialisme berangkat dari pemikiran dasar sosialisme, sekularisme berangkat dari dasar-dasar demokrasi, begitu seterusnya.

[Dialih bahasakan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 2 Jumadil Akhir 1413H, oleh Abu Nuaim Al-Atsari, Disalin ulang dari Majalah Al-Furqon, edisi 7/Th III. Hal.39-43]

Foote Note.

[1] Ahlu Halli wal Aqdi tersusun dari dua kata Al-Hillu dan Al-Aqdu. Al-Hillu berarti penguraian, pelepasan, pembebasan dll. Sedang Al-Aqdu berarti pengikatan, penyimpulan, perjanjian dll. Maksudnya yaitu semacam dewan yang menentukan undang-undang yang mengatur urusan kaum muslimin, perpolitikan, manajemen, pembuatan undang-undang, kehakiman dan semisalnya. Semua hal tersebut suatu saat bisa direvisi lagi dan disusun yang baru [Lihat kitab Ahlu Halli wal Aqdi, Sifatuhum wa Wadha’ifuhum. Dr Abdullah bin Ibrahim At-Thoriqi, Rabithah Alam Islami, -pent]

Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=577&bagian=0

Syubhat-Syubhat Sekitar Masalah Demokrasi Dan Pemungutan Suara 2/3

Kamis, 18 Maret 2004 21:20:42 WIB

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN

PEMUNGGUTAN SUARA

Oleh Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari

Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

[1]. Mereka mengatakan:

Bahwa sistem demokrasi sesuai dengan Islam secara keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan syura (musyawarah) berdalil dengan firman Allah

" Artinya:Dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka".[Asy-Syuura: 38]

Lalu mereka bagi demokrasi menjadi dua bagian yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat.

Bantahan: Tidak samar lagi batilnya ucapan yang menyamakan antara syura menurut Islam dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan antara syura dan demokrasi !

Adapun yang membagi demokrasi ke dalam shahih (benar) dan tidak shahih adalah pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya sendiri tidak dikenal dalam Islam.

"Artinya: Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk, (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka" [An-Najm: 22-23)

[2] Mereka mengatakan:

Bahwa pemungutan suara sudah ada pada awal-awal Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Ustman radhiyallahu 'anhum telah dipilih dan dibaiat. [Lihat kitab syari'atul intikhabat hal.15]

Bantahan: Ucapan mereka itu tidak benar karena beberapa sebab:

[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan yang ditimbulkan oleh pemungutan suara seperti kebohongan, penipuan, kedustaan, pemalsuan dan pelanggaran syariat lainnya. Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun melakukan praktek-praktek seperti itu.

[b] Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi dan diketahui di dalam sejarah) telah bermufakat dan bermusyawarah tentang khalifah umat ini sepeninggal Rasul.

Dan setelah dialog yang panjang di antaranya ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang membawakan sebuah hadits yang berbunyi: "Para imam itu adalah dari bangsa Quraisy." Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Tidak diikutsertakan seorang wanitapun di dalam musyawarah tersebut.

Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada musyawarah.

Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai anggota musyawarah untuk menetapkan salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Keenam orang itu termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Adapun sangkaan sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf menyertakan wanita dalam musyawarah adalah tidak benar.

Di dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan di dalamnya penyebutan musyawarah Abdurrahman bin Auf bersama wanita dan tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang tersebut di dalam riwayat Bukhari tersebut, Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang yang telah ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri lihat Fathul Bari (juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam karya Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu Ashir dalam thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhkul Umam (4/431). Adapun yang disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam Kitabnya al-Munthadam riwayatnya dhaif.

Dan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.

Kesimpulannya: [a] Berdasarkan riwayat yang shahih Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan 5 orang yang ditunjuk Umar.

[b] Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga mengajak bertukar pendapat dengan sahabat lainnya.

[c] Adapun penyertaan wanita di dalam musyawarah adalah tidak benar sebab riwayatnya tidak ada asalnya.

[3] Mereka mengatakan:

`Ini adalah masalah ijtihadiyah'

Bantahan: Apa yang dimaksud dengan masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan: yaitu masalah baru yang tidak dikenal di massa wahyu dan khulafaur rasyidin.

Maka jawabannya:

[a] Ucapan mereka ini menyelisihi atau bertentangan dengan ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada awal Islam.

[b] Memang benar pemungutan suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada pada zaman wahyu ditetapkan hukumnya dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama menetapkan hukum setiap masalah berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-kaedah umum. Dan untuk masalah pemungutan suara ini telah diketahui kerusakan-kerusakannya.

Jika dikatakan: yang kami maksud masalah ijtihadiyah adalah masalah yang belum ada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka jawabannya sama seperti jawaban kami yang telah lalu. Jika dikatakan masalah ijtihadiyah artinya: kami mengetahui keharamannya, tetapi kami memandang ikut serta di dalamnya untuk mewujudkan maslahat. Maka jawabannya: kalau ucapan itu benar, maka pasti sudah ada buktinya semenjak munculnya pemikiran seperti ini. Di negara-negara Islam tidak pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan hanya kembali dua sepatu usang (gagal).

Sedang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Artinya: Seorang Mukmin tidaklah disengat 2 kali dari satu lubang" [Mutafaqun alaih] Jika dikatakan masalah ijtihadiyah adalah masalah yang diperdebatkan dan diperselisihkan di kalangan ulama serta bukan masalah ijma'.

Maka jawabannya:

[a] Coba tunjukkan perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar (dipercaya) yang dida'wakan itu. Tentu saja mereka tidak akan mendapatkannya.

[b] Yang dikenal di kalangan ulama, bahwa yang dimaksud khilafiyah atau masalah yang diperdebatkan, yaitu: jika kedua pihak memiliki alasan atau dalil yang jelas dan dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau hanya mencari masalah khilafiyah, maka tidak ada satu permasalahanpun melainkan di sana ada khilaf atau perbedaan pendapat. Akan tetapi banyak di antara pendapat-pendapat itu yang tidak mu'tabar.

[4] Mereka mengatakan:

Bahwa pemungutan suara tersebut termasuk maslahat mursalah.

Bantahannya: [a] Maslahat mursalah bukanlah sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat berdiri sendiri. Maslahat mursalah hanyalah wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya, baru bisa diamalkan.

[b] Menurut defisinya maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang tidak ada nash tertentu padanya dan masuk ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum ditetapkan oleh syariat.

Jadi maslahat mursalah itu adalah salahsatu proses ijtihad untuk mencapai sebuah kemaslahatan bagi umat, yang belum disebutkan syariat, dengan memperhatikan syarat-syaratnya. Kembali kepada masalah pemungutan yang dikatakan sebagai maslahat mursalah tersebut apakah sesuai dengan tujuan maslahat mursalah itu sendiri atau justru bertentangan. Tentu saja amat bertentangan; dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan suara yang cukup menjadi bukti bahwa antara keduanya amat jauh berbeda.

[5] Mereka mengatakan:

Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud kami adalah baik. Bantahannya adalah:

Tidak dikenal kamus tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu adalah kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah ditentukan hasil yang terjadi (didapat); jika yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya haram) maka wasilahnya juga haram. Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka inginkan adalah kebaikan.

Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi ikhlas serta keinginan yang baik lagi tulus belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.

Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2 syarat:

[a] Niat ikhlas.

[b] Menetapi as-Sunnah.

Jadi bukan hanya bermodal keinginan [i'tikad baik saja]

[6] Mereka mengatakan:

Kami mengikuti pemungutan suara dengan tujuan menegakkan daulah Islam.

Bantahannya: Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, bagaimana cara menegakkan

daulah Islam ?

Sedangkan di awal perjuangan, mereka sudah tunduk pada undang-undang sekuler yang diimpor dari Eropa. Mengapa mereka tidak memulai menegakkan hukum Islam itu pada diri mereka sendiri, atau memang ucapan mereka "Kami akan menegakkan daulah Islam" hanyalah slogan kosong belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk menegakkannya pada diri mereka sendiri.

Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat mereka-mereka yang meneriakkan slogan tersebut. [7] Mereka mengatakan:

Kami tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan musuh-musuh bergerak leluasa tanpa hambatan.

Bantahannya: Apakah masuk akal jika untuk menghadapi musuh-musuhnya, mereka bergandengan tangan dengan musuh-musuhnya dalam kursi parlemen, berkompromi dengan musuh dalam membuat undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam alQur'an:

"Artinya: Segolongan lain dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya: Perlihatkanlah seolah-olah kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-rang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang Mukmin) kembali (kepada kekafiran)". [Ali-Imran: 72]

Dan ucapan mereka bahwa masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah refleksi perjuangan mereka, tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah telah mengatakan:

"Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah: 120]

Lalu mengapa mereka saling bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani? Apakah mereka menerapkan kaedah: saling bertolong-tolongan pada perkara-perkara yang disepakati dan saling toleransi pada perkara- perkara yang diperselisihkan. Tidakkah mereka takut pada firman Allah

"Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu ?)". [An-Nisaa: 144]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999]

Referensi makalah:

1.Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam.

2.Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani.

Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=498&bagian=0

PERSEKUTUAN DAN KOALISI DENGAN KELOMPOK SEKULER

Tahaluf (persekutuan) adalah kesepakatan antara dua kelompok yang bersekutu pada satu urusan, keduanya saling menolong.

Tansiq (koalisi) adalah suatu tandhim (sistem) yaitu semua partai berada dalam satu sistem yang menyeluruh dan menyatu. Tandhim lebih tertata ketimbang persekutuan.

Bila koalisi ini bertujuan menyokong demokrasi berserikat, pemikiran dan usaha meraih kekuasaan yang dicanangkan oleh partai-partai Islam di beberapa negara Islam bekerjasama dengan partai sekuler maka pungkasannya adalah seperti persekutuan antara orang-orang Yaman dengan partai Ba’ts sosialis untuk melancarkan perbaikan. Persekutuan dan koalisi model begini diharamkan, sebab termasuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Allah menfirmankan.

“Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Maidah: 2]

“Artinya: Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain dari pada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan” [Hud: 113]

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” [Ali-Imron: 118]

Selain mengandung implikasi terwujudnya kecintaan antara golongan tersebut (antara muslim dan non muslim,-pent), hal ini juga menggerus pondasi wala’ dan bara’ (loyalitas dan sikap berlepas diri). Padahal keduanya merupakan tali iman yang terkokoh. Allah berfirman.

“Artinya: Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” [Al-Maidah: 51]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya: Seseorang itu dikelompokkan bersama orang yang dia cintai” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Orang-orang yang melegalkan persekutuan dan koalisi berdalil dengan beberapa dalil, namun dalil-dalil tersebut tidak menunjukkan apa yang mereka kehendaki, diantaranya ;

[A] Persekutuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Dengan Orang Yahudi

Jawabannya sebagai berikut:

[1] Haditsnya tidak shahih, karena mu’dhal (gugurnya dua orang rawi secara berurutan dalam silsilah sanadnya, -pent)

[2] Pasal-pasal dalam persekutuan yang dijadikan pijakan –jika ini benar- maka menyelisihi isi dari persekutuan tadi.

[3] Hukum bagi yahudi dan bagi orang-orang yang enggan menerapkan syari’at Allah adalah berbeda.

[4] Mereka tidak dalam keadaan terpaksa (dharurat) sebab keadaan dharurat yang sesuai dengan syar’iat tidak terwujud, lantaran syarat darurat tidak ada.

[5] Kalaulah hadits tentang persekutuan Nabi dengan yahudi itu shahih, tetapi hukumnya mansukh (terhapus) dengan hukum-hukum jizyah (upeti yang diserahkan oleh orang-orang non muslim yang berada dalam kawasan negara Islam sebagai imbalan jaminan keamanan dan menetapnya mereka, -pent)

[6] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan pemerintah Islam, sedangkan jama’ah dan partai yang terjun di medan dakwah tidak boleh memposisikan diri mereka sebagai pemerintah Islam.

[7] Orang-orang yahudi tersebut berada dalam naungan negara Islam, oleh karena itu tidak akan terwujud persekutuan antara golongan yang sederajat.

[B] Persekutuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dengan Bani Khuza’ah

Jawabannya sebagai berikut:

[1] Yang benar, Bani Khuza’ah adalah muslimin, buktinya, tersebut dalam sejarah mereka mengatakan: ‘Kami telah memeluk Islam dan kami tidak mencabut ketaatan, namun mereka membunuh kami sedang kami dalam keadaan ruku’ dan sujud’.

[2] Andaikan saja mereka itu masih musyrik, tetapi hukum kafir asli berbeda dengan hukum bagi orang-orang yang menolak hukum Islam.

[3] Isi persekutuan yang ada sekarang ini bebeda dengan isi persekutuan dengan bani Khuza’ah ; pasal-pasal kesepakatan partai itu telah diisyaratkan di muka sedangkan pasal-pasal kesepakatan dengan Khuza’ah tidak mengandung penyelewengan dari kebenaran dan tidak ada kerelaan kepada kebatilan.

[C] Perlindungan Yang Diberikan Muth’im bin Adi dan Abu Thalib Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Jawabannya:

Ini strategi beliau mensiasati keadaan dan beliau masih bebas untuk berdakwah.

KONTRAKDIKSI YANG MENIMPA MEREKA

Suatu kali mereka menyebut “Partai Sekuler”, kali lain mengatakan “Perbedaan golongan ini hanya dalam program bukan perbedaan manhaj”, kali lainnya lagi mengucapkan “Partai itu sekarang telah murtad, namun mereka telah bertobat, lantaran itu mereka menerima ke-Islaman dan pertobatan mereka”. Lantas mengapa mereka berdalih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersekutu dengan yahudi dan orang-orang musyrik, jika mereka telah memvonis bahwa partai tertentu kafir, lalu mengapa mereka masih mengadakan persekutuan ? Ini kontradiksi yang nyata. Andai taubat mereka jujur, maka menurut syari’at harus memenuhi hal-hal berikut:

[1] Harus mengumumkan pelepasan diri mereka dari keyakinan mereka yang terdahulu dan atribut-atribut ketenaran mereka, dan mengakui kesalahan manhaj mereka yang dahulu.

[2] Menghilangkan anasir yang menentang Islam dari diri mereka secara lahir batin.

Dalih Yang Menjadi Pegangan Mereka Yaitu Perjanjian Hudaibiyyah.

Jawabnya:

[1] Pemerintah Islam berhak mengikat perjanjian dengan musuh mereka jika dipandang maslahatnya lebih banyak ketimbang mafsadahnya.

[2] Pada perjanjian Hudaibiyyah tidak terdapat sikap mengalah, tidak seperti sikap partai-partai itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti tulisan ‘Ar-Rahman Ar-Rahiim’ dengan ‘Bismika Allah’. Adapun beliau tidak menuliskan kalimat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan merupakan bukti bahwa beliau menghapus risalah dari dirinya, tetapi justru mengucapkan: “Demi Allah, aku benar-benar utusan Allah”.

[3] Terjadinya perjanjian Hudaibiyyah itu menghasilkan maslahat (kebaikan) nyata yaitu pengagungan kemuliaan Allah, bandingkan dengan dampak yang muncul akibat persekutuan dan koalisi tersebut.

[4] Hukum bagi kafir asli dan bagi orang yang enggan menerapkan hukum Islam berbeda.

PEMILIHAN UMUM

Termasuk sistem demokrasi pula, oleh karena itu diharamkan, sebab orang yang dipilih dan yang memilih untuk memegang kepemimpinan umum atau khusus tidak disyaratkan memenuhi syarat-syarat yang sesuai syari’at. Metode ini memberi peluang kepada orang yang tidak berhak memegang kepemimpinan untuk memegangnya. Karena tujuan dari orang yang dipilih tersebut adalah duduk di dewan pembuat undang-undang (Legislatif) yang mana dewan ini tidak memakai hukum Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun yang jadi hukum adalah ‘Suara Mayoritas”. Ini adalah dewan thagut, tidak boleh diakui, apalagi berupaya untuk menggagas dan bekerjasama untuk membentuknya. Sebab dewan ini memerangi hukum Allah dan merupakan sistem barat, produk yahudi dan nashara, oleh karena itu tidak boleh meniru mereka.

Bila ada yang membantah: “Sebab di dalam syari’at Islam tidak terdapat metode tertentu untuk memilih pemimpin, lantaran itu pemilu tidak dilarang”

Jawabannya: Pendapat tersebut tidak benar, sebab para sahabat telah menerapkan metode tersebut dalam memilih pemimpin dan ini merupakan metode syar’i. Adapun metode yang ditempuh partai-partai politik, tidak memiliki patokan-patokan pasti, ini sudah cukup sebagai larangan bagi metode itu, akibatnya orang non muslim berpeluang memimpin kaum muslimin, tidak ada seorangpun dari kalangan ahli fikih yang membolehkan hal itu.

AKTIVITAS POLITIK

Partai-partai politik memiliki kesepakatan-kesepakatan antara mereka untuk tidak saling mengkafirkan dan bersepakat untuk mengukuhkan dasar-dasar demokrasi. Sedangkan hukum Islam dalam masalah ini adalah mengkafirkan orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya, memberi cap fasiq kepada orang yang di cap fasiq oleh Allah dan RasulNya dan memberi cap sesat kepada orang yang diberi cap sesat oleh Allah dan RasulNya. Islam tidak mengenal pengampunan (grasi/amnesti dari pemerintah, -pent). Mengkafirkan seorang muslim yang tercebur dalam maksiat bukan termasuk manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selama dia tidak menghalalkan kemaksiatan tersebut. Adapun undang-undang produk manusia diantaranya undang-undang Yaman, telah dijelaskan oleh ulama Yaman bahwa di dalamnya terkandung penyelisihan terhadap syari’at.

METODE DAKWAH KITA YANG WAJIB DIKETAHUI OLEH MASYARAKAT

[1] Kita mendakwahi manusia untuk berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah secara hikmah, nasehat yang baik selaras dengan pemahaman para Salaf.

[2] Kita memandang bahwa kewajiban syar’i terpenting adalah menghadapi pemikiran import dan bid’ah-bid’ah yang disusupkan ke dalam Islam dengan cara menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dakwah, menggugah kesadaran umat, meluruskan keyakinan-keyakinan dan pemahaman yang keliru dan menyatukan kaum muslimin dalam lingkup semua tadi.

[3] Kami memandang bahwa umat Islam tidak membutuhkan revolusi, penculikan dan penyebaran fitnah. Namun yang dibutuhkan adalah pendidikan iman dan pemurnian. Ini merupakan saran paling vital untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat.

[4] Sebagai penutup kami akan memperingatkan bahwa motif yang melatari munculnya uraian ini adalah kami melihat sebagian ulama dan khususnya ulama negara Yaman membicarakan permasalahan yang dipakai pijakan oleh partai-partai politik Islam. Mereka bermaksud meletakkan landasan syar’i bagi permasalahan tersebut, padahal masalah tersebut mengandung kontradiksi dan kesalahan-kesalahan ditinjau dari sisi syar’i. Perlu diketahui bahwa mereka tidak mewakili kaum muslimin namun hanya mewakili diri mereka sendiri dan partai mereka saja. Yang jadi mizan adalah dalil bukan jumlah mayoritas dan bukan desas-desus.

Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada pemimpin kita Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabat beliau. Segala puji bagi Allah.

Penandatangan fatwa ini adalah:

[1] Syaikh Muhamad Nashiruddin Al-Albani

[2] Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i.

[3] Syaikh Abdul Majid Ar-Rimi.

[4] Syaikh Abu Nashr Abdullah bin Muhammad Al-Imam

[5] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washshabi, dll.

[Dialih bahasakan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 2 Jumadil Akhir 1413H, oleh Abu Nuaim Al-Atsari, Disalin ulang dari Majalah Al-Furqon, edisi 7/Th III. Hal.39-43]

Syubhat-Syubhat Sekitar Masalah Demokrasi Dan Pemungutan Suara 3/3

Kamis, 18 Maret 2004 21:32:23 WIB

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN PEMUNGGUTAN SUARA

Oleh Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari

Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]

[8] Mereka mengatakan:

Kami terjun dalam kancah demokrasi karena alasan darurat.

Bantahannya: Darurat menurut Ushul yaitu: keadaan yang menimpa seorang insan berupa kesulitan bahaya dan kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa), harta, akal, kehormatan dan agamanya. Maka dibolehkan baginya perkara yang haram (meninggalkan perkara yang wajib) atau menunda pelaksanaannya untuk menolak kemudharatan darinya, menurut batas-batas yang dibolehkan syariat.

Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena maslahat?.

Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu mereka katakan bahwa demokrasi itu atau pemungutan suara itu hanyalah wasilah maka berarti yang mereka lakukan tersebut bukanlah karena darurat akan tetapi lebih tepat dikatakan untuk mencari maslahat, Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka dalam kancah demokrasi tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena sekedar mencari setitik maslahat.

[9] Mereka mengatakan:

Kami terpaksa melakukannya, sebab jika tidak maka musuh akan menyeret kami dan melarang kami menegakkan hukum Islam dan melarang kami shalat di masjid-masjid dan melarang kami berbicara (berkhutbah).

Bantahannya: Mereka hanya dihantui bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan da'wah kepada jalan Allah hanya tergantung di tangan mereka saja. Dengan itu mereka menyimpang dari manhaj an-nabawi dalam berda'wah kepada Allah dan dalam al-islah (perbaikan). Lalu mereka menuduh orang-orang yang tetap berpegang teguh pada as- Sunnah sebagai orang-orang pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasib umat). Apakah itu yang menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata? Hendaknya mereka mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu Dzar al-Giffari ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berpesan kepadanya:

"Artinya: Tetaplah kau di tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai aku mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu aku mendengar suara gemuruh. Maka aku khawatir jika seseorang telah menghadang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, hingga aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat pesan beliau: tetaplah engkau di tempat jangan kemana-mana, maka akupun tetap di tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku telah mendengar suara gemuruh, sehingga aku khawatir terhadap beliau, lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah engkau mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata kepadaku: barang siapa di antara umatmu (umat Rasulullah) yang wafat dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk ke dalam surga. Aku bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau berkata, walaupun dia berzina dan mencuri". [Mutafaqun alaih]

Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar al-Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak bergeming dari tempat, walaupun dalam sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam mara bahaya ! Bukankah hal tersebut gawat dan genting. Suara gemuruh yang mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Namun apa gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak ! Sekali-kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan pesan Rasulullah: tetaplah engkau di tempat, jangan pergi ke mana-mana hingga aku datang!.

Keteguhan beliau di atas garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan) pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak memilih melanggar pesan Rasulullah dengan alasan ingin menyelamatkan beliau shalallahu 'alaihi wasallam.

Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau atas pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berupa ilmu tentang tauhid yang dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kabar gembira bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga. Seandainya beliau melanggar pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam maka belum tentu beliau mendapatkan ilmu tersebut pada saat itu !!

Demikian pula dikatakan kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat ! (Karena keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan menyelamatkan ummat -red).

Berbahagialah ahlu sunnah (salafiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah. [10] Mereka mengatakan:

Bahwa mereka mengikuti kancah pemunggutan suara untuk memilih kemudharatan yang paling ringan.

Mereka juga berkata bahwa mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin mencari mudharat yang paling ringan demi mewujudkan maslahat yang lebih besar.

Bantahannya: Apakah mereka menganggap kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang ringan kemudharatannya? Timbangan apa yang mereka pakai untuk mengukur berat ringannya suatu perkara? Apakah timbangan akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah sebuah kekufuran dan syirik produk Barat? Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya selain kekufuran dan syirik.

Kemudian apakah mereka mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah "memilih kemudharatan yang paling ringan."

Jika jawaban mereka tidak mengetahui; maka hal itu adalah musibah.

Jika jawabannya mereka mengetahui, maka dikatakan kepada mereka: coba perhatikan kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:

[a] Maslahat yang ingin diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar perkiraan (anggapan belaka). Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh mereka yang melibatkan di dalam kancah demokrasi itu cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan isapan jempol belaka.

[b] Maslahat yang ingin dicapai harus lebih besar dari mafsadah (kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika realita adalah kebalikannya yaitu maslahat yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya berganti menjadi:

Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan ketimbang mencari (mengambil) mashlahat. [c] Tidak ada cara (jalan) lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan) tersebut.

Syarat yang ketiga ini sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka sebab konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum Islam, kecuali dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah kebathilan yang amat nyata! Apakah mungkin manhaj Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam ishlah (perbaikan) divonis tidak layak dipakai untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita mengenal Islam, kecuali melalui beliau shalallahu 'alaihi wasallam?

[11] Mereka mengatakan:

Bahwa beberapa Ulama ahlu sunnah telah berfatwa tentang disyariatkannya pemungutan suara (pemilu) ini seperti: Syeikh al-Albani, Bin Baz, Bin Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka (para ulama) hizbi ?

Jawabannya tentu saja tidakl

Amat jauh para ulama itu dari sangkaan mereka, karena beberapa alasan: [a] Mereka adalah ulama dan pemimpin kita, serta pemimpin da'wah yang penuh berkah ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam. Kita tidak meneguk ilmu kecuali dari mereka. Kita berlindung kepada Allah semoga mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan sebaliknya, merekalah yang telah memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah. Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali, melalui nasihat-nasihat mereka setelah taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh dengan peringatan tentang hizbiyah.

[b] Para ulama berfatwa (memberi fatwa) sesuai dengan kadar soal yang ditanyakan. Bisa saja seorang datang kepada ulama dan bertanya:

Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat Allah dan kami tidak mampu kecuali melalui pemungutan suara dengan tujuan untuk mengenyahkan orang-orang sosialis dan sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh kami memilih seorang yang shalih untuk melaksanakan kepentingan ini? Demikianlah soalnya!

Lain halnya seandainya bunyi soal: Ya Syeikh, pemungutan suara itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) begini dan begini, dengan menyebutkan sisi negatif yang ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya akan lain. Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun dan orang-orang yang terfitnah oleh hizbiyun) mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para ulama! Adapun dalil bahwa seorang alim berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar. Dan sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah dari sebuah hadits dari Ummu Salamah:

"Artinya: Sesungguhnya kalian akan mengadukan pertengkaran di antara kalian padaku, barang kali sebagian kalian lebih pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang siapa yang telah aku putuskan baginya dengan merebut hak saudaranya, maka yang dia ambil itu hanyalah potongan dari api neraka; hendaknya dia ambil atau dia tinggalkan" [Mutafaqun alaih] Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam juga telah memerintahkan kepada para qadi untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu Thalib:

"Artinya: Wahai Ali jika menghadap kepada engkau dua orang yang bersengketa, janganlah engkau putuskan antara mereka berdua, hingga engkau mendengar dari salah satu pihak sebagaimana engkau mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika engkau melakukan demikian, akan jelas bagi engkau, putusan yang akan diambil". [Hadits Riwayat Ahmad]

Oleh sebab itu kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah diharamkannya perkara-perkara yang sebelumnya halal, disebabkan pertanyaannya. Dalam sebuah hadits riwayat Saad bin Abi Waqas radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Artinya: Sesungguhnya kejahatan seorang Muslim yang paling besar adalah bertanya tentang sebuah perkara yang belum diharamkan. Lalu diharamkan disebabkan pertanyaannya". [Mutafaqun Alaih]

Ibnu Thin berkata bahwa kejahatan yang dimaksud adalah menyebabkan kemudharatan atas kaum Muslimin disebabkan pertanyaannya. Yaitu menghalangi mereka dari perkara-perkara halal sebelum pertanyaannya.

Hendaknya orang-orang yang melakukan tindakan berbahaya seperti ini bertaubat kepada Allah. Dan para tokoh kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap orang-orang semacam itu. [c] Lalu bagaimana sikap mereka (para Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa bagi para Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini adalah haram disebabkan mafsadah yang ditimbulkannya. Apakah mereka akan mengundurkan diri dari kancah demokrasi dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat. Realita menunjukkan bahwa mereka hanya memancing di air keruh. Mereka hanya mencari keuntungan untuk golongannya saja dari fatwa para ulama. Terbukti jika fatwa ulama tidak menguntungkan golongan mereka, maka merekapun menghujatnya dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu a'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999]

Referensi makalah:

1. Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam. 2.Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani.

Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=499&bagian=0

Syubhat-Syubhat Sekitar Masalah Demokrasi Dan Pemungutan Suara 1/3

Kamis, 18 Maret 2004 21:00:53 WIB

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DANPEMUNGGUTAN SUARA

Oleh Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari

Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.

Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai kampiunnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut konsep Islam, 'yang menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan orang-orang shalih. Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.[An-Nisaa: 58]

Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menurut kaca mata syariat. Proses pemungutan suara bukanlah cara/wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu. Di samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali radhiyallahu 'anhum maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang melibatkan seluruh umat.

Lantas dari mana sistem pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).

Ada anggapan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat jauh perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala demokrasi di antaranya:

[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang menempati al-haq walaupun suaranya minoritas.

[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja.

[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan as-Sunnah.

MAKNA PEMUNGUTAN SUARA

Pemungutan suara maksudnya adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara mencatat nama yang terpilih atau sejenisnya atau dengan voting. Pemungutan suara ini, walaupun bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan istilah syar'i yaitu syura (musyawarah). Apalagi dalam istilah pemungutan suara itu terdapat konotasi haq dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas berseberangan jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan istilah tersebut, sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.

Mafsadat Pemungutan Suara

Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di antaranya: [1] Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.

[2] Menekankan suara terbanyak.

[3] Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.

[4] Pengabaian wala' dan bara'.

[5] Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.

[6] Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.

[7] Memberikan kepada demokrasi baju syariat.

[8] Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.

[9] Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.

[10] Termasuk wasilah yang diharamkan.

[11] Memecah belah kesatuan umat.

[12] Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.

[13] Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.

[14] Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.

[15] Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.

[16] Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.

[17] Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.

[18] Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).

[19] Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.

[20] Money politic, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih. [21] Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.

[22] Ambisi merebut kursi tanpa perduli rusaknya aqidah.

[23] Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.

[24] Memilih calon tanpa perduli dengan syarat syarat syar'i seorang pemimpin.

[25] Pemakaian dalil-dalil syar'i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46.

[26] Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian.

[27] Penyamarataan yang tidak syar'i, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.

[28] Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah telah bersabda:

"Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita". [Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah]

[29] Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.

[30] Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

[31] Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.

[32] Janji-janji palsu dan semu yang disebar.

[33] Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.

[34] Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak.

[35] Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara.

[36] Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.

Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat dari proses pemungutan suara ini. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan tadi adalah suatu yang sering nampak atau terdengar melalui media massa atau lainnya !

Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang jahil tersebut ?!

Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar firman Rabb-Nya:

Maka apakah patut bagi Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]

Pada saat bangsa ini sedang menghadapi bencana, yang seharusnya mereka memperbaiki kekeliruannya adalah dengan kembali kepada dien yang murni sebagaimana firman Allah Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan buah tangan perbuatan manusia agar mereka merasakan sebagian perbuatan mereka dan agar mereka kembali. [Ar-Ruum: 41]

Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:

Jika kalian telah berjual beli dengan sistem 'inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian kembali ke dien kalian.

Kembali kepada dien yang murni itulah solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari dan melaksanakan-melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid. Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara atau kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??

Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia menyandang predikat baru, yaitu juru kampanye (jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan lagi menyeru kepada jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye baik secara terang-terangan maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi sibuk mengurusi urusan politik –padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta tidak lagi menuntut ilmu.

Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang penting akan tetapi kita tidak boleh melupakan waqi' (realita)."

Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di koran-koran, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -karena itulah referensi mereka- atau realita umat yang masih jauh dari aqidah yang benar, praktek syirik yang masih banyak dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada partai-partai yang mengatas namakan Islam ! Wallahul Musta'an

Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di kursi parlemen. Dan untuk mengelabuhi umat merekapun melontarkan beberapa syubhat!

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999]

Referensi makalah:

1. Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam. 2. Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani

Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=497&bagian=0

Bolehkah Mengambil Kebaikan Setiap Firqah ?

Kamis, 12 Februari 2004 07:56:53 WIB

BOLEHKAH MENGAMBIL KEBAIKAN SETIAP FIRQAH ?

Oleh Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani

Kata Pengantar

Sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani hafizhahullah, seorang ulama Ahlus Sunnah di Ma'rib, Yaman. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani dari Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah, soal no. 54

Pertanyaan Kami pernah mendengar dari sebagian orang yang cinta kepada kebaikan bahwa menjamurnya jama'ah-jama'ah Islamiyah sekarang ini adalah fenomena yang sehat. Bahwa jama'ah-jama'ah tersebut menegakkan pilar-pilar Islam dalam bidang masing-masing. Jika kita menghendaki ilmu, ambillah dari Salafiyun. Jika kita menghendaki jihad, ambillah dari Jama'atul Jihad. Kalau kita ingin politik, ambillah dari Ikhwanul Muslimin. Kalau kita menghendaki manajemen hati, ambillah dari Jama'ah Tabligh.

Mereka mengatakan: "Kondisinya seperti orang-orang yang sakit matanya, tentu ia tidak berkonsultasi dengan dokter sepesialis saraf. Bagi yang sakut dadanya, tentu ia tidak memeriksskan dirinya kepada dokter spesialis tulang". Apakah ucapan seperti ini dapat dibenarkan ..?

Jawaban Orang yang mengatakan ucapan diatas sebenarnya tidak mengerti hakikat dak'wah Ilallah. Dan juga tidak memahami hakekat perbedaan yang terjadi antara jama'ah-jama'ah tersebut . Mustahil sebuah perpecahan dapat menegakan Islam! padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang perpecahan.

"Artinya: Sesungguhnya orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan , tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka".[Al-An'am: 159]

Dalam ayat lain Allah berfirman:

"Artinya: Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka". [Ar-Ruum: 31-32]

Dan Allah juga berfirman

"Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya dengan tali Allah (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai". [Al-Imran: 103]

Realita yang ada menunjukan bahwa jumlah jama'ah-jama'ah itu terus bertambah dari waktu ke waktu. Dan bertambah lebar juga jurang perselisihan dan pertikaian.

Kekeliruan diatas dapat kita jabarkan sebagai berikut:

Pertama. Kami tidak menampik adanya spesialisasi dalam disiplin ilmu dan pada beberapa aspek dak'wah. Namun hal itu tidak akan baik bila masing-masing kelompok tidak bertolak dari satu pedoman. Mereka harus bertolak dari satu dasar pemahaman dan pedoman. Serta berusaha mewujudkan tuntunan syari'at dengan cara yang dibenarkan syari'at berkaitan dengan spesialisasi masing-masing. Adapun bila pedoman berbeda, tujuan dan metoda juga berbeda, maka kondisinya seperti yang digambarkan syair berikut.

Bilakah satu istana akan sempurna bangunannya, bila kamu sibuk membangun, sementara yang lain merubuhkannya.

Kedua Realita membuktikan bahwa hakekat perselisihan yang terjadi diantara jama'ah-jama'ah tersebut adalah dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah dan dalam memilih wasilah (metode) dalam menuju sesuatu yang menjadi tuntunan syri'at . Persaingan, perseteruan dan permusuhan diantara jama'ah-jama'ah tersebut dapat terlihat jelas. Setiap jama'ah berusaha merubuhkan bangunan yang telah disusun oleh jama'ah lainnya. Sebagian orang berasumsi bahwa jika dia dapat mengusir sorang khatib/ustadz salafi, seolah-olah dia telah berhasil mengembalikan Masjidil Aqsha dari tangan Yahudi! Dia menganggapnya sebagai sebuah kemenangan besar

Faktor penyebabnya adalah perbedaan persepsi dalam mendiagnosa sebuah penyakit, berakibat komposisis obat yang dipakai juga berbeda. Sebagian jama'ah berpendapat bahwa problem umat sekarang ini seputar penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Mereka lantas berusaha mengenyahkan penguasa itu atau berusaha menyaingi kekuasaan mereka, baik penguasa itu kafir ataupun muslim. Sebagian jama'ah lainnya berpandangan bahwa penyakit hati telah begitu mewabah di tengah-tengah umat. Mereka beranggapan dengan memperbaiki hati selesailah semua problem. Mereka mengerahkan segala upaya untuk menyembuhkan penyakit-penyakit hati. Ironinya mereka mengabaikan penyakit hati yang paling berbahaya yaitu syirik, bid'ah dan lainnya. Sedangkan sebagian jama'ah yang lain memahami bahwa penyakit kronis yang menggerogoti umat ini adalah kejahilan mereka tentang Dinul Islam. Baik yang berkaitan dengan masalah tauhid/aqidah, ibadah dan lainnya. Mereka juga menyadari bahwa di antara panyakit yang menimpa umat ini adalah fenomena perpecahan dan bergolong-golongan. Merekapun berusaha menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang sudah dilupakan. Mereka sebarkan aqidah yang benar dan sunnah yang shahih, sekaligus memerangi syirik dengan berbagai macam dan bentuknya. Mereka peringatkkan umat dari bahaya berpecah belah dan fanatik jahiliyah. Namun sayangnya jama'ah ini justru ditentang oleh jama'ah-jama'ah lainnya !, Wallahul Musta'an.

Ketiga Kita tidak dapat menerima sangkaan (yang berpendapat) bahwa jama'ah-jama'ah tersebut layak diambil ilmunya-kecuali salafiyun meskipun ada kekurangan pada pribadi-pribadi sebagian mereka-. Sebagi buktinya masalah jihad, di dalam Islam jihad disyari'atkan untuk memerangi kaum musyrikin supaya Dienullah menjadi yang paling tinggi. Dan supaya tidak terjadi kemusyrikan sebagaimana firman Allah.

"Artinya: Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah" [Al-Anfal: 39]

Namun kenyataan yang kita jumpai, seruan jihad itu ditujukan untuk melawan kaum muslimin -walaupun mungkin mereka menyimpang-. Akibatnya terjadilah fitnah (kekacauan) dan kaum musliminpun tercerai berai. Akhirnya musuh-musuh Allah mendapat kesempatan untuk menimpakan berbagai penindasan terhadap wali-wali Allah (orang-orang yang shalih). Demikian pula masalah politik, pada asalnya yang dibolehkan adalah politik yang sejalan dengan kaidah-kaidah syari'at (siyasah syar'iyyah), bukan politik praktis yang menyimpang dari kaidah-kaidah syari'at (seperti turut serta dalam pesta demokrasi). Sungguh jauh berbeda antara keduanya. Namun kendatipun membandel tetap berkecimpung dalam praktek politik yang menyimpang itu, jama'ah Ikhwanul Muslimin tidak menghasilkan faedah apapun darinya. Kenyataan yang ada cukup sebagai buktinya. Demikain pula Jama'ah Tabligh, sekalipun pada mereka terdapat sisi-sisi positif, namun mereka mengabaikan sisi yang paling urgen, yaitu pembenahan aqidah dan menuntut ilmu hadits 1)

Secara jujur kami katakan, hanya dari salafiyun sajalah yang layak diambil ilmu yang berguna. Ilmu yang mereka miliki telah memimpin dunia. Ulama merekalah yang menjadi panutan umat dan menjadi tempat bertanya tentang Dienullah. Setiap orang berusaha mengikuti pedoman mereka dan bangga menisbatkan diri kepada mereka. Kecuali sekelompok kecil yang tidak begitu dipandang. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mencurahkan hidayah kepada kita semua.

Keempat Sekiranya kita anggap jama'ah-jama'ah itu memiliki ilmu-ilmu tersebut, masalahnya adalah: "Apakah kaidah dasar dan pijakan bagi yang ingin beramal .? Bukankah bagi yang ingin berjihad, berkecimpung dalam bidang politik atau berdakwah wajib merujuk kepada ulama terlebih dahulu ..?

Sebelumnya telah kalian sebutkan bahwa salafiyun adalah rujukan dalam masalah ilmu. Sebab salafiyun mengetahui perkara-perkara yang tersamar atas jama'ah-jama'ah tersebut ..? Lalu mengapa mereka tidak merujuk kepada salafiyun yang secara khusus mengetahui masalah ? Menanyakan bolehkah berjihad sementara keadaan kami seperti ini ? atau bolehkah berkecimpung dalam kancah politik modern (demokrasi) .?

Realita membuktikan bahwa mereka pada hakikatnya tidak merujuk secara jujur kepada ulama dakwah salafiyah dalam banyak masalah. Masing-masing jama'ah sudah merasa cukup dengan orang yang dianggap ulama diantara mereka. Sekalipun sangat jauh kualitas ilmunya dengan ulama salafiyun. Sekiranya mereka bertanya kepada ulama dakwah salafiyah, maka pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dipolitisir sedemikian rupa supaya jawabannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya pertanyaan yang berbunyi:

"Kami tinggal di negeri yang menerapkan undang-undang yang menyelisihi hukum Islam, jika kami tidak turut serta duduk bersama mereka di pemerintahan maka musuh-musuh Islam akan bertambah kuat. Jika kami duduk bersama mereka, maka akan dapat mewujudkan maslahat yang banyak dan dapat menolak berbagai kerusakan, bagaimanakah hukum Islam dalam masalah ini ..?"

Redaksi pertanyaan seperti ini jawabannya mudah ditebak. Namun sekalipun demikian, dalam memberikan jawabannya para ulama pasti menyebutkan persyaratan-persyaratan yang ketat. demi terciptanya maslahat dan tertolaknya mudharat. Kenyataan telah membuktikan bahwa mafsadat yang terjadi lebih banyak daripada maslahat yang hendak di raih. Tanyakan saja kepada pentolan-pentolan politik tersebut di Mesir, Syam, Asia Timur, Aljazair dan Yaman, apa yang mereka dapatkan dari tindakan mereka itu ? Tidak lain hanyalah fitnah (kekacauan), provokasi, terhalangnya proses menuntut ilmu, atau pelecehan terhadap ilmu agama dan ulama, tersebarnya buruk sangka terhadap dakwah dan para da'i, tercerai-berainya barisan kaum muslimin, tersamarnya kebenaran di tengah-tengah manusia, tersia-sianya tenaga, waktu dan harta umat untuk perkara-perkara semu bagaikan fatamorgana. maslahat yang dihasilkan tidaklah seberapa dibandingkan mafsadat yang timbul.

Kendatipun pada awal mulanya mereka sulit memprediksi maslahat dan mafsadat dalam masalah ini, namun dalih tersebut tidak mungkin dikemukakan pada hari ini, setelah berlalu lebih dari setengah abad. Kenyatannya, keburukan yang timbul dari waktu ke waktu menjadi lebih jelas.

Seandainya pembagian yang tersebut di dalam pertanyaan di atas dapat di terima, maka kewajiban bagi kita semua adalah merujuk kepada ahli ilmu dengan sejujur-jujurnya, menerima fatwa ulama beserta dalilnya, dan menceritakan kepada mereka segala sesuatunnya. Namun yang terjadi umumnya tidak seperti itu !

Kelima Kita tidak bisa menerima bulat-bulat,bahwa seorang yang terserang suatu penyakit tidak boleh bertanya kepada selain dokter spesialis penyakit itu. Sering kita dengar seorang yang akan menjalani operasi tulang, terlebih dahulu meminta pertimbangan dari dokter spesialis penyakit dalam, untuk mengetahui apakah ia sanggup menjalani operasi atau tidak, karena sebuah badan itu apabila menderita sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakan panas dan meriang. Demikian pula da'wah ilallah, harus dilakukan dengan ilmu dan hujah yang nyata. Dan harus merujuk kepada ulama Ahli Sunnah. Jika tidak, maka seluruh usaha akan gagal dan sia-sia. Hendaklah kita bertakwa kepada Allah dalam mengemban amanat da'wah. Dan senantiasa berpegang teguh dengan pedoman salafus-Sholih.

CATATAN (Syaikh Abul Hasan Musthafa):

1.Uraian yang kami cantumkan dalam fatwa ini belum meliput seluruh dalil-dalil yang ada.Untuk lebih luasnya silahkan merujuk kepada buku-buku yang memuat dalil-dalil tersebut secara rinci.

2.Jawaban ini sama sekali tidak bertujuan untuk meremehkan sisi positif yang ada pada jama'ah lain. Namun hanya menampilkan realita yang terjadi di lapangan. dan untuk membuka pandangan aktifis da'wah. Supaya mereka mengetahui kesalahan-kesalahan yang ada, lalu segera memperbaikinya. Dan supaya mereka benar-benar kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai pemahaman As-Salafus-Sholih, dengan demikian akan terbuka pintu-pintu kebaikan dan tertutup pintu-pintu keburukan. Dan supaya mereka dapat mengeluarkan umat dari kejahilan dan perpecahan . Kami sungguh merasa pilu dan prihatin terhadap kondisi kaum muslimin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melapangkan dada kita untuk menerima manhaj Salafus-Sholih, baik dalam bidang aqidah, ibadah maupun da'wah. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menyingkap mendung yang menaungi umat ini dan menyatukan barisan mereka. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas segala sesuatu . Sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad ShalaAllahu 'Alaihi wa Salam, atas keluarga dan segenap sahabat beliau. [Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M hal.28-30]

Foote Note

1.Sebenarnya tidak tampak sisi-sisi positif pada Jama'ah Tabligh sebagaimana yang disebutkan, bila diabandingkan dengan sisis negatif yang mereka timbulkan. Salah satunya adalah berupa banyak orang awam yang terkecoh dengan penampilan lahir mereka kemudian menganggap Jama'ah seperti itulah yang dibutuhkan umat. Tanpa memerperhatikan penyimpangan aqidah yang ada pada Jama'ah itu. Apakah ada kesesatan yang lebih berbahaya daripada penyimpangan aqidah .?

Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=179&bagian=0

Dakwah Salafiyah Menepis Tuduhan 1/3

Selasa, 23 Maret 2004 09:02:45 WIB

DAKWAH SALAFIYAH MENEPIS TUDUHAN

Oleh Syaikh DR. Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr

Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Kita patut bersyukur kepada Allah lantaran dakwah salafiyah mubarokah yang diemban oleh para ulama dan para da’inya yang mukhlisin merambah penjuru dunia. Namun perlu juga diketahui bahwa dakwah salafiyah, dakwah para nabi ini tidak luput dari para pencela, pembuat keraguan dan kerancuan (syubhat) sepanjang zaman, mulai nabi Nuh hingga nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula para da’i pengemban dakwah ini mendapat perlakuan yang sama. Allahul Musta’an. Berikut syubhat-syubhat yang dilemparkan sekaligus bantahannya yang direkam dan ditulis oleh Syaikh DR Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr, murid Al-Imam Al-Albani Rahimahullah dalam kitab Madza Yanqimuna minas Salafiyah.

[1] NAMA SALAFIYAH BENTUK HIZBIYAH DAN BID’AH

Sementara penentang menuduh bahwa nisabah kepada salafiyah merupakan bentuk hizbiyah bid’ah, sama seperti nama Ikhwan Muslimin, Hizbut Tahrir dan Jama’ah Tabligh. Mereka tidak tahu bahwa intisab kepada salafiyah adalah intisab kepada generasi panutan, para sahabat dan tabi’in, generasi terbaik yang direkomendasikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penyandaran kepada salaf berarti penyandaran kepada umat yang maksum, yang terjaga dari kesalahan dan umat yang diridhai Allah, firmanNya.

“Artinya: Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya” [Al-Bayyinah: 8] Sangat berbeda antara orang yang menyandarkan diri kepada seorang mujtahid yang kadang benar kadang salah, fanatik kepadanya, loyal dan benci karenanya dengan seseorang yang menyandarkan diri kepada suatu kaum yang selamat, terjaga dari penyimpangan dan kesesatan ketika muncul perselisihan.

“Artinya: Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semua masuk neraka kecuali satu. Beliau ditanya: ‘Siapa mereka wahai Rasulullah ?’ Jawaban beliau: ‘Mereka adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan sahabatku berada di atasnya” [Abu Dawud 4586, Tirmidzi 2640, Ibnu Majah 3991 Ahmad 2/332]

Inilah salafiyah yang mana Islam yang murni, bersih dari semua bid’ah dan kesesatan terbangun di atasnya. Inilah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dijalankan oleh para sahabat dan ditempuh oleh generasi terbaik. Mengapa kalian membolehkan setiap jama’ah Islamiyah untuk menyandarkan diri kepada orang-orang yang tidak maksum tetapi justru melarang penyandaran kepada umat yang terjaga dari kesesatan dan kepada salaf shalih dari kalangan tabi’in dan para imam yang mendapat petunjuk. Mereka terjauhkan dari hizbiyyah sempit lagi berbahaya yang memecah belah umat. Syaikh kami Al-Albani berkata: “Terus terang, kami memerangi hizbiyah, karena hizbiyah selaras dengan ayat.

“Artinya: Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka “ [Ar-Ruum: 32]

Islam tidak mengenal hizbiyah. Hanya ada satu hizb (golongan) yang ditetapkan oleh Allah yaitu:

“Artinya: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung” [Al-Mujadilah: 22]

Hizb Allah adalah golongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hendaknya seseorang itu berada dalam manhaj para sahabat. Semua ini harus didasari pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah”.

Ketika ditanya tentang hakekat salafiyah, beliau menjawab: “Ketika kita menyebut salaf maka yang kami maksud adalah golongan yang terbaik di muka bumi ini setelah para rasul dan nabi”. Mereka adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, generasi awal. Lalu diikuti para tabi’in yang muncul pada abad kedua, lalu atba’ tabi’in yang muncul pada abad ketiga. Tiga generasi inilah yang disebut salaf. Mereka adalah umat terbaik. Jika mereka merupakan umat terbaik secara mutlak maka tidak ada lagi setelah Rasul manusia yang lebih baik dari mereka seperti yang aku sebutkan….Jika kita menyandarkan diri kepada salaf artinya kita menyandarkan kepada generasi terbaik. Namun perlu dicatat bahwa penyandaran ini bukanlah kepada individu tertentu atau kepada jama’ah yang mungkin saja tersalah atau jatuh dalam kesesatan, baik secara menyeluruh atau sebagian.

Beliau ditanya: Mengapa harus menamakan salafiyah, apakah dia dakwah hizbiyah, kelompok atau madzhab, ataukah kelompok baru dalam Islam ? Beliau menjawab: Sesungguhnya kata salaf itu sudah dikenal dalam bahasa arab dan dalam istilah syar’i”. Yang perlu kita bahas adalah pengertian selamat secara syar’i. Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau sakit yang membawa kematian, beliau berkata kepada Fatimah: Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik salaf bagimu adalah aku” Ulama sering mempergunakan kata salaf, sehingga tidak bisa lagi dihitung. Cukup satu contoh saja, yaitu kalimat yang dipakai ulama untuk memerangi bid’ah, yakni.

“Artinya: Setiap kebaikan itu dalam pengikutan kepada salaf. Dan setiap kejelekan di dalam perbuatan bid’ah orang-orang khalaf”.

Tetapi ada sementara orang yang mengaku berilmu mengingkari penisbatan ini, dengan sangkaan penisbatan ini tidak ada asalnya. Katanya: Seorang muslim tidak boleh berkata: “Saya Salafi”, sepertinya dia mengatakan: Tidak boleh seorang muslim itu mengatakan: “Saya mengikuti salaf shalih, dalam akidah, ibadah dan akhlak mereka”. Tidak ragu lagi bahwa pengingkaran semisal ini –kalau sengaja- melazimkan dia untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dijalani oleh para salaf shalih, dimana pemimpin mereka adalah Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam, seperti diisyaratkan oleh hadits mutawatir dalam shahihain “Manusia terbaik adalah zamanku, lalu orang-orang setelah mereka dan setelahnya lagi”.

Maka seorang muslim tidak boleh berlepas diri dari penisbatan kepada salaf shalih, sedang kalau dia berlepas diri dari penisbatan kepada siapapun tidak mungkin bagi seorang ulama pun untuk menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan.

[2] SALAFIYUN HANYA BERKUTAT PADA MASALAH PARSIAL (JUZ), MELALAIKAN MASALAH SECARA KOMPREHENSIF DAN MASALAH MENDASAR.

Ini juga termasuk kedustaan mereka. Sebab dakwaan salafiyah –itu dengan memuji Allah- mengimani Islam secara menyeluruh. Berangkat dari firman Allah.

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan” [Al-Baqarah: 208]

Dan firmanNya yang mencela orang-orang yang mencomot agama sesuai hawa nafsu mereka. “Artinya: Apakah kamu beriman kepda sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?”[Al-Baqarah: 85]

Kewajiban utama dakwah salafiyah adalah dakwah tauhid, peribadatan kepada Allah, membimbing umat di atas manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengarahkan mereka agar memperhatikan sunnah beliau yang telah dijauhi manusia dan menghidupkannya. Semua itu merupakan bagian dari program dan manhaj dakwah salafiyah bukan bagian dasar-dasar dan rukun-rukun Islam. Orang-orang yang menyelisihi dakwah ini telah keliru dengan mensifati sunnah-sunnah seperti siwak, memanjangkan jenggot, memendekkan celana, sutrah, dan selainnya sebagai masalah kulit (bukan isi).

“Artinya: Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka ; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta” [Al-Kahfi: 5]

Orang-orang yang bingung itu tidak mengetahui bahwa Islam itu semuanya inti. Kulit itu hanyalah apa-apa yang ada dalam gambaran mereka dan pemikiran mereka dan pemikiran mereka yang busuk. Adapun wahyu, berupa Al-Qur’an dan Sunnah semuanya benar dan inti. Siapapun yang menghina satu saja darinya maka kafir. Siapa yang mensifati apa-apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kulit (masalah sepele) benar-benar berada pada tepi jurang yang dalam.

[3] DAKWAH SALAFIYAH MENYEPELEKAN POLITIK BAHKAN TIDAK SAMA SEKALI.

Ini juga termasuk kedustaan yang sangat jelas dan kedhaliman yang buruk. Salafiyin memandang bahwa politik termasuk agama. Tetapi politik yang mana ? Apakah politik surat kabar, majalah dan agen-agen penyiaran Yahudi dan Salibis ?! Ataukah politik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya ? Ataukah politik demokrasi, rekayasa orang-orang kafir yakni: Pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ?! Ataukah polotik ulama Islam yang berkata: “Politik adakah hukum Allah karena Allah, dengan mendasarkan pada kitab Allah dan sunnah RasulNya, berangkat dari dasar-dasar musyawarah yang ditetapkan Islam.

Apakah politik yang berbentuk penetapan kebenaran dengan system voting dalam parlemen ? Meskipun dalam rangka mendukung kekejian, kemungkaran, kesyirikan, klub malam atau pabrik minum keras ?! Ataukah berupa politik.

“Artinya: Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” [Yusuf: 40]

Oleh karena itu salafiyun tidak memakai sarana kebatilan untuk meraih kebenaran. Sebab tujuan itu tidak menghalalkan segala cara. Mereka (salafiyun) tidak berjihad untuk kemenangan orang-orang brengsek, tidak meminta pertolongan kepada orang-orang musyrik, dan selamanya tidak menambah jumlah dengan beraliansi dengan orang-orang munafik. Mereka menolak jumlah banyak namun seperti buih yang tidak mengandung sifat-sifat syar’i.

[Disalin dari kitab Madza Yanqimuna Minas Salafiyah dan dimuat di majalah Al-Furqon edisi 5 Th III, hal 29-33, alih bahasa Abu Nu’aim Al-Atsari]

Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=524&bagian=0

Dakwah Salafiyah Menepis Tuduhan 2/3

Rabu, 24 Maret 2004 22:34:22 WIB

DAKWAH SALAFIYAH MENEPIS TUDUHAN

Oleh Syaikh DR. Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr

Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

Kita patut bersyukur kepada Allah lantaran dakwah salafiyah mubarokah yang diemban oleh para ulama dan para da’inya yang mukhlisin merambah penjuru dunia. Namun perlu juga diketahui bahwa dakwah salafiyah, dakwah para nabi ini tidak luput dari para pencela, pembuat keraguan dan kerancuan (syubhat) sepanjang zaman, mulai nabi Nuh hingga nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula para da’i pengemban dakwah ini mendapat perlakuan yang sama. Allahul Musta’an. Berikut syubhat-syubhat yang dilemparkan sekaligus bantahannya yang direkam dan ditulis oleh Syaikh DR Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr, murid Al-Imam Al-Albani Rahimahullah dalam kitab Madza Yanqimuna minas Salafiyah.

[4] BODOH TERHADAP WAQI’ (REALITA UMAT) DAN TIDAK ACUH DENGAN PERKARA UMAT INI.

Yang dimaksud fiqhul waqi’ oleh mereka adalah mengetahui rencana-rencana dan program-program (musuh) untuk menghancurkan umat Islam berupa konferensi-konferensi, mencermati kantor berita dunia dan kemampuan untuk mencari solusi dalam bidang politik.

Kita katakan: “Realita umat Islam yang menyakitkan ini tidak samar lagi bagi orang yang mempunyai dua mata, dan tidak ada yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang buta hati dan matanya. Karena realita ini merupakan buah pahit dari dampak kemaksiatan dan jauhnya umat dari manhaj Allah. Hal ini telah dijelaskan Allah dalam kitabNya dan melalui lisan rasulNya. Solusi dari realita pahit ini adalah kembali kepada masa lampau yang bercahaya yang tersinari kitab Allah, sunnah (Rasul), ilmu dan amal para salaf dari para sahabat dan tabi’in. Inilah yang senantiasa didengungkan oleh salafiyun pagi dan sore. Oleh karena itu waktu dan pengalaman membuktikan bahwa orang-orang yang memahami kitab dan sunnah di zaman ini semisal Al-Albani rahimahullah, Ibnu Baz rahimahullah, Ibnu Utsaimin rahimahullah dan para murid mereka, merekalah yang benar-benar memahami realita umat.

Walaupun mereka dituduh sebagai ulama pekerja dan ulama haids dan nifas. Sungguh suatu kedhaliman dan kedustaan. (Contohnya) Peringatan syaikh kami Al-Albani rahimahullah kepada para pemuda Aljazair yang bersemangat tinggi (untuk tidak berkecimpung dalam pesta demokrasi) masih terngiang di telinga kami. Beliau telah memperingatkan mereka dari fitnah sebelum meletus. Kamipun telah memperingatkan dalam majalah Al-Ashalah Suara Salafi dan Mimbar As-Salafi yang istimewa terhadap perang di Yaman sebelum meletus empat bulan sebelumnya.

Ulama yang mendalami Al-Kitab dan Sunnah, merekalah orang-orang yang memiliki bashiroh (ilmu mendalam) dan ahli perang. Karena mereka itu memperhatikan dan mencermati (waqi’) berdasarkan cahaya Allah Azza wa Jalla, seperti disebutkan dalam hadits (Qudsi): “Aku adalah pendengarannya ketika ketika dia mendengar, Aku adalah matanya ketika dia melihat dan Aku adalah tangannya ketika dia menjangkau…”[Hadits Riwayat Bukhari 6137]

Adapun orang-orang yang selalu mengaok, bertepuk tangan membela orang-orang rendahan dan berbekal semangat saja, bagaimana mungkin mereka mengetahui realita umat apalagi masa depan mereka. Siapa yang tidak mengetahui masa lalu yang bersinar niscaya tidak akan mengetahui kenyataan dirinya yang tercebur dalam kerusakan, kesesatan dan penyimpangan. Apakah orang yang mendukung Khomeini yang binasa itu dapat mengetahui realita dengan semestinya ? Bisa jadi dia menjadi pendukung nomor wahid dan penyanjungnya bahkan bertasbih dengan memujinya. Ketika dikemukakan pendapat salafiyun tentang jati diri syi’ah dan permusuhan mereka kepada Ahlu Sunnah, mereka menuduh: “Kalian para da’i fitnah, da’i pemecah belah umat, kalian membuat kerusakan!”. Mereka lebih mengutamakan syi’ah ketimbang saudaranya, Ahlu Sunnah, Salafiyuun.

Apakah orang yang beraliansi dengan partai Ba’ts di Irak lalu memerangi partai Ba’ts di Suriah padahal keduanya adalah satu agama yaitu Ba’ts –memahami fiqhul waqi?’ Slogan mereka adalah Aku mengakui Ba’ts sebagai rabbku, tiada sekutu baginya dan Eropa adalah ilahku tiada duanya. Mereka semuanya terlahir dari godokan Michael Aflaq, lalu dimana wala’ (loyalitas) dan bara’ (lepas diri) ?

“Artinya: Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” [Al-Hajj: 46]

Apakah orang-orang yang bergabung dalam program mempererat nasionalisme memahami fiqhul waqi’? padahal program itu menyelisihi syari’at dan aqidah, tidak memperdulikannya, bahkan membuang jauh-jauh syari’at, lantas berhukum dengan undang-undang bikinan manusia yang diimpor dari barat dan timur !

Apakah orang yang menghasut para pemuda untuk keluar (dari ketaatan kepada pemerintah ,-pen), takfir (mengkafirkan orang) dan melakukan pengeboman di pemukiman yang jauh dari medan jihad dan kancah peperangan memahami waqi’? Padahal pemukiman itu berada di hotel, tempat umum dan kedutaan-kedutaan tanpa membedakan antara orang kafir yang boleh diperangi dengan yang berada dalam perlindungan, muslim dengan kafir, anak-anak dan wanita, orang tua dan pemuda.

Salafiyun sangat memahami waqi’ berdasarkan firman Allah.

“Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Ra’du: 11]

Dan sabda Rasulullah.

“Artinya: Jika kalian berdagang dengan system ‘ienah, dan kalian ambil ekor-ekor sapi, kalian rela dengan pertanian dan kalian tinggalkan jihad niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, tidak akan dihilangkan kehinaan itu sehingga kalian kembali ke agama kalian” [Hadits Riwayat Abu Dawud 3462]

Saudara kami yang mulia Syaikh Sa’d bin Syayim berkata: “ …Orang alim adalah orang yang menghabiskan umurnya untuk menorehkan ilmu dan mengabdikan diri untuk ilmu, bersumber dari dua wahyu selaras dengan pemahaman salaf shalih, meresapkan ilmu dengan darah mereka lalu menancapkan di hati. Mereka tidak berbicara kecuali dengan ilmu, hati yang mantap, kokoh pijakan dan dari ujung kaki hingga ujung kepala dipenuhi dengan ilmu. Bukanlah orang yang berteriak dan berkaok lantas menjadi ulama. Bahkan di jaman kita ini terlalu banyak para pengkhotbah dan sedikit ulamanya, seperti dikatakan Ibnu Mas’ud.

Siapa yang menolong orang yang berbuat kebatilan sungguh dia telah berbuat dhalim. Semua itu adakalanya mencela ulama tersebut karena membela sunnah dan memperjuangkannya, atau karena para ulama itu tidak mau mengikuti aturan golongan mereka. Ulama yang tidak mau bergabung dengan mereka dijuluki tidak paham atau tidak peduli terhadap realita. Lalu membuat tuduhan dusta kepada ulama, berupaya menjauhkan manusia dari mereka dan memandang mereka dengan muak dan meremehkan. Demikianlah, jembatan dibentangkan mulai dari sekedar mencela dan mencerca sampai kata beliau (Syaikh Syayim): “Dan penghinaan kepada ulama tidak terbatas pada diri mereka namun sampai kepada apa yang mereka emban berupa ilmu dan agama. Allah akan membela orang-orang yang beriman dan memperhatikan orang-orang yang shalih. Bahkan mencela ulama itu merupakan pintu menuju kemurtadan”.

“Artinya: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nuur: 63]

Demikian nukilan dari syaikh Sa’d bin Syayim. Saya katakan: “Sesungguhnya orang-orang yang terdidik di atas Al-Qur’an, sunnah dan pemahaman generasi terbaik merekalah yang memahami realita umat dan masa depan mereka. Sebab mereka mengerti masa lalu umat yang bersinar. Sedangkan orang-orang yang menggeluti koran, majalah, analisa politikus, pengamat politik dan kantor berita asing dan internet ditambah kebodohan mereka yang sangat kentara terhadap Al-Qur’an, sunnah, ilmu syar’i, pelecehan dan pencelaan kepada ulama rabbani, merekalah sesungguhnya yang paling bodoh terhadap realita umat.

Kami tidak mengecilkan pengetahuan tentang rekayasa musuh-musuh Islam dan waspada terhadap program dan rencana mereka. Tetapi tuduhan kepada ulama rabbani semisal Ibnu Baz rahimahullah, Al-Albani rahimahullah dan Ibnu Utsaimin rahimahullah, bahwa mereka bodoh terhadap realita umat adalah kedhaliman dan kedustaan, dan membuat para pemuda lari dari ulama mereka. Inilah fitnah yang merambah yang membuat kerusakan bagi umat.

[5] SALAFIYUN MENCARI MUKA DIHADAPAN PEMERINTAH DAN TIDAK BERBICARA DENGAN KEBENARAN

Ini juga suatu dusta, tidak ragu lagi. Bagaimana sikap slafiyun ketika menduduki jabatan di kementrian, dewan fatwa dan hakim di negara Islam ? Tiada lain mereka memerangi ahli bid’ah sejak puluhan tahun. Apabila mereka mau main mata, munafik dan menjual ilmu niscaya mereka mendapatkan posisi yang diraih oleh selain mereka. Tetapi salafiyun menghukumi perbuatan tersebut sebagai munafik.

Bahkan mereka tidak membolehkan masuk parlemen agar tidak menjadi jembatan bagi undang-undang bikinan manusia dan hukum thagut dan supaya tidak menjadi perpanjangan kebatilan. Siapa diantara mereka yang menyimpang lalu memuji pemerintah dalam kebatilan atau mengambil muka atau bersikap munafik maka dia tidak mewakili kecuali dirinya sendiri. Salafiyah dan salafiyun berlepas dari perbuatannya, tidak bisa menerima dan tidak meridhainya. Tetapi mereka akan menasehati dan memberi peringatan lantas diisolasi. Allah tidak membebani hamba kecuali dengan apa-apa yang dia sanggupi.

Salafiyun, merekalah yang berbicara blak-blakan dengan didasari hikmah dan nasehat yang baik bukannya dengan mengompori, mempropaganda atau menghasut untuk mengkafirkan, pengeboman dan menentang pemerintah. Ini dia Imam Al-Albani, kami tidak pernah mengetahui beliau sehari saja menemui pemerintah, ditanya, memuji atau mecari muka pemerintah. Yang kami ketahui beliau bersikap seimbang dalam mencintai dan membenci. Inilah manhaj Islam yang benar dan adil tidak ifrath (ekstrim) dan tafrith (melalaikan).

Salafiyah menyeru untuk menasehati pemerintah dan tidak membutuhkan harta, kedudukan dan kemuliaan mereka. Sebagaimana salafiyah tidak menghasut untuk kudeta dan merebut kekuasaan mereka. Tidak boleh keluar dari ketaatan kepada pemerintah kecuali nampak kekufuran nyata, disertai syarat lengkap dan hilangnya penghalang. Inilah yang ditegaskan oleh para ulama rabbani yang mendalam ilmunya, bukannya orang awam dan para pengembala yang kerjanya berteriak dan berkaok-kaok.

[Disalin dari kitab Madza Yanqimuna Minas Salafiyah dan dimuat di majalah Al-Furqon edisi 5 Th III, hal 29-33, alih bahasa Abu Nu’aim Al-Atsari]

Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=534&bagian=0

Kenyataan (Realita) Umat Islam Dan Berita Kenabian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam 3/3

Minggu, 7 Maret 2004 14:55:47 WIB

KENYATAAN (REALITA) UMAT ISLAM DAN BERITA KENABIAN RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly

Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]

LIMADZA IKHTARTU AL-MANHAJ AS-SALAFY MENGAPA MEMILIH MANHAJ SALAF

Studi Kritis Solusi Problematika Umat

2. Benteng Pertahanan Kita (Umat Islam) Terancam dari Dalam Agar umat Islam tidak sadar dari pengaruh suntikan racun yang berisi bakteri penyakit mematikan yang disuntikan kedalam tubuhnya, dan dalam rangka menyesatkan, menggelapkannya serta menutupi kenyataan yang sebenarnya dari pandangan mereka, maka para tokoh pimpinan orang-orang kafir membangun produk-produk dalam tubuh kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk mengokohkan racun-racun dari dalam sehingga tidak nampak akibat jelek dari penyakit yang berbahaya ini kecuali setelah jangka waktu yang sangat panjang dan pada saat itu menyulitkan para dokter dan membuat kebingungan para cendekiawan (dalam mengobatinya, -pent).

Produk-produk yang selalu dibesar-besarkan oleh musuh Islam di telinga umat Islam dan membawa misi apa yang telah disuntikaan kepadanya adalah para pemimpin yang mengajak kepada api nereka. Mereka berasal dari bangsa kita, berbicara dengan bahasa kita dan mengaku punya kepedulian terhadap umat dan beramal untuk membawa kemajuan kita.

Oleh karena itu, sesungguhnya yang menanam bibit penyakit tersebut kedalam tubuh umat Islam adalah anak-anak Islam sendiri. Akan tetapi Nabi yang penuh rahmat dan pemberi petunjuk Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan suatu kesamaranpun dalam masalah ini. Beliau menjelaskannya dengan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bukan reka-reka darinya. Maka dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu terdapat penafsiran kelompok orang-orang hasil didikan dan pembinaan langsung para tokoh pemimpin kafir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya: Ya, para da'i yang mengajak ke pintu-pintu neraka (Jahannam), barangsiapa yang menerima ajakan mereka, niscaya mereka jerumuskan ke dalam neraka. Aku bertanya lagi: Wahai Rasulullah berilah tahu kami sifat-sifat mereka ? Beliau menjawab: Mereka dari kaum kita dan berbicara dengan bahasa kita".

Ini adalah sifat pertama yang menjadi ciri-ciri mereka yaitu mereka dari bangsa Arab baik secara nasab atau bahasa.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/36.

"Yaitu dari bangsa, berbahasa dan beragama seperti kita, dan ada padanya isyarat bahwa mereka dari bangsa Arab, berkata Ad-Dawudi: 'Yaitu dari bani Adam, berkata Al-Qaabisi: maknanya secara lahiriyah berada di atas agama kita akan tetapi mereka menyelisihi kita secara bathin karena kulit sesuatu adalah permukaannya dan dia asalnya adalah selaput penutup tubuh. Dan ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Arab, adalah warna kulit mereka umumnya sawo matang (kecoklat-coklatan) dan warna hanya tampak dari kulitnya".

Dan dalam riwayat lain.

"Artinya: Dan akan ada dikalangan mereka orang-orang yang berhati syaithan dengan jasad manusia" [Diriwayatkan oleh Muslim 12/236-237 An-Nawaawi]

Ini adalah sifat kedua yang menjadi ciri-ciri mereka yaitu mereka menampakkan kepedulian atas umat, kemaslahatan, kepemimpinan, kemerdekaan dan kemajuan ... mereka menyenangkan umat dengan lisan-lisan mereka, namun hati-hati mereka tidak menginginkan kecuali melaksanakan apa yang telah mereka pelajari dan dapatkan dari pembinaan majikan-majikan mereka dari kalangan orang-orang Salib dan Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka" [ Al-Baqarah: 120]

Inilah yang telah dirancang para majikan dari bangsa Eropa dan Yahudi dan dilaksanakan oleh para budak dari orang rendahan umat ini yang menjadi kuat di tanah air kita karena mereka telah tinggal menetap dan memakan kekayaannya akan tetapi telah terdidik oleh pembinaan kelompok syaithan dan tentara iblis yang telah mendidik mereka diatas doktrin-doktrin salibisme yang membunuh. Sesungguhnya dia perlahan-lahan akan tetapi pasti berdaya guna.

Dan inlilah yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya. "Artinya: Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian)" [At-Taubah: 8]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya: Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: 'Kami telah beriman'. Dan bila mereka kembali kepada syaitah-syaithan mereka, mereka mengatakan: 'Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok" [Al-Baqarah: 14]

Demikianlah mereka menakut-nakuti bangsa dan umat dan ditaati serta diserahkan kepada mereka tali kepemimpinan, karena umat ini telah menyimpang dari Manhaj Ilahi. Merekapun menyeret umat Islam kedalam Api neraka dan menginginkan agar umat menjadi penghuninya.

Mereka tidak pernah berhenti berdakwah kepada kesesatan dan kemungkaran. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, partai-partai, muktamar-muktamar dan konperensi-konperensi, oleh karena itu mereka disifati dengan nama du'at (para penyeru/ dai'-dai'). Dan kata du'at dengan didhomahkan huruf dalnya adalah bentuk jamak dari da'i yang bermakna jama'ah yang melaksanakan urusannya dan menyeru manusia untuk menerimanya.[Lihat Aunul Ma'bud 11/317]

Peringatan dan penegasan kenabian ini adalah isyarat telunjuk untuk orang-orang yang menderita buta warna sehingga mereka menjadi terompet semata, yang mengulang apa yang disampaikan kepadanya dari balik laut atau luar perbatasan !

Sesungguhnya ia merupakan penggugah umat Islam agar merekan berhati-hati terhadap tipu daya orang-orang kafir dan sadar lalu tidak mengikuti jalannya orang-orang mujrimin. Sesungguhnya kita telah mengetahui pengaruhnya dalam sejarah kaum muslimin dan telah kita lihat kejelekannya di dunia manusia seluruhnya. Adapun contoh-contohnya sangat banyak sekali dan itu turun temurun pada setiap masa dan tempat.

Para du'at kepada kesesatan, sampai saat ini senantiasa mengangkat propagandanya menyeru manusia ke neraka, semoga Allah melindungi kita dari mereka.

Maka inilah para penyeru demokrasi berkampanye, inilah pula tokoh-tokoh sosialis berkoar-koar, dan inilah mereka penyeru nasionalisme berteriak-teriak, sementara orang-orang pun mengikuti mereka di belakang.

Dan dengan demikian pembuat Dakhan adalah pendahulu para penyeru kesesatan dan dengan ini juga jelaslah bahwa mata rantai persekongkolan (konspirasi) terhadap Islam, pemeluk dan negaranya memiliki akar yang kuat dalam sejarah Islam.

3. Masa-masa Yang Menipu

Sesunguhnya laihiriyah masa-masa ini baik, akan tetapi dibaliknya tersimpan kerusakan. Bukankah Rasulullah telah mengatakan dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Muslim.

"Artinya: Dan akan ada dikalangan mereka orang-orang yang berhati syaithan dengan jasad manusia".

Ini terkadang menipu kebanyakan manusia yang hanya memandang kepada lahiriyah sesuatu namun pandangan terhadap hakikat sesuatu itu tertutup. Akibatnya, mereka tidak memperhatikan sama sekali perbaikan kerusakan-kerusakan dari awal-awalnya sehingga tidak membesar dan melebar sobekan pada kain tambalan.

Sesunguhnnya Ad-Dakhan berkembang mematikan kebaikan sehingga mengalahkannya lalu muncullah masa-masa yang penuh kejelekan dan permulaan munculnya pada du'at kesesatan dan kelompok-kelompok sesat.

Sesungguhnya para pembuat fitnah sangat bersemangat dalam beramal sedangkan orang-orang yang berada dalam kebenaran lengah dan terlelap. Buktinya adalah, dakhan ini membesar sampai mengalahkan kebenaran, menyerang kebenaran dan ahlinya,menyerahkan urusan kepada selain ahlinya serta meletakkan kebenaran bukan pada tempatnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu beliau berkata telah bersabda Rasulullah. "Artinya: Akan datang masa-masa yang menipu dimana-mana para pendusta dibenarkan dan didustakan orang-orang yang jujur, para penghianat diberi amanat dan orang yang amanah dianggap penghianat dan berbicara pada masa itu para ruwaibidhah. Lalu ada yang mengatakan: 'Siapakah Ruwaibidhah itu ? Beliau menjawab: 'Orang yang bodoh berbicara pada permasalahan umat".[1]

[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]

Foote Note.

[1] Shahih Lighoiri, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (4036), Ahmad (2/291), Al-Haakim (4/465. 466 dan 512), Al-Khoraaithiy dalam Makaarimul Akhlaaq hal.30 dan Asy-Syazriy dalam Amaalinya 2/256 dan 265 dari jalan periwayatan Abdil Malik bin Qudaamah Aljumahiy dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Al-Muqbiriy dari Abi Haurairah beliau berkata: Bersabda Rasulullah: Lalu menyebut haditsnya.

Berkata Al-Haakim: sanadnya shahih dan disepakati oleh Adz-Dzahaabiy. Saya berkata: Tidaklah seperti keduanya katakan, karena sanad hadits ini lemah, ada padanya Abdul Malik bin Qudaamah Al-Jumaahiy yang telah dilemahkan oleh Adz-Dzahabiy dalam beberapa kitabnya dan telah dinukil oleh banyak ulama pelemahan beliau ini. Juga ada Ishaaq bin Ai Furaat, dia itu majhul (tidak ada yang mentadinya) sebagaimana dalam At-Taqriib. Akan tetapi hadits ini memiliki jalan periwayatan yang lain yang menguatkannya: dikeluarkan oleh Ahmad 92/338 dari jalan periwayatan Fulaih bin Sulaiman dari Sa'id bin Ubaid dari Abu Hurairah secara marfu'.

Aku berkata: semua perawinya tsiqah kecuali Fulaih maka ad celaan dari sisi hafalannya maka hadits Abu Hurairah ini dengan dua jalan periwayatan tadi menjadi hasan akan tetapi hadits ini memiliki syahid-syahid yang mengangkatnya shahih...dst..

Sumber: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=409&bagian=0

Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah

Senin, 19 Januari 2004 07:55:09 WIB

Segala puji hanya bagi Allah Rabbul Alamin,shalawat serta salam Allah semoga dilimpahkan kepada Rasul-Nya yang paling mulia, penutup para nabi-nabiNya, juga kepada segenap keluarga,shahabat dan ikhwan-nya yang berpegang teguh dengan sunnahnya dan berpedoman kepada petunjuknya hingga hari pembalasan.

Nasihat termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang sangat penting dalam Islam.Sementara itu masih banyak kaum Muslimin yang belum mengenal hakikat nasehat [1] ,sehingga salah kaprah dalam menilainya.Anggapan bila nasehat adalah celaan ,penghinaan bahkan bisa jadi diidentikan dengan pengkafiran.Dan kesan ini begitu dimasyarakatkan dalam masa pamungkas ini,dimana slogan seperti: damai itu indah,indahnya kebersamaan, biarkanlah masing-masing dalam amalnya,jangan mengunting dalam lipatan dan lain-lain sejenisnya mencuat dan ditelan bulat-bulat sebagai benteng pencegah dari amalan (khususnya) nasehat nahi mungkar.

Kesan tersebut terus digembar-gemborkan layaknya dagangan ,sebagai resep jitu menguatkan status quo melestarikan hal-hal yang dianggap ibadah yang tidak sesuai dengan Islam atau cuma ndompleng dengan stempel nama Islam alias tetep me-lestari-ken acara paguyuban bid’ah dan formula yang pas-pasan buat mempertahankan pendapat yang jauh dari Sunnah seperti bolehnya demokrasi pemilu ,dll.

Dalam kesempatan ini ,kami hadirkan nasihat ulama [2] berkaitan dengan hal-ihwal bid’ah semoga dapat menjadi maslahat bagi kita semua.,mengamalkan apa yang telah disabdakan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam sebagaimana yang dilansir dari jalan Shahabat Tamin Ad Dari radhiallahu anhu:

“Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:”Agama adalah nasihat.”Kami bertanya,”Untuk siapa?”Beliau menjawab,”Untuk Allah Subhanahu wa ta'ala ,KitabNya,RasulNya,dan pemimpin dan umumnya kaum muslimin. [dikeluarkan oleh banyak para imam ahli hadits:Muslim dalam shahihnya: 2/37;Ahmad dalam Musnadnya 4/102-103;Abu Daud dalam Sunan no.4944,An Nasaa’I 7/157,dll]

Karang Tengah,Syawal 1424H

Abu Ismail.email: apriadi27ETyahoo.com

Ibnu Taymiyah dalam Al Fatawa (I/2460 berkata:

“Perkataan-perkataan yang dinukil dari para ulama Salaf perlu diperhatikan dan dipahami benar-benar lafaznya dan perlu akurat dalam menempatkan perkataan-perkataan tersebut sebagai dalil sebagaimana keterangan dari Al Qur’an dan Al Hadits.

[lih. Ar Radd al mufhim, pasal 7 ,syaikh Al Albani]

Catatan: [1] Imam Ar Raghib,beliau berkata (dalam Al Mufradat: 494),”Nasehat adalah memilih perbuatan dan perkataan yang ada kemaslahatan bagi pelakunya.”

untuk lebih detail masalah “fiqh nasihat” coba lihat postingan terdahulu di mailist ini. [2] Yakni atsar-atsar Ibnu Mas’ud dan Fudhail bin Iyadh yang diambil dari Lamurud Durri Al Mantsuri Hiina al Qaul al Ma’tsur, karangan Abu Abdillah Jamal bin furaihan al Haritsy, edisi Indonesia:Kilauan Mutiara Hikamh Dari Nasihat Salaful Ummah , tarjim: Idral Harits, Penerbit Pustaka As Salaf ,cet 1 Juli 1998

******PERKATAAN IBNU MAS’UD********

6. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah !! Sebab sungguh itu telah cukup bagi kalian. Dan (ketahuilah) bahwa setiap bid’ah itu sesat.

(Ibnu Nashr: 28 dan Ibnu Wudldlah: 17)

8. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Berpeganglah kamu dengan ilmu (As Sunnah) sebelum diangkat, dan hati-hatilah kamu dari mengada-adakan hal yang baru (bid’ah) dan melampaui batas dalam berbicara dan membahas suatu perkara , hendaknya kalian tetap berpegang dengan contoh yang telah lalu."

(ad-Darimiy 1/66 no. 143 , Al Ibanah Ibnu Baththah 1/324 no. 163 , Al-Lalikai 1/87 no. 108 dan Ibnu Wadldlah 32)

9. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada sungguh-sungguh di dalam bid’ah. (Ibnu Nashr 30, Al-Lalikai 1/88 n0. 114 dan Al-Ibanah 1/320 no. 161)

** Syaikh Ali Hasan dalam ilmu ushul bida’ mengatakan: “Kata-kata mutiara ini juga diriwayatkan dari banyak shahabat diantaranya Abu Darda’ dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhuma, seperti yang disebutkan dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah (no. 114 & 115),…

Sederhana dalam sunnah maksudnya tetap dalam AsSunnah meskipun hanya mengamalkan perkara yang wajib (saja). Ini termasuk orang-orang pilihan seperti yang dikatakan dalam firman Allah surat al-Fathir:32.

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.

Juga seperti halnya diungkapkan oleh Abul Ahwas:”Wahai Sallam tidurlah dengan cara sunnah dan itu lebih baik bagimu daripada bangun malam dengan cara bid’ah.”

24. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Hai manusia tetaplah kalian ta’at dan berada dalam al-jama’ah karena sungguh ia itu adalah tali Allah yang Ia perintahkan berpegang dengannya dan sesungguhnya apapun yang tidak disukai dalam jama’ah jauh lebih baik daripada apapun yang disukai di dalam perpecahan.” (Al-Ibanah 1/279 no. 133)

58. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Ketahuilah , hendaknya jangan satupun dari kalian bertaklid kepada siapapun dalam perkara agamamu sehingga (bila) ia beriman (maka) ikut beriman, apabila ia kafir (maka) ikut pula menjadi kafir.

Maka jika kamu tetap ingin berteladan , maka ambillah contoh dari yang telah mati, sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah.”

(Al-Lalaikai 1/93 no. 130 dan Al-Haitsamy dalam Al Majma’ 1/180)

97. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Barangsiapa yang suka memuliakan diennya , maka tinggalkanlah bermajelis dengan ahli ahwa’ sebab demikian itu lebih sulit lepasnya dibanding penyakit kulit.”

(Al Bida’ 57)

150. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman, karena seorang muslim akan mengikuti muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir lainnya. (Al Ibanah 2/477 no. 502 , Syarhus sunnah al-Baghawy 13/70)

151. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al-Ibanah 2/476 no. 499)

152. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia) .” (Al-Ibanah 2/477 no. 501)

173. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Jika seorang mukmin memasuki masjid yang didalamnya berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu , ia tentu akan masuk kedalamnya lalu duduk didekatnya. Dan jika seorang munafik memasuki masjid yang didalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafik juga, ia akan tetap masuk dan duduk didekatnya.

254. Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu berkata:

“Sungguh saya benar-benar membenci orang yang kosong, tidak beramal untuk dunia dan tidak beramal pula untuk akhirat.”

(Bayan Fadhli ilmis salaf hal. 38)

*********PERKATAAN FUDHAIL BIN IYADH**********

65. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya, dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi al-hikmah. Dan saya ingin jika antaqra saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang kokoh. Dan saya makan di samping Yahudi dan Nashrani lebih saya sukai daripada makan di sebelah ahli bid’ah”.

(Al-Lalikai 4/638 no. 1149)

87. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Saya telah mendapatkan bahwa sebaik-baik manusia seluruhnya adalah ahli sunnah dan mereka senantiasa melarang bergaul dengan ahli bid’ah.”

(Al-Lalikai 1/138 no. 267)

90. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Jangan kamu duduk (bermajlis) bersama ahli bid’ah sebab sesungguhnya saya khawatir kamu tertimpa laknat”.

(Al-Lalikai 1/137 no. 261-262)

91. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Hati-hatilah kamu (jangan) masuk kepada ahli bid’ah karena sesungguhnya mereka itu selalu menghalangi orang dari al haq”.

(Al-Lalikai 1/137 no. 261-262)

99. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Ahli bid’ah itu , jangan kamu mempercayainya dalam soal agamamu dan jangan ajak dia bermusyawarah dalam urusanmu dan jangan duduk dengannya. Maka siapa yang duduk dengannya Allah wariskan kepadanya kebutaan (dari al haq).”

(Al-Lalikai 1/138 no. 264)

122. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu, dan jangan duduk dengan pengekor hawa nafsu, karena sesungguhnya saya khawatir kamu terkena murka Allah.”

(Al-Ibanah 2/462-463 no. 451-452)

132. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Siapa yang menghormati ahli bid’ah berarti ia memberi bantuan untuk meruntuhkan Islam, dan siapa yang tersenyum kepada ahli bid’ah maka ia telah menganggap remeh apa yang diturunkan Alllah Azza Wa Jalla kepada Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam . Dan siapa yang menikahkan puterinya kepada mubtadi’ (ahli bid’ah) , maka ia telah memutuskan hubungan silaturahminya, dan siapa yang mengiringi jenazah seorang mubtadi’ akan senantiasa berada dalam kemarahan Allah sampai ia kembali.” Ia juga mengatakan:” Saya makan bersama Yahudi dan Nashrani dan tidak makan bersama mubtadi’

(Syarhus Sunnah 139)

172 Al-FudhaIL Bin Iyadl mengomentari hadits:

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Ruh-ruh itu adalah sepasukan tentara , maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan berselisih.” (Shohih , Bukhory 3158 dan Muslim 2638)

“Tidak mungkin seorang sunny (ahlu sunnah) akan berbasa-basi kepada ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.”

(lih. Ar-Rad ‘alal Mubtadi’ah li Ibni Al-Banna)

181. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Siapa yang masuk kepada ahli bid’ah , maka tidak ada kehormatan baginya.” (Al-Lalikai no. 282)

232. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Ikutilah jalan-jalan petunjuk ! Dan tidak akan merugikanmu meskipun sedikit orang yang menempuhnya. Sebaliknya jauhilan jalan-jalan kesesatan!! Dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang-orang yang celaka di dalamnya” (Al I’thisham 1/112)

247. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

“Saya lihat jiwaku ini , ramah bergaul dengan mereka yang dinamakan teman.Maka saya lihat dari pengalaman , ternyata kebanyakan mereka adalah orang-orang yang iri (dengki) dengan nikmat teman-nya. Dan mereka tidak menyembunyikan kekeliruan teman-nya , juga senang mengabaikan hak teman duduknya, juga tidak mau membantu teman-nya dengan harta mereka.Maka ketika saya perhatikan perkara ini , ternyata kebanyakan teman itu iri dengan kenikmatan orang lain.

Padahal Allah yang Maha suci sangat cemburu kepada hati seorang mukmin yang cernderung jinak dengan sesuatu (selain Allah) . maka Ia keruhkan dunia dan penghuninya agar si Mukmin hanya menyenangiNya (jinak kepada Allah).

Maka sepantasnya kamu menganggap semua mahluk itu sebagai kenalan dan jangan kamu tampakkan rahasiamu kepada mereka . Jangan anggap sahabat orang yang tidak cocok untuk digauli tetapi pergaulilah mereka secara zahir.

Jangan bergabung dengan mereka kecuali dalam keqadaan darurat dan itupun sejenak saja, kemudian tinggalkanlah mereka. Setelah itu hadapilah urusanmu sambil berserah diri kepada Penciptamu (Allah) sebab sesungguhnya tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Allah dan tidak ada yang dapat menolak kejelekan kecuali Dia.”

(Al I’thisham: 1/158)

248. Al-FudhaIL Bin Iyadl berkata:

Apabila terjadi kekasaran diantara kamu dan seseorang, maka berhati-hatilah kamu darinya. Jangan kamu harapkan persahabatan yang murni dan mempercayainya, sebab sesungguhnya dia akan selalu memperhatikan tindak-tandukmu, sedangkan kedengkian nya tersembunyi.

Adapun orang yang awam maka menjauh dari mereka merupakan keharusan. Karena mereka tidak termasuk jenismu, maka apabila terpaksa duduk bersama dalam majelis mereka maka (lakukanlah) sesaat saja dan jagalah kewibawaan dan kewaspadaanmu, sebab bisa jadi kamu mengucapkan satu kata dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang keji.

Jangan kamu menyuguhkan ilmu kepadqa orang yang jahil dan (jangan pula) kamu suguhkan orang-orang yang lalai dengan fiqh dan orang yang dungu dengan keterangan (al bayan), tapi perhatikanlah apa yang menyelamatkan mereka dengan lemah lembut dan berwibawa.

Jangan meremehkan musuh-musuhmu karena mereka mempunyai tipu daya yang tersembunyi, dan kewajibanmu hanyalah bergaul dan berbuat baik kepada mereka secara zhahir. Dan termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang dengki , maka tidak pantas mereka mengetahui nikmat yang kamu dapatkan. Dan sesungguhnya al-‘ain itu haq , sedangkan bergaul dengan mereka secara zahir itu harus.

(al hujjah 1/304)

Tidak ada komentar: