Tidak fana dan tidak binasa.
Dengan matan kelima, Abu Ja’far ath-Thahawi menjelaskan bahwa Allah meliputi dimensi waktu; bahwa Dia adalah yang paling dahulu dan yang kekal secara mutlak. Matan ini sebenarnya merupakan penjelasan dari dua nama Allah, yaitu al-Awwal dan al-Akhir. Kedua nama ini disebut oleh Allah dalam firman-Nya,
“Dialah al-Awwal (yang Pertama) dan al-Akhir (yang Terakhir).” (QS. al-Hadid: 3)
Sedangkan matan keenam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abul ‘Izz, dengannya ath-Thahawi memberikan penegasan untuk matan sebelumnya, khususnya pada bagian “yang kekal tanpa berakhir”. Matan ini berdasarkan firman Allah
Al-Khaththabi dalam Sya’nud Du’a mengatakan, “Al-Awwal berarti yang mendahului segala sesuatu, yang ada, dan sudah ada sebelum adanya makhluk, yang karena itulah Dia berhak menyandang predikat Yang Pertama. Keberadaan-Nya tidak didahului dan dibarengi oleh apa pun. Sedangkan al-Akhir berarti yang tersisa setelah kebinasaan makhluk. Jadi makna al-Akhir bukan berarti sesuatu yang memiliki titik akhir, sama seperti halnya makna al-Awwal yang bukan berarti sesuatu yang punya titik permulaan.”
Senada dengan pernyataan dua ulama di atas, az-Zujajiy mengatakan, “Allah adalah yang pertama, karena memang Dia ada sebelum segala sesuatu. Allah adalah yang pertama karena tidak didahului oleh apa pun. Dan Allah adalah yang terakhir karena hanya Dia yang tersisa saat segalanya binasa.”
Penjelasan az-Zujajiy di atas bukan berarti kampung akhirat kelak tidak abadi. Keberadaan akhirat adalah abadi. Hanyasaja itu setelah semua makhluk mengalami kebinasaan. Dalam riwayat shahih disebutkan, setelah meniup sangkakala kedua, tanda binasanya semua makhluk, malaikat yang bertugas untuk itu dimatikan Allah selama ‘40’. Sahabat Abu Hurairah yang membawakan hadits ragu apakah empat puluh hari, bulan, atau tahun. Saat itulah tiada makhluk yang hidup. Hanya Allah yang hidup. Setelah itu, malaikat peniup sangkakala menjadi makhluk pertama yang dibangkitkan. Lalu dia pun meniup sangkakala tanda dibangkitkannya semua manusia. Allah swt. berfirman,
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah” (QS. al-Qashash: 88)
Dua nama Allah di atas ditambah dua nama yang lain yaitu azh-Zhahir dan al-Bathin dinyatakan oleh Ibnul Qayyim sebagai tiang ilmu dan salah satu rukun tauhid. Keempat nama ini disebut sekaligus oleh Allah dalam firman-Nya,
Ibnul Qayyim menyatakan bahwa subjek keempat asma ini berkonotasi cakupan ruang dan waktu. Segala yang dahulu bermuara pada sifat awal-Nya, dan segala yang terakhir bermuara kepada keabadian-Nya. Segala yang tampak tidak lebih jelas daripada Allah, sebagaimana segala yang tersembunyi tidak lebih halus daripada Allah. Begitulah, Allah selalu lebih jelas dari yang tampak, lebih halus dari yang tersembunyi, lebih dahulu dari yang awal, dan lebih akhir dari yang belakangan.
Al-Awwal menunjukkan kedahuluan-Nya, al-Akhir menunjukkan kekekalan-Nya, azh-Zhahir menunjukkan ketinggian dan keagungan-Nya, dan al-Bathin menunjukkan kedekatan-Nya. Segala sesuatu didahului oleh sifat awal-Nya. Dia tetap ada setelah segala sesuatu dengan sifat akhir-Nya. Dia lebih tinggi dari segala sesuatu dengan sifat zhahir-Nya. Dan Dia lebih dekat dari segala sesuatu dengan sifat bathin-Nya. Lapisan langit dan bumi tidak akan menutupi-Nya. Bertumpangtindihnya yang tampak dengan yang tersembunyi tidak akan menghalangi-Nya. Bahkan yang tersembunyi, bagi-Nya menjadi yang tampak, yang ghaib menjadi jelas sekali, yang jauh dari-Nya menjadi dekat, dan yang rahasia menjadi terang. Keempat asma ini menyangkut rukun-rukun tauhid: Allah itu yang awal dalam sifat akhir-Nya, yang terakhir dalam sifat yang awal-Nya, yang tampak dalam ketersembunyian-Nya, dan yang tersembunyi dalam sifat zhahir-Nya. Dan Dia masih tetap yang awal, yang akhir, yang tampak, dan yang tersembunyi.
Setelah kita memahami ini dengan baik, mestinya kita tergerak untuk memperbanyak dzikir kita dengan nama-nama Allah yang ‘husna’ ini. Tentu saja di saat dan tempat yang tepat, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah n. Dalam Shahihnya Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits, ketika hendak tidur hendaklah kita berbaring dengan bertumpu pada bagian tubuh yang kanan, lalu membaca,
“Ya Allah, Rabb langit, Rabb bumi, Rabb ‘arsy yang agung; Rabb kami, dan Rabb segala sesuatu; yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan dan yang menurunkan Taurat, Injil, dan al-Furqan (al-Qur`an). Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya. Ya Allah, engkau adalah al-Awwal (yang Pertama), tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu dan Engkau adalah al-Akhir (yang Terakhir), tidak ada sesuatu pun sesudah-Mu. Engkau adalah azh-Zhahir (yang Tampak), tidak ada sesuatu pun di atas-Mu. Engkau adalah al-Bathin (yang Tersembunyi), tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu (yang lebih tersembunyi dari-Mu). Bayarkanlah hutang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran.”
Dengan memperhatikan matan kelima ini secara seksama berikut penjelasan para ulama seputar nama Allah al-Awwal dan al-Akhir, kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya ath-Thahawi tidak mengkategorikan ‘qadim’ dan ‘daim’ sebagai dua dari asmaul husna. Kita mesti ber-husnuzhan, berbaik sangka kepada beliau –sebagaimana kita mesti ber-husnuzhan kepada ulama yang lain- bahwa beliau sangat paham etika dan kaidah menetapkan nama-nama bagi Allah.
Qadim dan Daim memang nama yang indah sebagaimana maknanyapun tinggi. Tetapi asmaul husna bukan sekedar indah, tetapi yang terindah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar