Sesungguhnya masalah ini termasuk masalah fiqih yang penting dan sangat dalam pembahasannya, namun belum mendapat perhatian di kalangan para fuqahâ terdahulu, sehingga pemahaman masalah ini menjadi kabur. Dan ternyata hal tersebut dialami juga oleh kalangan intelektual Muslim saat ini. Untuk menjelaskan pertanyaan tersebut di atas, kami akan bertolak dari firman Allah SWT:
"(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada Al Khair (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran 104).
Ayat yang mulia ini merupakan seruan yang sangat jelas kepada umat Islam untuk membentuk suatu jama'ah, kelompok da'wah atau sebuah partai politik Islam, sekaligus membatasi aktivitasnya ke dalam dua kegiatan: pertama, berda'wah kepada Islam (terhadap pengikut agama lain); dan kedua, melakukan amar ma'ruf dan nahyi munkar di tengah-tengah kaum Muslimin.
Kita mengetahui bahwasanya pelaksanaan hukum syari'at Islam telah dibebankan kepada individu, juga kepada ulil amri (penguasa) yang tanggung jawabnya lebih berat dibandingkan tanggung jawab yang dibebankan kepada individu, tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah syari'at Islam membolehkan adanya jama'ah/kelompok da'wah atau partai politik Islam untuk melakukan aktifitas yang pembebanan pelaksanaan hukumnya ditujukan bagi individu atau ulil amri? Mengapa syariat Islam membebankan berbagai hukum tertentu kepada jama'ah, kelompok da'wah, maupun partai politik Islam secara khusus, yang tidak diperuntukan bagi individu dan atau ulil amri?
Memang benar bahwa keberadaan suatu jama'ah, kelompok da'wah atau partai Islam merupakan fardlu kifayah, yakni suatu kewajiban yang dibebankan atas seluruh kaum Muslimin. Sebab, perintah tersebut ditujukan kepada kaum Muslimin di setiap wilayah Islam, yaitu dengan firmanNya:
"..Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat.." (Ali Imran 104).
Ayat tersebut juga membatasi aktivitas jama'ah dalam dua hal seperti yang telah disebut di muka. Dalam hal ini, syari'at Islam tidak hanya membatasi pembahasannya tentang urusan penguasa ataupun individu, tetapi juga membahas pula masalah gerakan. Bahkan, syari'at Islam mengharuskan adanya jama'ah, kelompok da'wah atau partai-partai Islam pada setiap masa secara terus menerus, khususnya pada saat daulah Islam masih ada. Kalaupun tidak ada daulah Islam untuk seluruh kaum Muslimin di dunia seperti keadaan saat ini, maka dalam hal ini terdapat dalil lain yang tetap mengharuskan adanya gerakan Islam, yaitu dengan berpedoman kepada kaidah syara' yang mengatakan:
"Apabila suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan itu wajib pula hukumnya".1)
-------------------
1) Lihat Al Muwafaqaat, Imam Asy Syathibi, Jilid II, halaman 394.
Sebab daulah Islam tidak akan tegak berdiri tanpa adanya suatu gerakan Islam yang berupaya untuk menegakkannya.
Kita juga mengetahui bahwa mencegah kemungkaran dengan ''tangan'' yang merupakan aktivitas fisik seperti mengangkat senjata, tindakan kekerasan dan lain sebagainya, bukanlah kegiatan amar ma'ruf nahi munkar (yang biasanya dalam bentuk aktivitas non-fisik, atau menyeru dengan menggunakan lisan) dan ayat 104 Surat Ali Imran yang telah disebutkan di atas, membatasi aktivitas gerakan hanya untuk berda'wah saja, baik da'wah yang berupa ajakan untuk memeluk agam Islam, ataupun da'wah yang berupa ajakan untuk melaksanakan Islam dengan cara amar ma'ruf nahi munkar, yang kesemuanya merupakan aktifitas fikriyah (mengajak berpikir dan menentukan sikap). Ayat itu tidak dapat dijadikan alasan atau dalil penggunaan ''tangan'' oleh gerakan dalam mencegah kemunkaran, walaupun bagi individu telah ada perintah yang membolehkan seseorang mencegah kemunkaran dengan ''tangan'' sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan pemahaman dari sabda Rasulullah saw:
"Siapa saja di antara kalian melihat (suatu) kemungkaran, maka hendaklah ia berusaha mencegahnya dengan tangannya ..."2)
Para ulama sepakat bahwa kemungkaran itu tidak boleh dicegah dengan senjata. Seorang individu tidak wajib mencegah kemungkaran apabila tindakannya justru akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi3). Inilah dalil yang membolehkan bagi individu untuk melakukan aktivitas yang tidak boleh dilakukan oleh suatu gerakan.
Contoh lain dari perbedaan antara aktivitas gerakan dengan individu adalah tindakan Abu Bakar ra tatkala membebaskan Bilal ra, yang ketika itu masih berstatus budak milik Umayyah bin Khalaf. Setelah mengetahui Bilal ra masuk Islam, Umayyah mulai menyiksanya dengan cara menjemurnya di siang hari yang terik dan ditindih batu besar, dengan tujuan agar ia meninggalkan Islam dan kembali kepada kemusyrikan. Namun
-------------------
3) Lihat Shahih Muslim, hadits no. 49.
4) Lihat Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, jilid II, hal 25-35.
Bilal ra tetap sabar menahan siksaan dan hanya mengucapkan kata "ahad" berkali-kali. Padahal sesuatu yang mudah bagi Nabi saw, sebagai pemimpin gerakan Islam pertama di dunia, untuk mengumpulkan dana dari para Shahabatnya guna menebus dan membebaskan Bilal ra serta Shahabat lainnya yang disiksa setelah masuk Islam. Namun demikian, beliau tidak melakukannya!
Kita memahami bahwa apabila perbuatan seperti itu merupakan suatu keharusan untuk dilakukan, tentulah harus segera dilaksanakan. Namun ternyata Nabi saw, sebagai pemimpin gerakan Islam, tidak melakukannya walaupun beliau mampu. Dari sini dapat dipahami bahwa aktivitas seperti itu atau yang serupa dengannya bukanlah kegiatan dan tanggung jawab gerakan. Dalil tersebut sekaligus membuktikan bahwa ada aktivitas yang individu boleh melakukan apa yang tidak boleh dilakukan oleh suatu gerakan.
Di antara hal-hal lain yang membedakan secara nyata antara aktivitas inidividu dengan aktifitas gerakan adalah sebagaimana yang dicantumkan dalam kitab-kitab Sirah Nabi saw, bahwasanya Abdurrahman bin Auf ra dan beberapa orang Shahabat lainnya mendatangi Rasulullah saw seraya berkata:
"Ya Nabiyullah. Dahulu, tatkala kami masih musyrik, kami dimuliakan. Tetapi tatkala kami telah beriman, kami dihinakan". Rasulullah saw menjawab:
'Aku telah diperintahkan untuk menjadi orang pemaaf. Karena itu, janganlah kalian memerangi mereka (Quraisy)' (HR An Nasa'i)4).
Namun demikian dalam catatan sejarah, Saad bin Abi Waqash ra atas nama pribadinya pernah melakukan tindakan yang bersifat fisik, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sirah Nabi saw.
-------------------
4) Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ath Thabari, Ibnu Abi Hatim, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Lihat Sunan An Nasa'i, jilid VI, halaman 2-3; Ad Durrul Mantsur, Imam As Suyuthi, jilid II, halaman 594.
Diceritakan bahwa sekelompok Shahabat termasuk di dalamnya Sa'ad bin Abi Waqash sedang melakukan shalat di salah satu lembah kota Makkah. Mereka menyembunyikan aktifitas itu dari orang-orang kafir. Tetapi, sekelompok orang Musyrik melihat perbuatan tersebut dan mulai mengganggu serta mencaci-maki mereka. Akhirnya terjadi perkelahian antara kedua kelompok itu. Keadaan tersebut mendorong Sa'ad bin Abi Waqash memukul salah seorang musyrik dengan rahang unta sehingga berlumuran darah (lalu mati). Peristiwa ini merupakan pertumpahan darah yang pertama di dalam Islam. Berita ini kemudian sampai kepada Rasulullah saw, tetapi beliau mendiamkannya (membolehkannya)5).
Dari pengaduan Abdurrahman bin Auf ra dan kemudian Rasulullah saw menjawab agar bersifat pemaaf dan tidak membolehkan mereka memerangi orang-orang Quraisy atau yang lainnya, maka kita dapat memahami bahwasanya Rasulullah saw tidak membolehkan gerakan melakukan reaksi terhadap tindakan kekerasan dengan cara membalasnya. Yang beliau lakukan adalah menyuruh para Shahabat untuk bersabar (menahan diri). Padahal ketika itu, Rasulullah saw mampu mengerahkan kaum Muslimin untuk bereaksi membalas kekerasan yang dilakukan orang-orang kafir itu dengan perbuatan yang setimpal dalam setiap peristiwa/ kejadian yang menyakiti dan membahayakan kaum Muslimin. Namun ternyata, beliau tidak melakukannya meskipun tindakan itu dibutuhkan, dan walaupun ada pengaduan dari Shahabat agar Rasulullah saw mau melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau melarang kaum Muslimin melakukan tindakan kekerasan/fisik atas nama gerakan, namun dibolehkan bagi individu atau anggota gerakan melakukannya atas nama pribadi mereka apabila diancam atau dianiaya dan disiksa.
Dalil-dalil lain yang lebih memperkuat pemahaman ini adalah tindakan dan aktifitas da'wah Rasulullah saw di Makkah yang berlasung selama 13 tahun. Beliau melakukan aktivitas da'wah dan meminta pertolongan kepada orang-orang terkemuka dari seluruh Jazirah Arab dengan tujuan agar da'wah beliau berhasil dalam menegakkan daulah Islam. Rasulullah saw dalam hal ini telah membatasi kegiatannya dalam aktivitas-aktivitas
-------------------
5) Lihat Sirah Ibnu Hisyam jilid I, halaman 263; As Sirah An Nabawiyah, Imam Adz Dzahabi, halaman 84.
yang bersifat non fisik (fikriyah). Beliau tidak pernah melakukan aktivitas apapun yang bersifat fisik, sebagaimana yang dikatakannya kepada para Shahabatnya setelah Bai'at Aqabah II:
"Kita belum diperintahkan melakukan hal itu (tindakan kekerasan)". 6)
Beliau menolak tawaran para pemimpin Madinah untuk memerangi penduduk Mina (jama'ah haji dari seluruh Jazirah Arab) dengan pedang. Beliau tidak mengatakan kepada mereka: "Kita belum mampu", tetapi beliau mengatakan: "Kita belum diperintahkan melakukan hal itu". Dan Rasulullah saw baru mengizinkan mereka melakukan perang, setelah beliau bersama kaum Muhajirin hijrah ke Madinah dan setelah berdirinya daulah Islam di sana. Saat itulah diturunkan firman Allah SWT yang berbunyi7):
"Telah diberi izin (untuk berperang) bagi orang-orang yang telah diperangi, karena mereka telah dizhalimi" (Al Hajj: 39).
"Mafhum Mukhalafah" 8)dari ayat ini menjelaskan bahwa sebelum hijrah, kaum Muslimin tidak diizinkan untuk berperang. Mafhum Mukhalafah ini merupakan hujjah yang wajib dilaksanakan serta dijadikan pedoman bagi setiap gerakan Islam. Lebih dari itu, Allah SWT berfirman:
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: 'Tahanlah tanganmu (dari berperang), dan dirikanlah shalat'" (An Nisa 77).
-------------------
6) Lihat Sirah Ibnu Hisyam, jilid I, halaman 448; As Sirah An Nabawiyah, Imam Adz Dzahabi, halaman 202.
7) Lihat As Sirah An Nabawiyah, Imam Az Zahabi, halaman 467-468.
8) Hukum yang tersirat adalah kebalikan dari hukum yang tersurat. Disebut juga dengan dalil khithab
Ayat ini diturunkan pada saat daulah Islam belum terwujud, sementara telah ada satu gerakan yang dipimpin Rasulallah saw yang anggotanya adalah individu-individu Muslim (kaum Muhajirin), yang berupaya keras untuk mendirikan daulah Islam dengan menghabiskan waktu 13 tahun lamanya. Setelah itu timbul kebutuhan untuk melakukan aktivitas fisik. Akan tetapi sebelumnya kaum Muslimin sebagai sebuah kesatuan gerakan, telah dilarang melakukan aktivitas fisik tersebut. Malah, mereka diperintahkan untuk bersabar dan menahan emosi. Bahkan, sebagian besar dari mereka diizinkan berhijrah ke Habsyah demi menghindarkan diri dari fitnah (paksaan untuk meninggalkan Islam).
Tidak diturunkannya izin yang membolehkan tindakan kekerasan pada saat itu, menunjukkan adanya larangan keras melakukan tindakan kekerasan tersebut dalam usaha mendirikan daulah Islam pada setiap masa. Sedangkan diturunkannya izin melakukan tindakan kekerasan muncul setelah tegaknya daulah Islam, menunjukkan bahwa aktifitas fisik merupakan salah satu hal yang tidak termasuk langkah-langkah suatu gerakan. Melainkan hal tersebut termasuk aktivitas dan tanggung jawab daulah Islam, dan sebagian tercakup pula ke dalam aktivitas individu.
Dari sini kita dapat memahami bahwasanya syari'at Islam telah membedakan antara hukum yang dibebankan kepada gerakan dengan hukum yang dibebankan kepada individu dan penguasa. Namun perlu diingat pula bahwa perbedaan hukum-hukum terhadap jama'ah, kelompok da'wah dan partai politik Islam dengan hukum-hukum yang menyangkut individu di dalam suatu gerakan, hanya terbatas pada gerakan yang mengemban da'wah Islam yang bertujuan mendirikan daulah Islam saja. Atau dengan kata lain hanya pada kelompok da'wah yang aktifitasnya bersifat politis yang melakukan aktifitas berdasarkan apa yang telah diserukan dalam surat Ali Imran ayat 104, meneladani cara kelompok da'wah pertama dalam sejarah umat Islam, yaitu kelompok Shahabat yang dipimpin Rasulullah saw.
Adapun kelompok-kelompok kaum Muslimin lainnya (selain gerakan politik), terhadap mereka hanya dapat diterapkan hukum-hukum syara' yang menyangkut masalah individu. Sama halnya dengan suatu jama'ah (sekelompok orang) yang sedang bepergian. Status hukum yang menyangkut mereka, sama dengan hukum-hukum yang barkaitan dengan individu, baik mereka mempunyai pemimpin lebih dari satu, ataupun tanpa pemimpin. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok masyarakat yang membentuk suatu lingkungan, atau organisasi-organisasi sosial yang bergerak di tengah-tengah masyarakat; semua kelompok ini dan yang serupa dengannya, terhadap mereka diberlakukan hukum-hukum yang berkaitan dengan individu, walaupun aktifitas sosial kemasyarakatan itu mereka laksanakan secara bersama-sama serta tolong menolong. Dengan kata lain, mereka dianggap sebagai sebuah organisasi/sekelompok orang, namun tidak dapat dikategorikan sebagai gerakan politik atau sebagai gerakan da'wah Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar