Telah masyhur di kalangan kita bahwa sebagian besar manusia dalam menjalankan agamanya hanya mengikuti apa-apa yang di ajarkan oleh Kyai-kyainya, atau Ustadznya tanpa mengikuti dalil-dalil yang jelas dari agama ini. Mengikuti di sini yang dimaksudkan adalah mengikuti tanpa dasar ilmu. Mereka hanya manut saja apa kata Sang Kyai atau Sang Ustadz, seolah apa yang mereka katakan pasti benar. Di sini kita melihat kebenaran hanya diukur oleh ucapan-ucapan kyai/ustadz tersebut tanpa melakukan pengecekan terhadap dasar ucapan mereka. Mereka tidak mengecek apakah sumbernya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, atau hanya bersumber dari hadits-hadits yang lemah, atau lebih fatal lagi bila bersumber dari hadits yang palsu. Inilah sesungguhnya Hakekat dari Taklid.
Ingatlah wahai saudaraku kaum muslimin ….. bahwasannya kebenaran atau al haq itu bukan berdasarkan banyaknya pengikut atau status sosial orang yang mengucapkan, karena kebenaran akan tetap merupakan kebenaran meskipun hanya sedikit yang mengikutinya. Dan yang namanya kebatilan merupakan kebatilan sekalipun seluruh manusia mengikutinya. Dan kebiasaan mengekor tanpa ilmu ini jelas-jelas merupakan suatu hal yang sangat tercela. Bahkan Alloh mengharamkan untuk mengikuti sesuatu yang kita tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran " Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya ." (QS. Al-Israa : 36). Dan juga perkataan Imam Bukhori " Bahwa ilmu itu sebelum ucapan dan perbuatan ." Dampak yang nyata terhadap hal ini ialah semakin jauhnya para muqolid (orang-orang yang taklid) ini dari ajaran Islam yang murni, dimana amalan-amalan mereka banyak yang bersumber dari hadits yang dhoif (lemah) atau bahkan hadits palsu dan bahkan mungkin mereka beramal tanpa ada dalil, hanya mengikuti ucapan Kyai atau Ustadznya. Jika dikatakan kepada mereka bahwa amalan mereka itu menyelisihi dalil yang shohih dari Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengatakan "kami hanyalah mengikuti apa-apa yang ada pada bapak-bapak kami atau kyai / ustadz kami."
Contoh paling nyata sekarang ini, kebanyakan mereka mengaku mengikuti Madzab Syafii, Hambali, Hanafi, dan Maliki dari para imam-imam madzab. Padahal kalau kita tengok ajaran/perbuatan/amalan mereka sangat jauh dari perbuatan imam-imam madzab tersebut. Mereka begitu fanatik kepada madzab yang mereka ikuti, bahkan bila ada seseorang yang berkata yang perkataannya itu bertentangan dengan madzab yang mereka anut, walaupun ucapannya itu haq adanya, niscaya mereka akan menentangnya habis-habisan, dan yang demikian ini terjadi. Wahai saudaraku…padahal agama adalah nasehat, sebagai sesama kaum muslimin harus saling menasehati. Lantas bagaimana kalau sikap mereka menolak dari nasehat orang yang tidak sesuai dengan pendapat mereka (meskipun nasehat yang haq).
Agama Islam dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian para shahabatnya meneruskannya, kemudian lagi para tabiin terus sampai jaman kita sekarang ini, kita harus mengikuti mereka. Dalam beragama itu harus mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah yang shohih sesuai dengan pemahaman para shahabat Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kita harus memahami agama ini sesuai dengan pemahaman para shahabat karena merekalah orang-orang yang paling tahu tentang sunnah Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang pilihan yang dididik secara langsung oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada yang keliru diantara mereka langsung ditegur atau dibetulkan/diluruskan oleh Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi pada jaman shahabatlah agama ini sangat terjaga kemurniannya. Untuk itu kita wajib menjalankan agama ini sesuai petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sesuai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah sesungguhnya Hakekat dari Ittiba (mengikuti).
Berikut ini akan kami sampaikan pendapat dari Empat Imam tentang masalah Taklid dan Ittiba :
1. Imam Asy Syafii
- "Tidak ada seorang pun kecuali dia harus bermadzhab dengan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan ucapanku, maka peganglah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah ucapanku."
- "Apa bila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka peganglah ucapan Beliau dan tinggalkanlah ucapanku."
- Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits yang shohih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Oleh karena itu janganlah mengikuti aku."
- "Apabila hadits itu shohih, maka itu adalah madzhabku."
- "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa telah terang baginya Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang."
- "Setiap masalah yang di dalamnya kabar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah shohih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati."
2. Imam Ahmad bin Hambal
Beliau berkata :
- "Janganlah engkau mengikuti aku dan janganlah pula engkau ikuti Malik, Syafii, Auzai, Tsauri, tapi ambillah dari mana mereka mengambil."
- "Barang siapa menolak hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran."
- "Pendapat Auzai, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar"
3. Imam Malik bin Anas
Beliau berkata :
- "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan yang tidak maka tinggalkanlah."
- "Tidak ada seorangpun setelah Nabi r, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Muhammad r.
4. Imam Abu Hanifah
Beliau berkata :
- "Apabila hadits itu shohih maka hadits itu adalah madzhabku
- "Tidak dihalalkan bagi seorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya"
- Dalam sebuah riwayat dikatakan,Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku."
- "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Alloh dan kabar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."
Demikianlah wahai saudaraku kaum muslimin, pendapat dari empat imam tentang larangan taklid buta. Mereka memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan hadits Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta melarangnya untuk mengikuti mereka tanpa melakukan penelitian. Jadi mereka para Imam yang empat melarang keras kepada kita untuk taqlid buta / membebek / mengekor tanpa ilmu.
Barang siapa yang berpegang dengan setiap apa yang telah ditetapkan di dalam hadits yang shohih, walaupun bertentangan dengan perkataan para imam, sebenarnya tidaklah ia bertentangan dengan madzhabnya (para imam) dan tidak pula keluar dari jalan mereka, berdasarkan perkataan para imam di atas. Karena tidak ada satu ucapanpun yang dapat mengalahkan ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahkan ucapan para shahabat pun !!! Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas :
"Aku khawatir akan datang hujan batu dari langit, aku ucapkan Rosululloh berkata .., engkau ucapkan Abu Bakar berkata, …dan Umar berkata…".
Inilah sikap yang seharusnya kita ambil, mencontoh para shahabat, imam-imam yang mendapat petunjuk, di mana merekalah yang telah mengamalkan dien/agama ini sesuai dengan petunjuk Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengada-ada (tidak menambah/mengurangi). Dan hal inipun menunjukkan kesempurnaan ilmu yang ada pada mereka (para Imam) dan ketaqwaannya. Kadang kala mereka mengakui bahwasannya tidak semua hadits mereka ketahui.Terkadang mereka menutupkan suatu perkara dengan ijtihad mereka, namun hasil ijtihad mereka keliru karena bertentangan dengan hadits yang shohih. Hal ini dikarenakan belum sampainya hadits shohih yang menjelaskan tentang perkara itu kepada mereka. Jadi sangatlah wajar bagi seseorang yang belum paham suatu permasalahan kembali berubah sikap manakala ada yang menasehatinya dengan catatan sesuai dengan sunnah yang shohih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu Alam.