Minggu, 11 Januari 2009

SUNAH VS ORIENTALIS

Barat memepelajari Islam

Tidak ada keterangan yang jelas ,kapan dan siapa sebenarnya orang barat yang pertama kali yang mempelajari Islam.Para pakar berbeda pendapat,ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi pada waktu perang Mu'tah (8 H) kemudian perang tabuk (9 H),dimana terjadi kontak pertama kali orang-orang Romawi dengan orang-orang Muslim.Sementara pakar yang lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika perang antara kaum Muslimin dengan Nashrani di Andalus { Spanyol },terutama setelah Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 448 H/1085 M.

Ada juga yang berpendapat hal itu terjadi ketika orang-orang Barat merasa terdesak oleh Ekspansi Islam,terutama setelah jatuhnya Istanbul pada tahun 857 H/1453 M,ketangan kaum Muslimin dimana kemudian mereka masuk ke Wina.Orang-orang Barat merasa perlu untuk membendung Ekspansi ini,sekaligus untuk mempertahankan eksistensi kaum Nashrani.Sementara itu ada pula yang berpendapat lain.[1]

Namun suatu hal yang perlu dicatat,bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac {938-1003 M},Adelard of Bath {1070-1135 M},Pierre Le Venerable {1094-1156 M},Gerard de Gremona {1114-1187 M},Leonardo Fibonacci {1170-1241 M},da lain-lain pernah tinggal di Andalus,dan mempelajari Islam di kota-kota seperti Cordova,Sevila,Toledo,dan lain-lain.Sepulang dari Andalus – yang waktu itu masih dikuasai umat Islam- mereka menyebarkan ilmunya kedaratan Eropa.Misalnya,Jerbert de Oraliac yang kemudian terpilih menjadi Paus II {999-1003 M} mendirikan dua sekolah Arab,masing-masing di Roma,tempat ia bermarkas sebagai paus,dan di tempat kelahirannya di Perancis.Bahkan Robert of Chester {populer antara 1141-148 M}dan kawannya Herman Alemanus {w 1172 M}sepulang dari Andalus mereka menerjemahkan Al-Qur'an atas saran dari Paus Sylvestre II .Penerjemahan Al-Qur'an ke bahasa latin yang dibantu dua orang Arab ini selesai pada tahun 1143 M.Dan ini merupakan terjemah Al-Qur'an yang pertama kali dalam sejarah.

Nama-nama diatas tercatat sebagai orang-orang Eropa yang pertama kali melakukan kajian tentang Islam yang kemudian lazim disebut Orientalisme[2].

Kajian Hadits

Kajian Islam yang dilakukan oleh orang-orang barat pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum, termasuk bidang sejarah dan sastera.Baru pada masa belakangan mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang Hadits Nabawi.

Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M.Azami, sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian Hadits adalah Ignaz Goldziher,Orientalis Yahudi yang hidup antara tahun 1850-1921M.Pada tahun 1890 M ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku yang berjudul "Muhammedanische Studien" {Studi Islam}.Dan sejak saat itu sampai kini,buku Godziher ini menjadi "kitab suci " dikalangan orientalis.

Kurang lebih 60 tahun sesudah terbinya buku Godziher itu,Joseph Schacht yang juga Orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku berjudul "The Origins of Muhammadan Jurisprudence".Konon lebih dari 10 tahun ia melakukan penelitian hadits.Dan sejak saat itu {1950 M}buku J. Schacht juga menjadi "kitab suci" di kalangan orientalis.

Dibandingkan dengan I. Goldziher,J. Schacht memiliki keunggulan karena Shcacht pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun Hadits dari Nabi SAW khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam.Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadits.Karenanya,dikalangan Orientalis buku Schacht ini memperoleh reputasi yang luar biasa.Tak kurang dari Prof. Gibb mengatakan bahwa buku Schacht ini kelak akan menjadi rujukan pokok bagi semua kajian tentang peradaban dan hukum Islam,Paling tidak di Barat.[3]Bahkan Prof. Anderson dari universitas London melarang mahasiswanya mengritik buku Schacht.Katanya bila Anda ingin meraih gelar doktor,jangan sekali-kali Anda mengritik Schacht, karena pihak universitas tidak mengizinkan hal itu.[4]

Tidak ilmiah

Selain dua buku diatas,dalam masa tiga perempat Abad sejak terbitnya buku Goldziher,kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka tentang Hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadits.Memang ada sebuah buku yang ditulis oleh A.guillaume berjudul The traditions of Islam {Hadits-hadits Islam},tetapi kajiannya sangant mengandalkan Goldziher, sehingga sama sekali tidak menyuguhkan sesuatu yang baru dalam penelitian Hadits.karenanya, menurut Prof. Dr.Azami, buku Guillaume ini tidak memiliki nilai ilmiah.[5]

Seorang orientalis yang diharapkan dapat merevisi pendapat-pendapat Goldziher dan Schacht adalah Prof. Robson, karena ia menerjemahkan kitab Misykah al-Mashabih dan Al-Madkhal karangan Al-Hakim.Namun ternyata ia terkecoh oleh teori Schacht.[6]

Ulama memalsu hadits

Untuk mengetahui hasil-hasil kajian orientalis tentang hadits,sebenarnya cukup menelusiri pendapat-pendapat kedua tokoh orientalis di atas,yaitu Goldziher dan Schacht,karena orientalis-orientalis sesudahnya pada umnya hanya mengikuti kedua tokoh tersebut.

Baik Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa Hadits tidak berasal dari Nabi Muhammad b melainkan sesauatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriyah.Atau dengan kata lain,Hadits adalah bikinan para ulama pada abad pertama dan kedua.Gldziher berkata:"Bagian terbesar dari Hadits tidak lain adalah hasil perkembangan islam pada abad pertama dan kedua, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial.Tidaklah benar pendapat yang mengatakan bahwa Hadits meprupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini{masa pertumbuhan}, melainkan adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan.[7]

Sementara Schacht berkata:"Bagian terbesar dari sanad hadits adalah palsu.Semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana,kemudian mencapai kesempurnaannya pada paruh kedua dari abad ketiga hijriyah.[8]

Mengubah teks-teks sejarah

Tokoh ilmu Hadits yang menjadi incaran serangan Goldziher adalah Imam Al-Zuhri {W 123 H}.Di samping dituduhnya sebagai pemalsu Hadits,Goldziher juga merubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Al-Zuhri,sehingga timbul kesan bahwa Al-Zuhri memang mengakui sebagai pemalsu Hadits.

Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan:" Inna haulai al umara' akrahuna a'la kitabah ahadits"{Sesungguhnya para pejabat itu telah memaksa kami untuk menulis hadits}.Kata " ahadits" dalam kutipan Goldziher tanpa memakai "al",yang dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif{ma'rifah}.Sementara dalam teks yang asli,sepeti terdapat dalam kitab Ibnu Sa'ad dan Ibn Asakir,adala "al-hadits " yang berarti hadits –hadits yang sudah dimaklumi secara definitif ,yaitu hadits-hadits yang berasal dari Nabi`.[9]

Jadi pengertian ucapan Al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadits Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalan satu buku.Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadits yang belum pernah ada pada saat itu.

Al-Zuhri memalsu hadits

Hadits tesebut berbunyi "Tidak diperintahkan pergi kecuali mehuju tiga masjid,masjid A-Haram,Masjid Nabawi,Masjid al-Aqsa"[10].Menurut Goldziher Abdul Malik bin Marwan {Khalifah dari Dinasti Umayah di Damascus} merasa khawatir apabila Abdulloh bin Zubair [yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah] mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam [Syiria dan sekitarnya]yang sedang melakukan ibadah Haji di Makkah untuk berbaiat [sumpah setia]kepadanya.Karenanya,Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah,tapi cukup pergi ke Qubbah Shakhra di al-Quds yang saat itu menjadi wilayah Syam.

Untuk mewujudkan usaha yang bersifat politis ini,Abdul Malik bin Marwan menugaskan Ibnu Shihab al-Zuhri agar ia membuat hadits dengan sanad yang bersambung kepada Nabi` di mana isinya umat islam tidak di perintahkan pergi kecuali menuju tiga Masjid,yaitu Masjid al-Haram[di Makkah],Masjid Nabawi[di Madinah],Masjid al-Aqsha[di al-Quds/Jerussalem].[11]

Jadi kesimpulannya, Hadits tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Muhammad ` ,meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab Shahih al -Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh umat Islam,bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah Al-Qur'an.Dari sini rasanya tidak terlalu rumit untuk menetapkan bahwa tujuan Golzuher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selama ini telah tebina kokoh sejak abad ketiga Hijriyah- Imam Bukhari wafat tahun 256 H-sampai sekarang.

Apabila umat Islam sudah tidak percaya lagi pada Imam Bukhari beikut hasil penelitiannya dalam ilmu Hadits, maka semua Hadits yang terhimpun dalam kitab beliau tidak akan di pakai lagi oleh umat Islam.Dan pada gilirannya nanti, Sesudah Imam Bukhari dikorbankan, Imam-imam ahli Hadits yang lain juga akan dibantai satu-persatu.Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut Hadits, dan robohlah sudah satu pilar agama Islam.

Ulama menjawab

Namun Alloh tentu tidak akan rela apabila hal itu terjadi. Karenanya,Alloh juga menyiapkan orang-orang yang dapat membabat pikiran-pikiran orientalis.Dan pemikiran orientalis Ignaz Goldziher ini sedikitnya telah disanggah oleh tiga ahli hadits kontemporer.Masing-masing adalah Prof. Dr. Mustafa al-Siba'i {guru besar universitas Damascus}dalam bukunya [السنة ومكانتهافي التشريـــــع الإسلام ] ,Prof. Dr. Muhammad al-Ajjaj al-Khatib dalam bukunyaDالسنة قبــــــــــل التدويــــــن} { dan Prof. Dr. Muhammad Musthofa Azami{guru besar ilmu hadits universitas King Saudi Riyah}dalam bukunya{د راسات في الحد يث النبوي}atau{Studies in Early Hadith Literature}.

Menurut Azami, tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya.Para Ahli Tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri antara 50 sampai 58 H.Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H.Pada tahun 68 H orang-orang Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim Haji.Dari sini Prof. Dr. Azami berkesimpulan bahwa Abdul Malik bin Marwan baru berfikir untuk membangun Qubbah Sakhra yang konon akan dijadikan pengganti ka'bah pada tahun 68 H.

Apabila demikian halnya, maka al-Zuhri pada saat itu berumur 10 sampai 18 tahun.Karenanya tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai seorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, di mana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah Haji dari Makkah ke Jerussalem.Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak terdapat para sahabat dan para Tab'in ,di mana mereka tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.

Argumen lain yang juga meruntuhkan Goldziher adalah teks hadits itu sendiri sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih al-Bukhari.Di situ tidak ada satu isyarat pun yang menujukkan bahwa ibadah Haji dapat di lakukan di Al-Quds[Jerussalem}.Yang ada hanyalah isyarat pemberian keistimewaan kepada Masjid al-Aqsha.Dan hal ini wajar saja mengingat Masjid itu di jadikan kiblat pertama umatIslam.Di sisi lain,tampaknya Goldziher hanya menuduh al-Zuhri saja sebagai pemalsu hadits tesebut.Padahal Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh delapan belas orang selain al-Zuhri.[12]Namun mereka beruntung tidak dituduh sebagai pemalsu hadits seperti halnya al-Zuhri.

Teori "Projecting Back"

Dalam mengkaji Hadits Nabawi.Schacht menyoroti aspek sanad dari pada aspek matan.Sementara kitab-kitab yang dipakai ajang penelitian adalah kitab al-Muwatta' karya Imam Malik, kitab al-Muwatta' karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Umm dan al-Risalah karya Imam Syafi'i.Menurut Pro. Dr. Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut kitab-kitab fiqih dari pada kitab-kitab hadits.Oleh karena itu, meneliti hadits yang tdapat dalam kitab-kitab fiqih tidak akan tepat.Penelitian hadits harus pada kitab-kitab hadits.[13]

Prof. Schacht mnegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya"bi {w 110 H}[14].Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam,maka hadits-hadits itu buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya'bi.Ia berpendapat bahwa hukum Islam baru di kenal semenjak masa pengangkatan para qadhi.Para Khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qadhi ,pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.[15]

Kira-kira pada Abad pertama hijri {kurang lebih 715-720 M}pengangkatan Qadhi itu ditujukan kepada orang-orang spesialis yang berasal dari kalangan yang taat beragama.Karena jumlah orang-orang yang spesialis ini kian bertambah, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok Aliran Fiqih Klasik.Hal ini terjadi pada dekade pertama abad kedua Hijri.

Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi ini memerlukan legimitasi dari orang-orang yang memiliki otoitas lebih tinggi.Karenanya, mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menisbahkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya.Misalnya, orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim Al-Nakha'i{w 95 H }.

Perkembangan berikutnya,pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq.Langkah selanjutnya untuk memperoleh legimitasi yang lebih kuat,pendapat-pendapat iti dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya Abdulloh bin Mas'ud z.Dan pada tahap akhir pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad `.

Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Prof. Schacht,yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh di belakang {Projecting Back}.[16]

Menurut Schacht,munculnya Aliran-Aliran Fiqih Klasik ini membawa konsekwensi logis, yaitu munculnya oposisi yang terdiri dari Ahli-ahli Hadits.Pemikiran dasar kelompok ahli-ahli Hadits ini adalah bahwa Hadits-hadits yang berasal dari Nabi ` harus dapat mengalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok Aliran-aliran Fiqih.Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan ini, kelompok ahli-ahli Hadits membuat penjelasan-penjelasan dan hadits-hadits,seraya mengatakan bahwa hal itu pernah di ucapkan atau di kerjakan oleh Nabi`.Mereka juga mengatakan bahwa hal itu mereka terima secara lisan berdasarkan sanad yang bersambung dari para periwayat Hadits dapat di percaya[17].

Kesimpulan dari teori Schacht ini baik kelompok Aliran Fiqih maupun kelompok Ahli Hadits,keduanya sama-sama memalsu hadits.Karenanya Schacht mengatakan,"We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic"{kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadits Nabi ` yang berkaitan dengan hukum,yang dapat dipertimbangakan sebagai Hadits shahih}.

Oleh karena itu,Schacht menilai bahwa sanad adalah bukti adanya tindakan sewenang-wenang dan kecerobohan yang dilakukan para ulama pada saat itu.Schacht bahkan membuat teori kapan pemalsuan hadits terjadi.

Ia berkata:"The best way to proving that a tradition did not exist at a certain time, is to sow that is was not used as a legal argument in a discussion which would have made reference to it, if it had existing"{cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadits tidak pernah ada dalam suatu waktu tertentu adalah dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak pernah di pergunakan sebagai dalil dalam diskusi para Fuqaha.Sebab, seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu dijadikan referensi}.

Schacht juga memberikan beberapa contoh tentang kapan pemalsuan hadits itu dimulai.Misalnya hadits-hadits yang menurut dia baru muncul sesudah masa Hasan AL-Bashri.Hadits-hadits antara Ibrahim An-Nakho'i dan Hammad,Hadits-hadits antara Malik dan penulis-penulis hadits klasik {al-kutub al-sittah }dan lain-lain.

Merontokkan Teori 'Projecting Back'

Prof. Dr. Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Juresprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa Hadits terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah bikinan para ulama abad kedua dan ketiga hijri.Ia mengatakan","We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authenti"{kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadits Nabi ` yang berkaitan dengan hukum,yang dapat dipertimbangakan sebagai Hadits shahih}.

Untuk mendukung kesimpulannya ini,Schacht mengetengahkan teori"Projecting Back"[proyeksi ke belakang],Yaitu menisbahkan {mengaitkan}pendapat para Ahli Fiqih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi.Menurutnya para Ahli Fiqih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan tokoh-tokoh sebelumnya,sampai kepada Nabi ` sehingga membentuk sanad hadits, inilah rekonstruksi tebentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi Muhammad`.

Untuk menghancurkan teori Schacht itu,Prof. Dr. Azami melakukan penelitian khusus tentang hadits-hadits Nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik.Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abu Shalih{w 138 H}.Abu Shalih {Ayah Suhail}adalah murid Abu Hurairah sahabat Nabi ` .Karenanya, sanad {transmisi}Hadits dalam naskah itu berbentuk :Nabi ` -Abu Hurairahz-Abu Shalih-Suhail.

Naskah Suhail ini berisi 49 Hadits.Sementara Azami meneliti para Rowi[periwayat} Hadits-hadits itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga{Al-thabaqah al tsalitsah}, termasuk jenjang jumlah dan domisili mereka.Azami membuktikan bahwa pada jenjang ke tiga,jumlah Rowi berkisar antara 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan antara india sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman.Sementara teks Hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.

Maka Azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadits palsu sehingga redaksinya sama.Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadits yang mereka buat itu sama.Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad Hadits maupun bunyi teks[matan] hadits.

Sebagai contoh, hadits dimana Nabi ` bersabda:"Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada dimana".[18]Hadits ini dalam naska Suhail bin Abi Shalih berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang pertama {generasi sahabat}ia diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, Ibnu Umar, Jabi, Aisyah, dan Ali g.

Abu Hurairah sendiri kemudian meriwayatkan Hadits tesebut kepada 13 orang Tabi'in {jenjang ke dua}.13 Tabi'in ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru negri Islam.8 orang tetap tinggal di Madinah, seorang tinggak di Kufah, 2 orang tinggal di Bashrah, seorang tinggal di Yaman, dan seorang lagi tinggal di Syam.

Tiga belas Tabi'in ini meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya{Atba' Tabi'in}, dan jumlah mereka menjadi tidak kurang dari 16 orang.Mereka tinggal di Madinah [6 orang],Bashrah[4 orang], Kufah[2 orang], Makkah[1 orang],Yaman[1 orang],khurasan[1 orang], dan Himsh-Syam[1 orang][19].Maka mustahil 15 orang yang domosilinya terpencar-pencar di tujuh kota yang berjauhan itu pernah berkumpul pada suatu saat untuk bersama-sama membuat Hadits palsu yang redaksinya sama.Atau mustahil pula,bila mereka secara sendiri-sendiri di kediamannya masing-masing membuat Hadits, dan kemudian di ketahui redaksi Hadits tersebut itu secara kebetulan sama.

Dan enam belas orang rowi di atas adalah hanya rawi-rawi dari jalur [sanad}Abu Hurairah.Apabila jumlah rawi itu di tambah dengan rawi-rawi yang berada di empat jalur yang lain, yaitu Ibnu Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali, maka jumlah rawi itu akan menjadi lebih banyak.Sementara dalam teori Schacht, jumlah rawi sedikit sekali, di samping redaksi hadits yang diriwayatkan tidak sama, bahkan bertentangan, karena ia merupakan produk ahli-ahli fiqih yang seperti lazimnya berbeda pendapat.

Sunah dan Orientalis

Dalam melakukan kajian Hadits,kalangan orientalis agaknya tidak puas dengan terminlogi Sunah yang dibuat oleh Ahli Hadits.Karenanya mereka ramai-ramai membikin definisi sendiri tentang Sunah,dimana hal itu sangat berbeda dengan definisi yang diberikan Ahli Hadits.

Joseph Schact misalnya Ia mengatakan:"the classical theory of Muhammadan law defines sunna as the model behaviour of the prophet…….But sunna means, strictly speaking nothing than precendent,"way of life".[20]Teori klasik tentang Fiqih Islam mendefinisikan Sunah adalah perbuatan yang Ideal dari Nabi ` …….Tetapi pengertian sunah secara tepat adalah tidak lebih dari perbuatan masa lalu yang semisal ', pandangan hidup,'.

Sementara Ignaz Goldziher berpendapat bahwa Sunah itu istilah Animisme.Schacht menuturkan{Goldziher telah menjelaskan bahwa kata Sunah itu pada mulanya adalah animisme yang kemudian di ambil alih dan di adaptasi oleh Islam}[21].

Margoliouth bahkan berkesimpulan lebih radikal.Kata Schacht:Margoliouth berkesimpulan bahwa Sunah sebagai sumber hukum, semula berarti contoh atau norma yang di kenal oleh masyarakat.Hanya pada masa belakangan saja pengertian Sunah itu terbatas pada perbuatan-perbuatan Nabi `.[22]

Karenany, Schacht akhirnya berkesimpulan bahwa konotasi Sunah dalam masyarakat Islam pada masa-masa awal adalah[ hal-hal yang sudah menjadi tradisi atau perbuatan yang telah di sepakati secara umum /telah memasyarakat.[23]

Dari batasan Sunah yang di berikan oleh para orientalis itu jelas sekali bahwa mereka tidak mengaitkan [menisbatkan] Sunah kepada Nabi ` .pengaitan Sunah kepada Nabi ` seperti kata Margoliouth adalah terjadi pada masa belakangan artinya bahwa Sunah seperti yang di konotasikan oleh umat Islam selama ini sebagai perbuatan atau perkataan Nabi ` itu tidak pernah ada.


[1] .Dr. Qasim al-Samarai al-istisyraq baina al-Maudu'iyah wa al-Ifti'aliyah.Dar al-Rafa'i, 1403/1983, hal 21-22.

[2] .Najib al-Aqiqi;Al-Musytasriqun, Dar al Maarif Cairo, 1/110-117/

[3] .Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami ,Studies in Early Hadith literature, American Trust Publication, Indianapolis, 1978. hal xvii-xviii. Dan edisi Arab:

دراسات في الأحاد يث النبوي و تا ريح تد وينه

Al-Maktab al-Islami,Beirut,1440/1980;I/y.

[4] .Prof. Dr. Musthafa al-Siba'I :

السنة و مكانتها في التشر يع الإسلا مي

Al-Maktab al-Islami,Beirut, 1978. hal 16.

[5] .Azami,M.M;

[6] .Ibid.

[7] .Prof. Dr. Ali Hasan Abdul Qadir

النظرة العامية في التا ريح الفقه الإسلامي: دار الكتب الحد يثة

Cairo, hal, 127.

[8] .Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jusprudence, Clarendon press,Oxford, 1975, hal.163.

[9] .Prof. Dr Musthafa al-Siba'I, hal .15.

[10] .HR. Shahih Bukhari i/206.

[11] .Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami, hal;127-128.

[12] .Prof. Dr. Muhammad Musthofa Azami, hal;128,131. Studies, hal;288-292.

[13] .Prof. Dr. Muhammad Musthofa Azami,

دراسات قي حد يث النبوي و تا ريح تدوينه

Al-Maktab al-Islami,Beirut 1980,II/398.

[14] .Prof. Dr. Joseph Schacht, The origins, hal;230.

[15] .Prof. Dr. Joseph Schacht, An Introduction, hal;16, 24.

[16] .Ibid, hal;31-32. Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami, II/446.

[17] .Prof. Dr. Joseph Schacht, hal;34.

[18] .Ibid. Hal: 222-223.

[19] .Ibid. Hal :225-226.

[20] .Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, The Clarendon Press, Oxford, 1975, hal.58.

[21] .Ibid.

[22] .Ibid.

[23] .Ibid.

Tidak ada komentar: