Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, anggota Haiah Kibaril Ulama dan
dosen di Fakultas Syari'ah dan Ushuluddien di kota Qashim, Saudi Arabia, ketika ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hakimiyah), beliau menjawab :
"Barangsiapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam (pembagian) tauhid yang disebut 'tauhid hakimiyah', maka orang tersebut dianggap 'mubtadi'. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang 'jahil' yang tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikitpun.
Yang demikian itu karena 'al-hakimiyah' termasuk dalam tauhid 'rububiyah' dari sisi bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam tauhid 'uluhiyah' (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah dengan hukum Allah. Dengan demikian 'hakimiyah' tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu tauhid 'rububiyyah' tauhid 'uluhiyah' dan tauhid 'asma wa sifat'.
Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, beliau menjawab : "Saya membantah mereka dengan bertanya kepada mereka : Apa makna 'al-hakimiyah ?' Tidak lain mereka akan mengatakan : 'inil hukmu illa lillah (tidak ada hokum selain hukum Allah). Padahal ini adalah tauhid 'rububiyah' Allah. Dia adalah 'Ar-Rabb' (Yang Memelihara), 'Al-Khaliq' (Yang Menciptakan), 'Al-Malik' (Yang Memiliki), 'Al-Mudabbir' (Yang Mengatur segala urusan).
Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka ita tidak bisa memastikannya. [Disalin dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417H, Majalah Salafy, Edisi XXI/1418/1997 hal. 20]
Jumlah Nama Dan Sifat Allah
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah ada ketetapan di dalam syari’at tentang pembatasan jumlah al-asma al-husna (nama-nama Allah yang baik) ? Apakah mungkin menyebutkannya ? Dan apa pula nama Allah yang teragung ?
Jawaban.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Hanya milik Allah asma al-husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaa-ul husan itu” [Al-A’raf : 180]
“Artinya : Dia mempunyai al-asma-ul husna (nama-nama yang baik)” [Thaha : 8]
Nama-nama Allah yang husna (baik) tidak diketahui berapa jumlahnya, kecuali hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak terdapat pembatasan atas hal itu. Tetapi mungkin saja menentukan jumlah yang tedapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagian ulama telah menghimpun sebagian besarnya di dalam kitab. Beberapa diantaranya telah disusun, seperti Ibnul Qayyim di dalam Kitab “Nuniyah” demikian pula Syaikh Husain bin Alu Syaikh di dalam manzhum (bait-bait)nya “ Al-Qaul al-Usna Fi Nazhmi al-Asma al-Husna” yang telah dicetak dan tersebar.
Adapaun nama Allah yang paling mulia adalah yang tedapat pada dua ayat berikut ini.
“Artinya : Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (mahlukNya)..” [Al-Baqarah ; 255]
“Artinya : Alif Laam Miim. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus mahlukNya” [Ali Imran : 1-2]
Demikian pula terdapat pada ayat ketiga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
Keagungan Allah
Firman Allah:
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal
bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan
tangan kananNya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan (Az-zumar 67)
Ibnu Mas'ud menuturkan:"Salah seorang pendeta Yahudi datang kepada Rasulullah
dan berkata:
"Wahai Muhammad! Sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami) bahwa Allah akan meletakkan langit di atas satu jari, pohon-pohon diatas jari, air diatas
satu jari, tanah diatas satu jari, dan seluruh makhluk diatas satu jari, maka
Allah berfirman: Aku-lah Penguasa." Tatkala mendengarnya, tersenyumlah Nabi
Shollallahu 'Alaihi Wasallam sehingga tampak gigi-gigi beliau, karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu; kemudian beliau membacakan firman Allah surat Azu-zumar 67 diatas (hadist riwayat Bukhari dan Muslim)
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Allah akan menggulung seluruh lapisan langit pada hari Kiamat, lalu diambil dengan Tangan Kanannya dan berfirman: "Akulah Penguasa; mana orang-orang yang
berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong ?" Kemudian Allah menggulung ke tujuh lapis bumi, lalu diambil dengan Tangan KiriNya dan berfirman: "Akulah Penguasa; mana orang-orang yang berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong?
Diriwayatkan dari
(Dikutip dari "Kitab Tauhid" Syaikh Muhammad At-Tamimi)
ASAL USUL MANUSIA [TEORI EVOLUSI]
Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :
Bagaimana Allah Menetapkan Yang Tidak Disukainya
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : Bagaimana Allah menetapkan suatu keadaan yang Dia tidak menyukainya ?
Jawaban.
Sesuatu yang dicintai itu ada dua macam.
[1] Dicintasi karena dzatnya.
[2] Dicintai karena ada faktor lainnya
Yang dicintai karena ada faktor lain terkadang dzatnya dibenci, akan tetapi ia dicintai karena di dalamnya terdapat kemaslahatan. Ketika demikian, ia dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi lainnya.
Contoh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan telah kami tetapkan kepada Bani Israil di dalam al-Kitab ; Sesunguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar" [Al-Israa : 4]
Kerusakan di muka bumi dzatnya dibenci oleh Allah Ta'ala karena Allah tidak menyukai kerusakan dan orang-orang yang melakukannya. Tetapi hukum yang dikandungnya disukai oleh Allah Azza wa Jalla dari satu sisi, demikian juga berlaku sombong di muka bumi. Misalnya kekurangan hujan, paceklik, sakit dan fakir yang ditetapkan Allah Ta'ala kepada hamba-hamba-Nya tidak disukai oleh Allah pada dzatnya, karena Allah tidak suka menyakiti hamba-hamba-Nya dengan sesuatu dari hal-hal itu, sebaliknya Dia menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya. Tetapi Dia mentaqdirkan hukum yang timbul karena musibah tadi, sehingga dicintai Allah dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain. Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan-tangan manusia, agar Dia merasakan kepada mereka sebahagian yang mereka kerjakan mudah-mudahan mereka kembali"
Jika ada yang bertanya : bagaimana bentuk sesuatu yang disitu sisi dicintai sedangkan di sisi lainnya dibenci ?
Saya jawab : Perkara ini benar-benar terjadi, akal tidak menolaknya dan perasaanpun tidak menyangkalnya. Contohnya, orang yang sakit, ia diberi seteguk obat yang pahit rasanya dan baunya tidak enak serta warnanya tidak menarik. Orang sakit itu meminumnya meskipun ia tidak menyukainya karena pahit, warnanya jelek dan bau tidak sedap.
Ia menyukainya karena obat itu dapat menyembuhkan. Demikian pula seorang tabib yang meng-kay (salah satu cara pengobatan tradisional) orang sakit dengan besi yang dipanaskan di atas api. orang yang sakit itu tentu merasakan sakitnya akibat di-'kay' ini. Rasa sakit itu dibenci di satu sisi, disukai dari sisi lainnya.
[Disalin kitab Al-Qadha' wal Qadar edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin', terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Idris]
Bagaimana Allah Menyiksa Manusia Sedang Itu Sudah Ditentukan Allah
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "
Bagaimana Amal Perbuatan Itu Ditimbang
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Bagaimana amal perbuatan itu ditimbang sedangkan ia adalah sekedar sifat bagi yang melakukan amalan tersebut ?
Jawaban.
Kaedah dalam menghadapi masalah semacam ini adalah - - sebagaimana telah kita kemukakan juga di atas- - kita pasrah dan menerima apa adanya saja. Kita tidak perlu menanyakan bagaimana dan mengapa. Namun ada juga ada ulama –Rahimahullah- yang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan diatas.
Mereka mengatakan bahwa amal perbuatan tersebut itu dirubah menjadi suatu bentuk sehingga ia memiliki jism lalu ditaruh dalam timbangan sehingga dapat diketahui berat atau ringannya amal tersebut.
Mereka mengambil contoh dari hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pada hari kiamat kematian itu dijadikan dalam bentuk kibas (domba), kemudian memanggil penghuni jannah, “Wahai penghuni jannah!” Lalu merekapun muncul dan menjulurkan lehernya untuk melihat. Kemudian ia memanggil. ‘Wahai penghuni naar !” Lalu merekapun muncul dan menjulurkan lehernya untuk melihat. “Apa yang terjadi ?” Lalu kematian itu didatangkan dalam bentuk domba, lalu ditanyakan, “Apakah kalian tahu ini ?” Mereka menjawab “Ya”. Kematian itu akhirnya disembelih antara jannah dan naar, lalu dikatakan, “Wahai penghuni jannahm kekallah dan tiada kematian. Dan wahai penghuni naar, kekallah dan tiada kematian!”.
Kita semua tahu bahwa kematian merupakan sifat, akan tetapi Allah menjadikannya sebagai suatu bentuk yang berdiri sendiri. Demikian jugalah amal perbuatan itu menjadi suatu bentuk lalu ditimbang. Wallahu ‘alam.
[Disalin dari buku Fatawa ‘Anil Iman wa Arkanihi edisi Indonesia Soal Jawab Masalah Iman Dan Tauhid, At-Tibyan hal 45-46]
Hukum Mengatakan Allah
FATWA KONTEMPORER ULAMA BESAR TANAH SUCI
1. Mengatakan Allah Ada dimana-mana
SOAL:
Dalam sebuah siaran radio ditampilakan kisah dengan menggunakan kata-kata:”Seorang anak bertanya tentang Allah kepada ayahnya,maka sang ayah menjawab:”Allah itu ada dimana-mana.”Bagaimana pandangan hukum agama yterhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini?
JAWAB:
Jawaban ini batil,merupakan perkataan golongan bid’ah dari aliran Jahmiyah[1] dan Mu’tazilah[2] serta aliran lain yang sejaan dengan mereka[3]. Jawaban yang benar adalah yang di-ikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah,yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya .Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).Hal ini sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an,hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ,ijma’ dari pendahulu umat ini.Sebgaimana contoh adalah firman Allah:
v Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy [Surat Al A’raf:54]
Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat.Yang dimaksud dengan BERSEMAYAM menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan keagungan Allah.Tidak ada yang dapat mengetahui BAGAIMANA bersemayamnya itu,seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini.Beliau menjawab:
q “Kata bersemayam itu telah kita pahami.Akan tetapi ,bagaimana caranya tidak kita ketahui.Mengimana hal ini adalah wajib,tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.”
Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan CARA Allah bersemayam diatas Arsy.Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya ,Syaikh Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu anha .Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya.Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam firmanNya:
v Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya [Surat Faathir:10]
v …Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Al Baqarah:255]
v Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku [Surat Al Mulk:16-17]
Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada diatas.Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata-kata bersamayam. Dengan demikian dapatlah diketahui perkataan ahlu bid’ah :”Allah itu berada dimana-mana,” merupakan hal yang sangat batil.Perkataan ini merupakan pernyataan firqoh yang beranggapan bahwa alam ini penjelmaan Allah,suatu aliran bid’ah lagi sesat,bahkan aliran kafir lagi sesat serta mendustakan Allah dan RasulNya Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam .Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang sah dari beliau Shalallahu alaihi wa sallam dinyatakan bahwa Allah ada dilangit, sebagaimana sabda beliau Shalallahu alaihi wa sallam :
ط Alaa ta’manuniy wa anaa amiinu man fis samaa’
“Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit.”
[Bukhari no.4351 kitabul Maghazi ;Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]
Hal ini juga disebutkan pada hadits-hadits (tentang) Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.
Syaikh Bin Baz
Majallatuud Dakwah no.1288
Catatan kaki (tambahan-ap):
[1] Jahmiyyah adalah salah satu firqoh ahlul bid’ah besar yang sesat dan menyesatkan.Yakni pengikut Jahm bin Shafwan.
¨ Berkata Adz Dzahabi di Mizaanul I’tidal (I/426) :”Jahm bin Shafwan seorang sesat mubtadi’ (ahlul bid’ah) ketuanya Jahmiyyah.Dia binasa (mati) pada zaman tabi’in kecil.Dan aku tidak mengetahui bahwa dia meriwayatkan sesuatu (hadits) akan tetapi ia menumbuhkan kejahatan yang besar sekali."
¨ Diterangkan oleh para ulama bahwa Jahm bin Shafwan mengambil fahamnya yang sesat dari Ja’ad bin Dirham.[Mu’jamul Bida’ hal 167-168 dan 440-441; Mauqif Ahlus Sunnah wal jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ juz I hal 153-156] .Sedangkan Ja’ad bin Dirham mengambil dari Abaan bin Sam’aan.dan Aban sendiri mengambil dari Thaalut,dan Thaalut mengambil dari Labib bin Al A’sham seorang Yahudi penyihir yang pernah menyihir Nabi Shalallahu alaihi wa sallam .
¨ Ja’ad bin Dirham adalah pertama orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu mahluk, Allah tidak bersemayam di atas Asy –yang sesuai dengan kebesaran dan kemulia-anNya- secara hakiki dan menta’wil (menyelewengkan makna) istiwaa’ (bersemayam) dengan istaula (menguasai) ..[Mu’jamul bida’ hal 112-113]. Paham Ja’ad bin Dirham ini kemudian di-ikuti oleh Mu’tazilah dll yang dahulu dan sekarang sampai hari ini sepaham dengan Ja'’d bin Dirham.
[lihat.Risalah Bi’ah, ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat ; hal 110-111]
[2] Mu’tazilah adalah salah satu firqoh ahlul bid’ah besar yang sesat dan menyesatkan.Dinisbatkan kepada Washil bin Atha -seorang murid dari Imam Hasan Al Basri- yang I’tizal (keluar memisahkan diri) dan nyeleneh dalam fatwanya tentang keimanan.
¨ Dinamakan juga qadariyah meskipun ada perbedaan dengan firqah qadariyah yang asli.Qadariyah yang dikafirkan para ulama mereka mengingkari ilmu Allah,sedangkan umumnya Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu Allah,akan tetapi menetapkan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba.Bisa disebut Mu’tazilah ahIi waris qadariyah.
¨ Bersama sejalan dengan Jahmiyyah dalam keyakinan Al Qur’an Makhluk, Allah dimana-mana.
¨ Mempunyai 5 ushul sesat: 1.Al Adhlu (adil=menafikan qadar Allah), 2.At Tauhid (=menafikan sifat-sifat Allah),n 3.Al Wa’du (Janji= wajib bagi Allah memberikan ganjaran kepada orang ta’at), 4.Al Wa’id (ancaman=wajib bagi Allah menyiksa /mengazab bagi pelaku maksiat, yakni tidak boleh bagi Allah-menurut mereka- memaafkan atau mengampuni pelaku dosa besar tanpa taubat), 5.Manzilatun baina manzilatain (Berada disatu tempat antara 2 tempat= mukmin pelaku dosa besar dia fasik,tidak kafir tidak mukmin tetapi antara kafir dan iman)
¨ Keyakinan Allah tidak dapat dilihat oleh orang mukmin dengan mata mereka di akhirat.
¨ Mengingkasri syafa’at Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bagi umatnya pelaku dosa besar.
¨ Mukmin pelaku dosa besar kekal di neraka.
¨ Amar ma’ruf nahi mungkar.Yakni memberontak terhadap penguasa yang zalim
¨ Mendahulukan akal daripada wahyu,dll
[lihat.Risalah Bi’ah, ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat ; hal 108-110; Mauqif Ahlus Sunnah hal 148-151 (edisi Indonesia hal 83-88);Diratul Firaq ,hal 123-154]
[3] Tentang pengingkaran istawa (bersemayam) Allah di atas Arsy dan mena’wilkan dengan istaula (menguasai) diadopsi juga oleh firqoh Asy-ariyyah dan Maturidiyyah, selain menakwilkan sifat-sifat Allah yang lainnya.Bahkan lucunya anggapan mereka ini (istawa diubah jadi istaula) disebut aqidah ahlus sunnah wal jama’ah ,seperti gembong pengekor dusta -Sirajudin Abbas- dalam bukunya “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” yang lebih pantes disebut buku aqidah Asy-ariyyah-Maturidiyyah.
Lihat: kedustaan Sirajudin Abbas ini terhadap ulama Ahlus Sunnah dan membongkar kebohongannya dalam Majalah Assunnah edisi 12/tahun V/1422H/2001M dan edisi setelahnya.
Juga postingan dengan judul:Ibnu Taimiyyah,Ibnu Bathuthah,sirajudiin abbas & Maunya membela Aa gym (eh) malah nonjok , di milis assunnah@yahoogroups.com
Perhatian:
Kaum ahlul bid’ah dari mu’tazilah,jahmiyah,asy’ariyyah dan maturidiyyah dan lain-lain menuduh dengan kebohongan yang besar kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai musyabbihah (faham bid’ah yang kufur yang menyerupakan Allah dengan mahlukNya) !! Disebabkan Ahlus Sunnah telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah tanpa tahrif (penyelewengan), tanpa tathil (penolakan), tanpa tamstil/tasybih (permisalan/penyerupaan) dan tanpa takyif (bertanya kenapa) , seperti (sifat) Istiwa-Nya (bersemayam) Allah diatas Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran dan ketinggianNya [Mu’jamul Bida’ hal 296 & 476 ,dan seterusnya]
SOAL
Bagaimana pandangan hukum terhadap jawaban sebagian orang:”Allah berada dimana-mana,” bila ditanya :”Dimana Allah?” Apakah jawaban seperti ini sepenuhnya benar?
JAWAB
Jawaban seperti ini sepenuhnya batil.Apabila seseorang ditanya :”Allah dimana?” hendaklah ia menjawab:”Di langit,” seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Dimana Allah?” jawabnya:”Di langit.”
Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata:” Allah itu ada,” maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan.Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana ,adalah kafir karena ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama,bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta fitrah.Allah berada diatas segala mahluk.Dia berada diatas semua langit,bersemayam diatas Arsy.
Syaikh Ibnu Utsaimin
Majmu’ Fatawaa wa Rasaail ,juz 1 halaman 132-133
Seri tour the Fatwa 04
Abu Ismail © Dzulqoidah 1424H
Email: apriadi27ETyahoo.com
Judul Asli : Al Fatawaa Asy Syar’iyyah Fil Masaail Al ‘Ashriyyah min
Fatawaa Ulamaa’ Al Balaadil Haraami
Penyusun Khalid al Juraisy
Edisi
Hukum Tawasul Dan Penjelasan Hadits Abbas
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah Hadits berikut ini shahih? Apakah hadits ini menunjukkan boleh be-tawasul dengan kebesaran para wali? Hadits yang dimaksud adalah: “Apabila terjadi kekeringan pada masayarakat, Umar bin Khaththab memohon turun hujan dengan perantaraan Abbas bin Abdul Muthallib.Beliau berdo’a:”Ya Allah dahulu kami biasa bertawasul kepadaMu dengan Nabi kami,lalu Engkau turunkan hujan kepada kami.Sekarang kami bertawasul kepadaMu dengan paman Nabi kami.Oleh karena itu,turunkanlah hujan kepada kami.”Kata rawi.”Masyarakat lalu dituruni huajan.” [Bukari no.1010 Kitabul Istisqo]
Jawaban.
Hadits yang dimaksud oleh penanya adalah hadits shahih riwayat Bukhari. Akan tetapi, siapa saja yang memperhatikan hadits tersebut akan mengetahui bahwa hadits ini tidak menunjukkan adanya tawasul dengan keagungan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam atau yang lain.
Tawasul artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara. Perantara ialah sesuatu yang dijadikan sarana memperoleh yang dimaksud. Perantara yang dimaksud didalam hadits ini ialah kata-kata:
"Kami biasa bertawasul kepadaMu dengan Nabi kami,lalu Engkau turunkan hujan kepada kami.Sekarang kami bertawasul kepadaMu dengan paman Nabi kami. Oleh karena itu, turunkanlah hujan kepada kami.”
Maksudnya ialah mengambil perantara untuk berhubungan dengan Allah memalui do’a Nabi Shalallahu alaihi wa sallam .Hal ini sebagaimana pernah dikatakan oleh shahabat:
"Wahai Rasulullah,harta telah binasa,jalan-jalan rusak. Oleh karena itu ,ber-do'a-lah kepada Allah untuk menurunkan hujan kepada kami.”
Umar berkata kepada Ababs:”Wahai Abbas,berdirilah kemudian berdo’alah kepada Allah” Abbas lalu berdo'a" .
Sekiranya hal seperti ini dikatakan sebagai tawasul dengan Keagungan (kebesaran) seseorang, tentulah Umar akan bertawasul dengan keagungan (kebesaran) Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sebelum bertawasul dengan Abbas.Hal ini karena keagungan nabi Shalallahu alaihi wa sallam lebih tinggi daripada kebesaran Abbas dan lain-lain.Jika hadits ini dianggap sebagai tawasul dengan keagungan seseorang, sudah tentu Amirul Mukminin Umar lebih patut bertawasul dengan keagungan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bukan dengan keagungan (kebesaran) Abbas bin Abdul Muthallib.
Jelasnya,tawasul kepada Allah melalui do’a orang yang diharapkan terkabulnya do’anya karena keshalihannya tidaklah mengapa.Demikianlah,karena shahabat-shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dahulu biasa bertawasul dengan do’a Nabi Shalallahu alaihi wa sallam yang memohonkan sesuatu yang mereka minta dari Allah untuk mereka.Begitu pula Umar bertawasul dengan do’a Abbas bin Abdul Muthallib.
Bila anda mengetahui seseorang shalih yang doa’nya diharapkan terkabul karena ia selalu menjaga dirinya dengan yang halal dalam makan,minum,pakaian dan tempat tinggalnya serta dikenal sebagai orang yang ahli ibadah dan taqwa,maka tidaklah mengapa anda memintanya untuk berdo’a bagi anda dalam urusan yang anda inginkan dengan syarat anda tidak boleh melakukan pemaksaan atau memberikan ancaman terhadap orang yang anda minta untuk berdo’a itu.Apabila terjadi pemaksaan atau ancaman ,maka hal itu tidak halal,apalagi jika ancaman akan membunuh atau membinasakannya,karena perbuatan seperti itu membahayakannya.
Seperti juga telah kami katakan bahwa tawasul seperti ini boleh.Akan tetapi .saya tidak menyukainya.Saya berpendapat bahwa hendaklah seseorang langsung memohon sendiri kepada Allah tanpa adanya perantara antara dirinya dengan Allah.Hal seperti ini lebih besar harapannya untuk dikabulkan dan lebih menciptakan rasa takut kepada Allah.
Hal ini seperti halnya seseorang yang meminta kepada saudaranya -yang do’anya diharapkan terkabul- untuk mendoakannya dengan niat berbuat baik kepadanya bukan karena desakannya.Jika ia melakukannya karena desakan maka yang terjadi adalah seperti orang yang mengemis atau perilaku serupa yang tercela.Akan tetapi,jika hal tersebut dimaksudkan untuk berbuat baik dan membantu saudaranya ,sedangkan membantu seorang muslim akan mendapatkan pahala seperti yang sama-sama kita ketahui,amaka perbuatan seperti ini lenih utama dan lebih baik.Wallahu waliyyut taufik.
[Syaikh Utsaimin, Fatawaa Al Aqiidah : halaman 267-270]
[Disalin dari kitab Al Fatawaa Asy Syar’iyyah Fil Masaail Al ‘Ashriyyah min Fatawaa Ulamaa’ Al Balaadil Haraami, edisi Indonesia Fatwa Kontenporer Ulama Besar Tanah Suci, terbitan Media Hidayah]
Iman Kepada Allah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bagian Pertama dari Empat Tulisan [1/4]
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
[A] Mengimani Wujud Allah Subhanahu wa Ta'ala
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara', dan indera.
[1]. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
" Artinya : Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi" [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
[2]. Adapun bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri, dan tidak pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan karena setiap yang diciptakan pasti mebutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.
Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Robb semesta alam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath'i dalam
IMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bagian Kedua dari Empat Tulisan [2/4]
[2]. Mengimani Rububiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala
Mengimani rububiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa Dia-lah Robb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.
Robb adalah yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
"Artinya : …Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Robb semesta Allah." [Al A'raaf : 54]
"Artinya : … Yang (berbuat) demikian itulah Allah Robbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari." [Faathir : 13]
Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir'aun ketika berkata kepada kaumnya. "Akulah tuhanmu yang paling tinggi." [An Naazi'at : 24], dan juga ketika berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku." [Al Qashash : 38]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya." [An Naml : 14]
Nabi Musa berkata kepada Fir'aun: "Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Robb Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir'aun, seorang yang akan binasa." [Al Israa': 102]
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertaqwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala ssesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dililndungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [Al Mu'minuun: 84-89]
"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab, "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." [Az Zukhruf : 9]
"Artinya : Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka?", niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?" [Az-Zukhruf : 87]
Perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara' (syar'i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa menyekutukan Allah dengan seorang pemutus ibadah atau pemutus muamalat, maka dia berarti telah menyekutukan Allah serta tidak mengimani-Nya.
[Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi
IMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bagian Ketiga dari Empat Tulisan [3/4]
[3]. Mengimani Uluhiyah Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Artinya, benar-benar mengimani bahwa Dia-lah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Al-Ilah artinya "al ma'luh", yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." [Al Baqarah: 163]
" Artinya : Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan.
IMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
[4] Mengimani Asma dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yakni menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta'thil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Allah mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaklan." [Al A'raaf: 180]
"Artinya : … Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [An Nahl : 60]
"Artinya : … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." [Asy Syuura : 11]
Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:
[1]. Golongan Muaththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut perkiraan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni penyerupaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya.
Pendapat ini jelas keliru karena:
[a]. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbullkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.
[b]. Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, poenglihatannya, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki, dan mata mereka sama. Apabila antara makhlluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
[2]. Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhlulk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur'an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:
[a]. Menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara'. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al Qur'an dan Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang bathil
[b]. Allah Ta'ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.
Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan tentang diri-Nya bahwa
Dia bersemayam di atas Arasy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak
dapat diketahui.
Buah Iman kepada Allah:
[1]. Merealisasikan pengesaan Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
[2]. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang Maha
Tinggi.
[3] Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.
[Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. EdisiIndonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman: 30-32]
Jika Perbuatan Orang Kafir Telah Ditulis Mengapa Dia Disiksa
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di Lauh Mahfudz ? Apabila benar, maka bagaimana Allah menyiksa mereka ..?"
Jawaban.
Benar, perbuatan orang-orang kafir telah tertulis sejak zaman azali, bahkan perbuatan semua manusia telah tertulis sejak dia berada di perut ibunya, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu ia berkata ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang benar lagi dibenarkan) bercerita kepada kami.
"Artinya : Sesungguhnya salah seorang di antara kamu dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi 'alaqah selama empat puluh hari pula, kemudian menjadi mudhghah selama empat puluh hari pula. Lalu diutuslah kepadanya seorang malaikat, dan diperintahkan dengan empat kalimat untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalannya, celaka atau bahagia".
Maka perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di sisi Allah Azza wa Jalla, telah diketahui oleh Allah 'Azza wa Jalla sejak zaman azali dan orang yang berbahagia telah diketahui pula oleh Allah sejak zaman azali. Akan tetapi barangkali ada yang bertanya-tanya bagaimana mereka akan diadzab padahal Allah telah menetapkan atas mereka akan hal itu sejak zaman azali.?
Jawaban kami.
Mereka disiksa karena hujjah telah sampai kepada mereka, jalan kebenaran telah dijelaskan, lalu para rasul telah diutus kepada mereka, kitab-kitabnyapun telah diuturunkan. Juga telah dijelaskan petunjuk dan kesesatan dan mereka diberi motivasi untuk menempuh jalan petunjuk, sekaligus menjauhi jalan yang sesat. Mereka memiliki akal dan kehendak ; mereka memiliki kemampuan untuk berikhtiar. Oleh karena itu kita mendapati orang-orang kafir ini dan juga selain mereka, berusaha meraih kemaslahatan dunia dengan kehendak dan ikhtiarnya. Kita tidak mendapati seorangpun dari mereka berupaya meraih sesuatu yang membahayakan di dunia atau meremehkan dan bermalas-malasan dalam perkara yang bermanfaat baginya, lalu ia mengatakan : ini telah tertulis sebagai jatahku. Maka selalunya setiap orang akan berusaha meraih manfaat bagi dirinya. Dengan demikian, seharusnya mereka berusaha meraih manfaat dalam urusan-urusan agama mereka sebagaimana mereka berusaha keras meraih manfaat dari urusan dunianya. Tidak ada perbedaan di antara keduanya, bahkan penjelasan tentang kebaikan dan keburukan dalam urusan agama di dalam kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul lebih banyak dan lebih besar daripada penjelasan tentang urusan-urusan dunia. Maka kewajiban mereka adalah menempuh jalan yang menghatarkannya kepada keselamatan dan kebahagiaan, bukan menempuh jalan yang menyerempet mereka pada kebinasaan dan kesengsaraan.
Kemudian kami katakan, ketika si kafir memilih kekafiran sama sekali tidak merasa ada orang yang memaksanya. Bahkan perasaannya mengatakan bahwa bahwa ia melakukan hal itu dengan kehendak dan ikhtiarnya. Maka apakah ketika memilih kekufuran ia tahu apa yang telah ditetapkan Allah untuk dirinya .? Jawabannya, tentu tidak. Karena kita tidak mengetahui bahwa sesuatu telah ditetapkan terjadi pada kita kecuali sesudah terjadi. Adapun sebelum terjadi, kita tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan untuk kita karena hal ini termasuk perkara ghaib.
Selanjutnya, sekarang kami katakan kepada orang itu : sebelum terjerumus kepada kekafiran, di depan anda ada dua perkara ; hidayah dan kesesatan. Lalu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah dengan anggapan bahwa Allah telah menetapkannya untukmu ? Mengapa anda menempuh jalan sesat lalu setelah menempuhnya anda beralasan bahwa Allah telah menetapkannya ? Kami tegaskan kepada anda sebelum memasuki jalan ini ; apakah anda mempunyai pengetahuan bahwa hal ini telah ditetapkan kepadamu ? ia pasti menjawab : "Tidak". Dan mustahil jawabannya : "Ya". Jadi apabila ia mengatakan : "Tidak". Kami tegaskan lagi ; kalau begitu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah seraya menganggap bahwa Allah telah menetapkan hal itu kepadamu. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati mereka" [Ash-Shaf : 5]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah). Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar" [Al-Lail :5-10]
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahu para sahabat bahwa tidak ada seorangpun kecuali telah dicatat tempat duduknya di jannah dan tempat duduknya di neraka, para sahabat bertanya ; wahai Rasulullah, apakah kami boleh meninggalkan amalan dan bersandar pada apa yang telah ditetapkan ? Beliau bersabda.
"Artinya : Tidak, beramallah kelian, karena tiap-tiap orang dimudahkan kepada sesuatu yang diciptakan baginya"
Sesudah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar".
Inilah jawaban kami atas pertanyaan yang disampaikan oleh penanya tadi, dan betapa banyaknya orang yang beralasan seperti tadi dari kalangan orang-orang yang sesat. Alangkah anehnya mereka karena mereka sama sekali tidak pernah beralasan dengan yang semisal ini dalam masalah-masalah dunia. Bahkan anda mendapati mereka menempuh sesuatu yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam persoalan-persoalan duniawi. Manakala dikatakan kepada seseorang ; jalan yang ada dihadapanmu ini adalah jalan yang sulit lagi rumit, di sana ada para pencuri dan banyak binatang buas, sedangkan ini jalan kedua, jalan yang mudah, ringan dan aman, tidak mungkin seseorang menempuh jalan yang pertama dan meninggalkan jalan yang kedua. Demikian pula dengan dua jalan ; jalan neraka dan jalan jannah.
Kewajiban Memberikan Perhatian Kepada Aqidah Tidak Berarti Melalaikan Syariat Yang Lainnya
KEWAJIBAN MEMBERIKAN PERHATIAN KEPADA AQIDAH TIDAK BERARTI MELALAIKAN SYARIAT YANG LAINNYA BERUPA IBADAH, AKHLAK DAN MUAMALAH
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Saya mengulangi peringatan ini bukan bermaksud bahwa saya di dalam pembicaraan tentang penjelasan hal yang terpenting kemudian yang penting lalu apa yang ada dibawahnya, agar para da'i membatasi untuk semata-mata menda'wahkan kalimat thayyibah dan memahamkan maknanya saja, namun setelah Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kita dengan menyempurnakan agama-Nya !, bahkan merupakan suatu keharusan bagi para da'i untuk membawa Islam ini secara keseluruhan, tidak sepotong-potong.
Dan ketika saya mengatakan hal ini setelah adanya penjelasan yang kesimpulannya adalah para da'i Islam benar-benar memberikan perhatian kepada sesuatu yang paling penting dalam Islam, yaitu memahamkan kaum muslimin kepada aqidah yang benar bersumber dari kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah, maka saya ingin membahas bahwa penjelasan tersebut tidak berarti seorang muslim hanya semata-mata memahami makna Laa Ilaha Illallah yaitu : "Tidak ada yang diibadahi dengan hak dalam alam semesta ini kecuali Allah saja!" Akan tetapi hal itu juga mengharuskan seorang muslim memahami ibadah-ibadah lainnya yang seyogyanya Rabb kita diibadahi dengannya, dan tidak memperuntukkan sedikit pun dari ibadah itu kepada seorang hamba diantara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penjelasan tentang rincian ini juga harus diiringi dengan makna yang ringkas dari kalimat thayyibah tersebut. Dan ada baiknya saya akan memberikan beberapa contoh -sesuai dengan apa yang nampak bagiku-, karena penjelasan global saja tidaklah cukup.
Saya katakan bahwa sesunguhnya kebanyakan kaum muslimin yang bertauhid dengan benar dan orang-orang yang memperuntukkan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla, hati mereka hampa dari pemikiran dan keyakinan-keyakinan yang benar yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kebanyakan orang-orang yang bertauhid itu membaca banyak ayat dan hadits-hadits yang berisi tentang aqidah, tetapi mereka tidak memperhatikan apa yang tersirat di dalamnya, padahal itu termasuk dari kesempurnaan iman terhadap Allah Azza wa Jalla.
Ambillah sebuah contoh aqidah yaitu beriman terhadap ketinggian Allah Azza wa Jalla di atas apa-apa yang Dia ciptakan. Berdasarkan pengalaman, saya mengetahui bahwa mayoritas dari saudara-saudara kita yang bertauhid dan bermanhaj salaf (mengikuti pemahaman salafus shalih) meyakini bersama-sama kita bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas 'Arsy dengan tanpa ta'wil (merubah arti) dan tanpa takyif (menanyakan bagaimana). Akan tetapi ketika datang kepada mereka kaum mu'tazilah modern atau jahmiyah modern atau orang-orang maturidi atau asy'ari yang menyampaikan kepada mereka syubhat yang memahami berdasarakan zhahirnya saja, dimana orang yang memberi syubhat maupun orang yang diberi syubhat tersebut tidak memahami maknanya, maka dia menjadi bingung terhadap aqidahnya dan tersesat jauh. Mengapa ? Karena dia tidak mengambil aqidah yang benar dari segala sisi yang telah dipaparkan penjelasannya dalam Kitabullah Azza wa Jalla dan hadits Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika orang mu'tazilah modern itu berkata : Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Artinya : Apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang di langit ?". [Al-Mulk : 17]
Dan kalian berkata sesungguhnya Allah di langit, maka ini maknanya adalah berarti kalian menjadikan sesembahan kalian berada pada suatu tempat yaitu langit yang merupakan mahluk !!.
Maka dia melontarkan syubhat kepada orang yang ada dihadapannya.
[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 27-30, terbitan Darul Haq, Penerjemah Fariq Gasim Anuz]
Macam-Macam Tauhid
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Disebabkan kebodohan saya tentang macam-macam tauhid dan apa hakikatnya, sementara itu saya ingin berlepas diri dari (hal-hal yang bertentangan dengan tauhid, yaitu) kesyirikan, maka saya mengharapkan jawaban dari pertanyaan berikut ini.
Makna Penghambaan Dalam Islam
Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Telah jelas dan gamblang bahwa Islam datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan dan perbudakan.
Mengingkari Tauhid Asma Wa Sifat
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa yang dapat kita katakan kepada mereka yang mengingkari Tauhid Asma wa Sifat dan menganggapnya sebagai sesuatu yang dibuat oleh orang-orang belakangan ?
Jawaban.
Tauhid Asma wa Sifat termasuk salah satu dari tiga macam Tauhid : Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma wa Sifat.
Mereka yang mengingkari Tauhid Asma wa Sifat berarti mengingkari salah satu macam Tauhid. Mereka yang ingkar ini tidak lepas dari dua keadaan yang berikut.
Pertama.
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetaui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.
Kedua.
Hanya ikut-ikutan kepada orang lain karena rasa percaya dan menyangka bahwa ia berada di atas kebenaran. Atau karena salah dalam menafsirkan, sementara ia menyangka berada di atas kebenaran. Mereka melakukan hal ini bukan karena sengaja mengingkari, tetapi karena ingin mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘menurut pengakuan mereka’. Maka mereka-mereka yang seperti ini adalah orang-orang yang tersesat dan salah karena ikut-ikutan atau mentakwil (menafsirkan) sendiri.
Kafirnya kelompok yang pertama sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang kaum musyrikin.
“Artinya : … Padahal mereka kafir (ingkar) kepada Ar-Rahman (Tuhan Yang Maha Pemurah) …” [Ar-Ra’d : 30]
Syaikh Sulaiman bin Abdullah di dalam kitabnya, Taysir Al-Aziz, berkata, “Karena Allah telah menanamkan mereka yang mengingkari satu dari nama-namaNya (yaitu Ar-Rahman) dengan kafir, maka hal ini menunjukkan bahwa mengingkari bagian dari nama-nama dan sifat-sifatNya adalah kafir. Dengan demikian, siapa saja yang mengingkari sesuatu dari nama-nama dan sifat-sifatNya, baik itu orang-orang filsafat, Jahmiyah, Mu’tazilah, atau selain mereka-pun termasuk kafir, sesuai dengan kadar pengingkaran mereka terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah tersebut” [Lihat Taysir Aziz Al-Hamid hal. 575]
Beliau juga berkata, “Bahkan kami katakan, ‘Barangsiapa yang tidak beriman kepada nama-nama dan sifat-sifatNya, maka dia bukan termasuk orang-orang yang beriman. Dan barangsiapa di dalam hatinya ada rasa keberatan akan hal itu, maka dia seorang munafik” [Lihat Taysir Aziz Al-Hamid hal. 588]
Tauhid Asma dan Sifat bukanlah sesuatu yang baru dimunculkan oleh orang-orang belakangan. (Bukanlah) Anda telah mendengar hukum bagi siapa saja yang mengingkari nama Allah Ar-Rahman ! Dan (bukankah) mengimani Tauhid ini terdapat dalam pembicaraan para Shahabat, Tabi’in, Imam yang Empat, dan yang lainnya dari kalangan Salaf.
Imam Malik, ketika ditanya tentang masalah istiwa (tingginya) Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas Arsy-Nya berkata, “Istiwa (Allah) sudah sama dipahami, dan bagaimana (hakikat)nya tidak diketahui, sementara mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimana (hakikat) Allah ber-istiwa adalah bid’ah”. [Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam Dzahabi hal.141]
Abdullah bin Mubarak berkata, “Kita mengetahui bahwa Tuhan kita berada di atas langit yang tujuh ; ber-istiwa di atas Arsy-Nya ; terpisah dari makhluk-Nya. Kami tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jahmiyah” [Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam Dzahabi hal.151]
Imam Al-Auza’iy berkata, “Kami dan para Tabi’in mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah penyebutannya [1] di atas ‘Arsy-Nya dan kami mengimani apa saja yang terdapat di dalam Sunnah” [Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam Dzahabi hal.138]
Imam Abu Hanifah berkata, “Barangsiapa yang mengatakan, ‘Saya tidak tahu apakah Tuhan saya berada di langit atau bumi, berarti dia telah kafir karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Allah ber-istiwa di atas arsy-Nya” [Thaha : 5]
Dan arsy-Nya berada diatas langit yang tujuh” [Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam Dzahabi hal.136]
Jika anda ingin lebih jauh mengetahui tentang perkataan para salaf dalam masalah ini, maka lihat kitab Ijtima Al-Juyusy Al-Islamiyah ‘
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Fi Al-Aqidah 1/9
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql
Bagian Pertama dari Sembilan Tulisan [1/9]
KATA PENGANTAR
Buku yang kami hadirkan ke hadapan anda ini memaparkan sekilas tentang prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Buku ini sengaja kami susun guna memenuhi permintaan para pembaca, baik dari kalangan terpelajar maupun umum. Dalam karya ini kami akan menguraikan prinsip-prinsip aqidah Salaf dan kaidah-kaidahnya dengan ringkas dan jelas. Dalam penulisannya pun kami berusaha meggunakan bahasa agama yang dipakai dan diriwayatkan dari para imam.
Untu itu, dalam risalah ini tidak ada rincian, definisi (ta’rif), dalil, nama dan nukilan. Kami berusaha menghadirkan risalah ini kepada anda dalam bentuk buku kecil yang ringan, praktis, dan mudah dibawa. Harapan kami, semoga buku ini dapat menjadi bibit bagi seorang penulis yang sudah ahli dan dapat memenuhi keinginan pembaca yang ingin memperluas ilmunya.
Perlu diketahui pula, risalah ini telah diperlihatkan kepada Syaikh Abdurrahman Ibn Nashir Al-Barrak, Dr Hamzah Ibn Husein Al-Fi’r dan Dr Safar Ibn Abdurrahman Al-Hawali. Alhamdulillah, beliau-beliau telah memberikan andil yang cukup besar dalam menyempurnakan penulisan ini dengan memberikan beberapa tambahan dan catatan.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan amal kami ini ikhlas semata-mata untukNya, dan semoga shalawat, salam dan berkah senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus sebagai rahmat untuk alam semesta, juga tak lupa kepada keluarga, shahabat dan para pengikutnya sampai akhir nanti
Penulis
Nashir Ibn Abdul Karim Al-Aql
3 Ramadhan 1411H
MUQADIMAH
Aqidah menurut bahasa berasal dari kata 'aqd, yang berarti penguatan, pemantapan, dan pengikatan dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, yakni keimanan yang teguh, yang tidak dihinggapi suatu keraguan apapun bagi pemiliknya.
Dengan demikian, aqidah Islamiyah berarti keimanan yang teguh kepada Allah ta'ala berupa tauhid dan ketaatan; kepada malaikat, kitab-kitabNya, para rasul, hari akhir, takdir dan semua perkara ghaib, serta berita-berita lain dan hal-hal yang pasti, baik berupa ilmu pengetahuan maupun dalam amal perbuatan.
Salaf adalah generasi pertama dari umat kita (Islam). Yang termasuk kaum salaf, yaitu para sahabat radhiyallahu 'anhum, tabi'in, dan para imam kebenaran. Mereka adalah tiga generasi yang mendapat kemuliaan. Karena itu, siapa yang mengikuti jejak mereka pada masa-masa sesudahnya disebut salafy.
Adapun yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya .
Orang-orang yang mengamalkan segala ajaran Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam disebut ahlus sunnah karena mereka berpegang teguh dan mengikuti sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Mereka juga disebut Al Jama'ah karena mereka bersatu di atas al haq (kebenaran). Mereka tidak berselisih dalam agama. Mereka berkumpul pada para imam al haq dan mereka juga mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf.
Karena mereka mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan jejak para salaf (atsar) maka mereka disebut juga sebagai ahlul hadits, ahlul atsar, dan ahlul ittiba' (orang yang mengikuti sunnah). Mereka juga disebut Ath Tha'ifah Al Manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah) dan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).
[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Fi Al-Aqidah 2/9
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql
Bagian Kedua dari Sembilan Tulisan [2/9]
KAIDAH PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL
[1]. Sumber aqidah adalah kitab Allah (Al Qur'an), sunnah Rasulullah yang shahih dan ijma' para salaf yang shaleh.
[2]. Setiap sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah wajib diterima, sekalipun mutawatir atau ahad (hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya bukan dalam jumlah yang tak terhitung).
[3]. Yang menjadi rujukan dalam memahami Kitab dan Sunnah adalah nash-nash (teks Al Qur'an atau hadits) yang menjelaskannya, pemahaman para salaf yang shaleh dan para imam yang mengikuti mereka serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang hanya berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.
[4]. Prinsip-prinsip utama dalam agama (ushuluddin) semua telah dijelaskan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Siapapun tidak berhak mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut termasuk bagian dari agama.
[5]. Berserah diri dan patuh hanya kepada Allah dan RasulNya lahir dan batin. Tidak menolak sesuatu dari Kitab atau Sunnah yang shahih, baik dengan analogi, perasaan, kasyf (illuminasi, atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syeikh ataupun iman-imam, dan lain-lainnya.
[6]. Dalil aqli yang benar akan sesuai dengan dalil naqli (nash) yang shahih. Sesuatu yang qath''i (pasti) dari kedua dalil itu tidak akan bertentangan. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara kedua dalil itu, maka wajib dalil naqli harus didahulukan.
[7]. Wajib untuk senantiasa menggunakan bahasa agama dalam aqidah dan menjauhi bahasa bid'ah (yang bertentangan dengan sunnah). Bahasa umum yang mengandung pengertian yang salah dan yang benar perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai pengertian yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah pengertian yang benar maka perlu disebutkan dengan menggunakan bahasa agama (syar'i). Tetapi bila yang dimaksud adalah pengertian yang salah maka harus ditolak.
[8]. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam adalah ma'shum (dipelihara Allah dari kesalahan), dan umat Islam secara keseluruhan dijauhkan dari Allah dari kesepakatan atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari kita yang ma'shum. Jika ada perbedaan pendapat di antara para imam atau yang selain mereka maka perkara tersebut dikembalikan kepada Kitab dan Sunnah, dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa dia adalah orang berijtihad.
[9].
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Fi Al-Aqidah 3/9
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql
Bagian Ketiga dari Sembilan Tulisan [3/9]
TAUHID DALAM PENGETAHUAN DAN KEYAKINAN
[1]. Prinsip dalam asma dan sifat Allah adalah menetapkan apa yang ditetapkan Allah untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh Rasulullah tanpa tamtsil (mempersamakan atau menyerupakan Allah dengan makhluk dalam asma dan sifatNya) dan takyif (mempertanyakan bagaimana sifat Allah, atau menentukan bahwa sifat Allah itu hakekatnya begini). Juga menolak apa yang ditolak Allah terhadap diriNya atau yang ditolak Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tanpa tahrif (mengubah lafadz sifat atau menyelewengkan maknanya) dan tanpa ta'thil (mengingkari seluruh atau sebagian sifat Ilahi). Hal itu dengan mengimani makna dan arti yang dikandung oleh nash. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta'ala:
"Artinya : Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." [Asy Syura: 11]
[2]. Tamtsil dan ta'thil dalam asma dan sifat Allah adalah kufur. Tahrif yang disebut oleh ahli bid'ah sebagai ta'wil, ada yang kufur hukumnya, seperti ta'wil orang-orang kebatinan, ada yang bid'ah dan sesat, seperti ta'wil orang-orang yang tidak mengakui sifat-sifat Allah, dan ada pula yang terjadi karena kekeliruan.
[3]. Pantheisme dan kepercayaan bahwa Allah bersemayam pada sesuatu makhlukNya atau bersatu dengannya adalah perbuatan kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam
[4]. Iman kepada malaikat yang mulia secara umum. Mengimaninya secara terinci adalah dengan mengimani apa yang telah dinyatakan oleh dalil, seperti nama-namanya, sifat-sifatnya, dan tugas-tugasnya sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.
[5]. Iman kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah. Mengimani sepenuhnya bahwa Al Qur'an Al Karim adalah kitab yang termulia dan yang membatalkan keberlakuan kitab-kitab lainnya. Kitab-kitab sebelum Al Qur'an telah mengalami perubahan dan penyelewengan. Untuk itu kita wajib mengikuti Al Qur'an dan tidak mengikuti kitab sebelumnya.
[6]. Iman kepada para nabi dan rasul Allah. Semoga selawat dan salam dilimpahkan Allah kepada mereka. Mereka adalah orang yang paling mulia. Barangsiapa yang tidak berpendapat begitu maka dia termasuk kafir. Apa yang telah dinyatakan nash tentang mereka wajib diimani. Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam adalah yang termulia, rasul terakhir, dan diutus Allah untuk seluruh umat manusia.
[7]. Mengimani bahwa wahyu telah terputus semenjak wafatnya Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Beliau adalah nabi dan rasul terakhir. Orang yang tidak berkeyakinan demikian adalah kafir.
[8]. Iman kepada hari akhir dan kejadian-kejadian yang ada di dalamnya menurut berita yang benar, juga beriman pada tanda-tanda kiamat yang terjadi sebelumnya.
[9]. Iman kepada qadar yang baik dan yang buruk dari Allah Ta'ala, yaitu dengan mengimani bahwa Allah Ta'ala mengetahui apa yang akan terjadi sebelum terjadi. Allah telah menuliskannya dalam Lauhul Mahfuzh [1]. Yang dikehendakiNya-lah yang terjadi dan yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Pencipta segala sesuatu, Yang Maha Berbuat atas apa yang dikehendaki.
[10]. Iman pada perkara-perkara ghaib yang telah dinyatakan oleh dalil yang shahih, seperti 'arsy, surga, neraka, kenikmatan dan siksa kubur, adanya jembatan dan timbangan (di hari akhirat) dan lain-lain tanpa ta'wil sedikitpun.
[11]. Mengimani adanya syafa'at nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan syafa'at para nabi, malaikat, orang-orang yang shalih, serta yang lain pada hari kiamat, sebagaimana rinciannya disebutkan dalam nash-nash yag shahih.
[12]. Orang-orang yang beriman akan melihat Allah pada hari kiamat di surga dan di mahsyar[2]. Barangsiapa mengingkari atau menta'wilkannya maka dia sesat dan menyimpang dari kebenaran. Namun tidak ada seorangpun yang dapat melihat Allah di dunia.
[13]. Karamah para wali dan orang-orang shalih benar-benar ada. Namun tidak setiap sesuatu yang luar biasa adalah karamah. Bisa jadi itu merupakan cobaan dari Allah dan bisa pula merupakan pengaruh dari setan dan orang-orang yang jahat. Tolak ukur dalam hal ini adalah apakah hal itu sesuai atau tidak dengan Al Qur'an dan Sunnah.
[14]. Semua orang yang beriman adalah wali Allah, dan di dalam diri setiap orang yang beriman terdapat tingkat kewalian sesuai dengan tingkat keimanannya.
[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Fi Al-Aqidah 4/9
Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql
Bagin Keempat dari Sembilan Tulisan [4/9]
TAUHID DALAM PENGHAMBAAN DAN TUJUAN [TAUHID ULUHIYAH]
[1]. Allah Ta'ala Maha Esa. Tidak ada seorang pun yang menjadi sekutu bagi-Nya, baik dalam ciptaan dan kekuasaanNya, dalam penghambaan dan pengabdian kepadaNya, serta dalam asma dan sifatNya. Dia-lah Rabb Semesta Alam. Hanya Dia sendiri yang berhak dengan segala macam ibadah.
[2]. Mempersembahkan ibadah, seperti berdoa, meminta perlindungan, memohon pertolongan, bernazar, menyembelih kurban, tawakal, takut, berharap dan mencintai selain kepada Allah Ta'ala adalah perbuatan syirik, meskipun perbuatan itu dilakukan kepada malaikat, seorang nabi utusan, atau kepada hambaNya yang shaleh.
[3]. Salah satu sendi utama ibadah ialah beribadah kepada Allah dengan penuh rasa cinta, rasa takut dan penuh harap dengan menyeluruh. Beribadah kepada Allah dengan sebagian daripadanya tanpa yang lain, juga kesesatan.
Salah seorang ulama mengatakan: "Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hnya dengan rasa cinta maka dia seorang zindiq (orang yang sesat dalam agama dan menyimpang dari jalan kebenaran). Barangsiapa yagn beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut maka dia adalah seorang haruri [1] , dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan penuh harapan maka dia adalah seorang murji' [2]."
[4]. Patuh, tunduk dan taat secara mutlak kepada Allah dan rasulNya, Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Iman kepada Allah sebagai Hakim termasuk iman kepada-Nya sebagai Rabb dan Sesembahan. Tidak ada sekutu bagiNya dalam hukum dan perintahNya. Penerapan hukum yang tidak diijinkan Allah, berhukum kepada thaghut [3], mengikuti selain syariat Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan merubah sesuatu darinya adalah kufur. Siapa yang mengatakan, seseorang boleh keluar dari syariatnya maka dia kafir.
[5]. Menggunakan hukum yang bukan dari Allah adalah kufur akbar, yang bisa ; menyebabkan seseorang keluar dari Islam; dan bisa juga termasuk kufur duna kufrin yakni kufur yang tidak menyebabkan keluar dari Islam.
Kufur akbar terjadi bila patuh dan tunduk kepada hukum selain hukum Allah, atau menginjinkan penggunaan hukum tersebut. Sedangkan kufur duna kufrin, bila tidak menggunakan hukum Allah dalam suatu kejadian tertentu karena menuruti hawa nafsu, tetapi secara umum ia masih tetap patuh kepada hukum Allah.
[6]. Pembagian agama pada hakikat yang dikhususkan untuk orang-orang tertentu dan syariat yang hanya wajib diikuti orang-orang awam saja serta melakukan pemisahan urusan politik atau urusan lainnya dari agama adalah tindakan batil (tidak benar). Apapun yang bertentangan dengan syari;at, baik hakikat, politik maupun perkara lainnya maka hukumnya bisa kufur dan bisa pula sesat, sesuai dengan tingkatannya.
[7]. Tidak ada seroang pun yang dapat mengetahui sesuatu yang ghaib selain Allah Ta'ala semata. Mempercayai ada seseorang selain Allah yang dapat mengetahui hal-hal ghaib adalah perbuatan kufur, sekalipun dia mengimani bahwa Allah yang memberitahukan sebagian dari perkara ghaib kepada sebagian rasulNya.
[8]. Percaya kepada ahli nujum dan para dukun adalah kufur, sedangkan mendatangi dan pergi ke tempat mereka adalah dosa besar.
[9]. Wasilah yang diperintahkan di dalam Al Qur'an ialah apa yang mendekatkan seseorang kepada Allah Ta'ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu ) ada tiga macam:
[a] Masyru' yaitu tawassul kepada Allah Ta'ala dengan asma dan sifat-Nya, dengan amal shaleh yang dikerjakannya, atau melalui doa orang shaleh yang masih hidup.
[b] Bid'ah yaitu mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan cara yang tidak disebutkan dalam syari'at, seperti tawassul dengan pribadi para nabi dan orang-orang shaleh, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.
[c] Syirik bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdo'a kepada mereka, meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka.
[10]. Berkah berasal dari Allah Ta'ala. Namun Allah mengkhususkan sebagian berkahNya kepada seorang hamba atau sesuatu makhluk yang dikehendakiNya. Oleh karena itu, seseorang atau sesuatu makhluk tidak boleh dinyatakan mempunyai berkah kecuali berdasarkan dengan dalil. Berkah artinya kebaikan yang banyak atau kebaikan yang tetap dan tidak hilang. Waktu-waktu yang mengandung keberkahan seperti malam lailatul Qadar. Adapun tempat yang ada berkahnya seperti masjid Al Haram, mesjid Nabawi dan masjid Al Aqsha. Benda yang ada berkahnya seperti air zamzam. Amal yang ada berkahnya adalah setiap amal shaleh yang diberkahi, dan pribadi yang ada berkahnya adalah seperti para nabi. Kita tidak boleh meminta berkah kepada manusia dan peninggalan mereka, kecuali kepada pribadi dan peninggalan nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam karena dalil yang ada hanya menyatakan demikian. Namun hal ini tidak berlaku lagi setelah wafatnya dan hilangnya barang peninggalan beliau.
[11]. Tabarruk (meminta berkah) termasuk perkara yang berdasarkan nash. Untuk itu tidak boleh tabarruk kepada sesuatu kecuali pada hal yang telah dinyatakan oleh dalil.
[12]. Mengenai pervbuatan yang dilakukan orang di kuburan dan ketika ziarah kubur ada tiga macam:
[a]. Masyru', yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk mengingat akhirat, untuk memberikan salam kepada ahli kubur dan mendoakan mereka.
[b]. Bid'ah, tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid. Ini merupakan salah satu sarana berbuat syirik, misalnya ziarah ke kuburan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, atau bertujuan untuk mendapat berkah, menghadiakan pahala kepada ahli kubur, membuat bangunan di atas kuburan, mengecatnya dan memberinya lampu penerang. Juga termasuk perbuatan bid'ah bila menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan sengaja bepergian jauh untuk mengunjunginya. Masih banyak perbuatan lain yang dinyatakan telah terlarang dan tidak mempunyai dasar hukum dalam syariat.
[c]. Syirik bertentangan dengan tauhid, misalnya mempersembahkan salah satu macam ibadah kepada ahli kubur, sperti berdoa kepadanya sebagaimana layaknya kepada Allah meminta bantuan dan pertolongannya, bertawaf di sekelilingnya, menyembelih kurban dan bernazar untuknya, dan lain sebagainya.
[13]. Sesuatu yang menjadi wasa'il (sarana) dihukumi berdasarkan tujuan dan sasaran. Setiap sesuatu yang menjadi sarana menuju syirik dalam ibadah kepada Allah atau menjadi sarana menuju ibadah kepada Allah atau menjadi sarana menuju bidok'ah maka wajib dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru (yang tidak ada dasarnya) dalam agama adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan.
[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar