Beliau adalah Aslam, Abu Muhammad, Atha' bin Abi Rabbah al-quraisy, budak milik orang makkah.
Ali ibnu Al-Madini berkata : Beliau adalah budaknya Habibah binti Maisarah bin Abi Khutsaim. Sedangkan Ibnu Sa'ad berkata : beliau adalah budak kepunyaan orang bani Fahr atau bani Jamh. Dikatakan bahwa beliau ini hitam, matanya buta sebelah, pesek hidungnya, lumpuh tangannya, dan pincang. Akan tetapi setelah itu beliau buta. Dan bapaknya bernama Nubi seorang pembuat keranjang dari daun kurma.
Beliau adalah Syaikhul Islam, Ulama tabi'in yang berilmu dan mengamalkan imunya, seorang mufti masjidil haram, tsiqah, dan ahli di bidang manasik haji.
Ibrahim bin Umar bin Kisan berkata : "ketika bani umayyah sedang melakukan ibadah haji ada orang yang menyeru dan berteriak :"wahai kaum muslimin tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha' bin Abi Rabbah. Jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih."
Kelahirannya dan perkembangannya
Beliau dilahirkan pada masa khalifah Utsman bin Affan yaitu pada tahun 27 hijriyah dan tumbuh berkembang di Makkah.
Dimasa kecil beliau hanyalah sebagai seorang budak milik seorang wanita penduduk mekkah, hanya saja Allah memuliakan budak habsyah ini sejak dia pancangkan kedua telapak kakinya di atas jalan ilmu. Beliau membagi waktunya menjadi tiga bagian, sebagian untuk majikannya, sebagian lagi beliau pergunakan waktunya untuk menyendiri bersama Rabbnya, beliau tenggelam dalam peribadatan yang begitu suci dan ikhlas karena Allah.
Sepertiga lainnya beliau pergunakan untuk berkutat dengan ilmu. Beliau datangi sisa-sisa para sahabat Rasulullah yang masih hidup, dan berhasil mereguk ilmu dari sumbernya yang jernih.
Begitu penduduk makkah melihat budaknya telah menjual dirinya kepada Allah, dan berbakat untuk menuntut ilmu, maka ia cabut haknya terhadap Atha', dia merdekakan budaknya demi taqarrub kepada Allah, dengan harapan mudah-mudahan dia dapat memberikan manfaat bagi islam dan kaum muslimin.
Sejak hari itu Atha' menjadikan baitul haram sebagai tempat tinggalnya, menjadi rumah tempat beliau bermalam, sebagai madrasah bagi beliau memperdalam ilmu, tempat shalat untuk taqarrub kepada Allah dengan takwa dan ketaatan, hingga para pakar sejarah berkata : "masjid tersebut menjadi tempat tidur bagi Atha' bin Abi Rabbah selama kurang lebih 20 tahun".
Sampailah tabi'in yang agung ini ke derajat yang tinggi dalam hal ilmu, puncak keluhuran martabat yang tiada manusia yang mampu meraih derajat tersebut melainkan sedikit sekali pada zaman beliau.
Guru-gurunya
Beliau mengambil ilmu dari para sahabat lebih dari dua ratus orang diantaranya adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, A'isyah, Jabir, Muawiyah, Abdullah bin Amru, Safwan bin Umayyah, Rafi' bin Khudzaij, Zaid bin Arqam, Abi Sa'id, Hakim bin Hizam dan sahabat-sahabat lain yang mulia, hingga dadanya penuh dengan ilmu, fikih dan riwayat dari Rasulullah saw.
Orang yang mengambil ilmu dari beliau
Diantara orang yang mengambil ilmu dari beliau adalah : Mujahid bin Jabar, Abu Ishaq as-sabi'i, Abu zubair, Amru bin Dinar, Zuhri, Qatadah, Amru bin Syua'ib, Malik bin Dinar, Al-A'masy, Yahya bin Abi Katsir, Salamah bin Kuhail, Al-qudama', Usamah bin Zaid al laitsi, Ismail bin Muslim al-makki, Thalhah bin Amru al-makki, Abdulah bin Abdurrahman bin Abi Husain, Abdullah bin Abi Najih, Al-auza'i, Ibnu Juraij, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Keutamaan atau kelebihan yang ada pada diri beliau
Salamah bin Kuhail berkata : "Tiada aku melihat seorangpun yang lebih mengharapkan wajah Allah dengan ilmunya melainkan tiga orang yaitu Atha', Thawus, dan Mujahid".
Sebagai contoh dari keutamaan beliau yang kami nukil dari kitab jejak para tabi'in adalah ketika itu sudah berada di sepuluh hari terakhir bulan dzulhijjah tahun 97 hijriyah. Saat di mana Baitul Atiq dibanjiri oleh lautan manusia yang menyahut panggilan Allah hingga memenuhi seluruh ruas jalan.
Mereka datang berbondong-bondong menyahut seruan rajanya manusia dengan penuh khusyu', tunduk dan penuh harap dan suka cita.
Sementara itu Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah kaum muslimin, raja tertinggi di dunia sedang berthawaf di Baitul Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa memakai apapun selain sarung dan rida'. Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat biasa. Beliau seperti layaknya saudara-saudaranya karena Allah. Di belakangnya turut kedua putranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi baunya.
Setelah usai melakukan thawaf, khalifah menghampiri seorang kepercayaannya dan bertanya: di manakah temanmu itu ? sambil menunjuk ke sudut barat masjidil haram dia menjawab : di
Kedua putra mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan laki-laki yang di maksud oleh Amirul mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan shalatnya.
Ternyata dia adalah seorang tua habsyi yang berkulit hitam. Keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk dia laksana burung gagak yang berwarna hitam.
Setelah merampungkan shalatnya, syaikh itu menolehkan pandangannya ke arah di mana khalifah duduk, maka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan orang tua itu membalasnya dengan serupa.
Di sini khalifah menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang manasik haji, rukun demi rukunnya, sedangkan orang tua tersebut menjawab setiap pertanyaan yang di ajukan. Dia jelaskan dengan rinci dan tidak menolak kesempatan bagi yang ingin menambahnya. Dia sandarkan seluruh pendapatnya kepada hadits Rasulullah.
Setelah merasa cukup dengan pertanyaannya, khalifah mendo'akan syaikh tersebut agar mendapatkan balasan yang lebih baik, lalu khalifah berkata kepada kedua putranya: berdirilah kalian ! Maka berdirilah keduanya dan mereka pun beranjak menuju tempat sa'i.
Di tengah perjalanan sa'i antara shafa dan marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru "wahai kaum muslimin tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha' bin Abi Rabbah. Jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih." Seorang dari pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata : petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorangpun selain Atha' bin Abi Rabbah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula memberi hak penghormatan khusus kepadanya ?.
Sulaiman berkata kepada putranya : "wahai anakku pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha' bin Abi Rabbah, orang yang berhak berfatwa di masjidil haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak". Kemudian beliau melanjutkan "wahai anakku carilah ilmu karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat, para budak bisa melampaui derajat para raja".
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik seperti yang beliau katakan kepada putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan salah satunya adalah Atha' bin Abi Rabbah yang sedang kita pelajari.
Telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar berkunjung ke Makkah untuk melakukan umrah. orang-orang mengerumuni beliau untuk menanyakan persoalan agama dan meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau berkata : "sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk mekkah, mengapa kalain mengerumuni aka untuk bertanya tentang masalah-masalah tersebut padahal di tengah-tengah kalian ada atha'.
Atha' mencapai puncak derajat dalam hal agama dan ilmu karena dua hal :
Yang pertama, beliau mampu mengendalikan jiwanya sehingga tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguana baginya.
Yang ke dua : beliau mampu mengatur waktunya sehingga tidak membuangnya sia-sia, seperti mengobrol maupun perbuatan tak berguna lainnya.
Sungguh Allah memberikan manfaat kepada banyak orang dengan ilmu Atha' bin Abi Rabbah. Di antara mereka ada yang menjadi ilmu yang handal, ada yang menjadi pengusaha, dan lain-lain.
Imam Abu Hanifah an-nu'man menceritakan pengalaman beliau : aku pernah melakukan
Tukang cukur itu mulai memangkas rambutku sementara aku hanya diam memperhatikannya dengan takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata : mengapa anda diam saja ? bertakbirlah ! Lalu akupun bertakbir hingga aku beranjak untuk pergi. untuk kesekian kalinya tukang cukur itu menegurku. "hendak kemanakah anda !" aku katakan : aku hendak pergi menuju kendaraanku". Tukang cukur itu berkata : shalatlah dua rakaat dahulu, baru kemudian silahkan pergi sesuka anda. Akupun shalat dua rakaat, lalu aku berkata pada diriku sendiri, tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu. kemudian aku bertanya kepadanya : dari manakah anda mendapatkan tata cara manasik yang telah anda ajarkan kepadaku tadi ? Orang itu menjawab : aku melihat Atha' bin Abi Rabbah mengerjakan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada manusia dengannya.
Sungguh gemerlapnya dunia telah merayu Atha' namun beliau berpaling dan menampiknya dengan serius. sepanjang hayat beliau hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5 dirham saja.
Wafatnya beliau
Atha' di karuniai umur panjang hingga mencapai delapan puluh tahunan, beliau penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa, beliau sucikan dirinya dengan zuhud terhadap apa yang di miliki manusia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah
Begitu ajal menjemput, alangkah ringan beban dunia yang di pundaknya. Karena kebanyakan bekalnya adalah amal untuk akhirat. ia bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali wukuf di arafah. beliau memohon kepada Allah ta'ala keridhaan dan jannah-Nya dan memohon perlindungan kepada-Nya dan kemurkaan-Nya dari siksa neraka.
Al haitsam, Abul Malih Ar-ruqa, Ahmad, Abu Umar Adh dharir, berkata : Beliau (Atha' bin Abi Rabbah) wafat pada tahun 114 hijriyah dan mempunyai umur sekitar 87 tahun.
Maraji'
v Jejak para tabi'in (DR. Abdurrahman bin Raf'at Basya)
v Mizanul I'tidal (Imam Adz-Dzahabi)
v Siyar A'lam An-nubala' (Imam Adz-Dzahabi)
v Tafsir wal mufassirun (DR. Muhammd Husain Adz-Dzahabi)
v Tahdzibut-tahdzib (Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar